Cerpen keluarga bahagia | Agus C Noor bag 3

Post a Comment
agus c noor
Dan akupun tak bisa apa-apa. Aku hanya bisa memandangi kalakuan mereka, sebagaimana dulu aku hanya bisa ternganga melihat ayah dan ibu saling cakar dan saling siksa.
Kerap, seseorang datang bersungut-sungut mengadukan kelakuan anak-anakku. “Didiklah anak-anakmu dengan keras, Tuan Campa.” Kulihat kening orang itu terluka, memar, seperti baru saja terkena lemparan batu sebesar telur angsa. Pasti, itu karya anak-anakku tercinta. “Atau kusuruh polisi menangkap mereka!”
Ah, kukira itu berlebihan, Tuan. Duduklah. Bukankah itu hanya kenakalan anak-anak. Mereka akan baik dengan sendirinya.”
Orang itu mendengus.
“Duduklah. Kita bicara sebagai sama-sama seorang ayah.”
Tapi ia langsung pergi, sepanjang jalan terus memaki-maki, “Keluarga iblis. Kalian membuat dunia ini seperti neraka!” tiga hari kemudian aku dengar leher orang itu patah, dikeroyok seratus anakku. “Tak akan pernah kami biarkan seorangpun menghina keluarga kami!” pekik mereka, membuat para tetangga yang hendak mengadukan kelakuan mereka, surut seketika. Sejak itu anak-anakku kian merajalela. Mereka bebas mengambil apa saja, mereka menjarah toko semaunya. Di mana saja mereka selalu bikin kerusuhan.
Mereka liar dan buas, tetapi selalu hormat pada kami. Matsya yang menderita Bulimia, sangat memanjakan mereka. Dan mereka, seratus serigala liar itu, sangat bangga pada ibu mereka, makhluk separuh manusia separuh binatang melata. Aku sendiri lebih sering mengurung diri dalam peti mati. Lesi. Tergeletak tak berdaya karena inkontinensia, yang membuatku selalu terkencing-kencing dan berak tanpa bisa mengendalikannya. Aku terkapar dalam peti mati seperti bangkai yang perlahan membusuk. Matsya, Si jerangkong jelita itu, dengan setia merawatku. Ia juga dengan penuh cinta mengajari anak-anak membaca, belajar matematika atau menemani mereka tidur, sambil mendongeng tentang hantu-hantu penculik bayi, para raksasa yang selalu memangsa manusia, tentang raja-raja yang hidup bergelimang harta di atas bangkai mayat rakyatnya. Membuat anak-anak itu bersorak gembira, lantas membopong Matsya, melempar-lemparkannya ke udara hingga kadang-kadang Matsya jatuh terbanting dan patah tulang. Tetapi Matsya selalu tertawa oleh kelakuan seperti itu, “Kalian sungguh anak-anak yang menyenangkan.” Kata Matsya sambil memunguti patahan tulang-belulangnya, kemudian menyambungnya dengan tali rapia. Ah, jerangkong yang sengsara! Tiap kali Matsya berjalan tulang-belulang itu bergemeletakan mau copot. Betapa.
Kian kubenamkan diri dalam peti mati, seakan terapung dalam perahu, meluncur dalam kegelapan mengarungi sungai darah penuh kutukan yang menderas dalam tubuhku. Bayangan ayah menyeringai, mengucap selamat atas nasib baikku. Ibu, dengan tubuh penuh cacing dan belatung, bangkit dari kubur, kemudian berteriak-teriak memakiku, terbahak dan menghajarku seperti sering dilakukannya dulu. “Anak setan, kamu sungguh-sungguh sempurna sebagai keturunan setan!” Aku memejam. Peti mati ini menjadi satu-satunya tempat paling berarti, paling nyaman. Kukira, memang, kematian adalah tempat paling nyaman. Kini, aku mengurung diri dalam peti mati, sebagai mummi.
“Selamat pagi, Bapak. Kenapa terus bersembunyi di peti mati. Ini bangkai anjing untuk Bapak, mungkin berguna untuk mengusir sepi.” Kupandangi seratus anakku, seperti memandangi kebusukan hatiku. Mereka bergerak serempak, mereka begitu kompak. Mereka bicara seperti paduan suara gereja. Ah, anak-anak yang lucu, kenapa kau membuat aku merasa begini celaka. Kutahu, kelak mereka akan menjadi bandit, pencoleng, pembunuh dan pemerkosa. Mungkin diantara mereka akan ada yang menjadi penguasa. Keburukan dan kebiadaban mereka sungguh merupakan bakat sempurna untuk menjadi seorang penguasa.
“Kami pergi dulu, Bapak. Hari ini kami mesti berkelahi!” Mereka pamit. Menjabat tanganku dan menciumnya. Takzim. Seperti santri hendak pergi mengaji.
Hmm. Anak baik. Bagaimanapun mereka anak-anak yang baik, yang berhak merasa bahagia dengan semua kebiadabannya. Nampaknya mereka begitu bahagia menjadi kawanan serigala. Ya, ya, bagaimanapun mereka anak-anakku, dan mereka berhak bahagia, meski seandainya mereka benar-benar sekawanan serigala. Biarlah serigala menjadi serigala, dengan segala kebaikan dan keburukannya. Kenapa mesti memaksa mereka menjadi manusia? Itu impian tak berguna, juga celaka. Berharap menjadi manusia adalah impian paling sengsara. Biarkan saja mereka melakukan apa yang mereka suka. Karena kesalahanku yang terbesar adalah menjadi manusia. Sejak dilempar dari sorga, manusia terus dikutuk untuk tidak bahagia. Menjadi manusia adalah kutukan!
Lalu kutelepon Menelaus. Kuceritakan semuanya, dan kukatakan betapa senangnya mempunyai anak-anak sebuas dan serupa serigala. “Lucu dan menggemaskan,” kataku. “Bagaimana dengan kau sendiri, Menelaus?”
“Aku? Tentu saja sehat-sehat saja, Campa. Aku bahagia. Sangat bahagia…” Suara Menelaus terdengar ganjil, seperti ketika malam-malam kudengar ia mengerang kesakitan disiksa ayahnya. Aku merinding mendengarnya.
“Apakah kau benar-benar bahagia, Campa?”
Kututup telepon, seperti Sisipus yang kepayahan meletakkan gelondong batu dari pundaknya. Bahagia? Yeah, kukira aku memang bahagia, sangat bahagia.

Yogyakarta, 1997-1998
Retyped by daszenk sumardjani


Postingan Terkait

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter