***
Tapi hidup memang tak bisa diduga. Suatu kali, aku jatuh cinta
pada setumpuk ttulang-belulang yang teronggok di timbunan sampah. Sisa daging
membusuk masih melekat di beberapa bagian tulang itu. Aku memandanginya dengan
takjub, ketika tiba-tiba saja tumpukan tulang-belulang itu bangkit, dan bicara
padaku, “Berilah aku cinta, maka aku akan jadi isterimu yang paling setia!”
Tengkorak yang tanpa mata, menatapku dengan mesra, membuatku seperti tersihir
tak memiliki kuasa ketika ia menggandeng tanganku, bergelayut manja.
Kami berjalan keliling kota, saling dekap, sebagaimana sepasang
remaja bercinta. Sesekali jerangkong itu mencium pipiku. “Sungguh pasangan yang
serasi…” Orang-orang memandangi kami dengan perasaan iri. Dan entah kenapa, aku
merasa begitu bahagia oleh curahan cinta jerangkong itu. Kukira, ya, kukira,
soal utama dalam hidup ini adalah bagaimana kita bisa bahagia…. Yeah, kukira
memang begitu. Selama ini aku selalu tersiksa oleh bayangan perkawinan. Aku
trauma pada apa yang disebut keluarga, karena tak lebih dari neraka. Padahala
keinginanku cuma sederhana: hidup bahagia dengan isteri penurut dan setia. Tak
usah cantik. Tak perlu pintar. Karena perempuan cantik dan pintar justeru
makhluk paling berbahaya di dunia. Persoalannya, aku tak mudah percaya pada
wanita. Aku selalu curiga pada setiap betina yang kujumpa. Aku tak pernah
percaya pada kontak jodoh yang ditawarkan koran-koran. Apa yang bisa dijamin
ketika kita membaca kolom kontak jodoh macam itu, hah?! Gadis, 28 tahun,
hitam manis, sabar dan pengertian, karyawan swasta, mendambakan jejaka atau
duda tanpa anak yang pengertian dan sudah kerja…. Tai kucing semua!
Bagaimana kalau gadis manis itu ternyata maniak seks dan pernah kena raja
singa.
Matsya, demikian jerangkong itu menyebut dirinya, memberikan
seluruh dirinya. Ia menceritakan riwayat pembantaiannya ketika suatu malam
segerombolan lelaki kekar menjarah rumahnya, membakar, dan menguras seluruh
isinya. “Tak puas dengan itu semua, kemudian mereka mulai menggagahiku.
Memperkosa, bergiliran. Aku ingat tawa mereka, aku selalu terbayang seringai
mereka. Tapi aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Mungkin tubuh saya
dibiarkan tergeletak. Mungkin juga leher saya dicekik, kemudian tubuh saya
dipotonng menjadi beberapa bagian. Entahlah. Aku hanya tahu betapa setelah
peristiwa itu tubuhku dengan cepat membusuk, dan kudapati tibuhku telah menjadi
tulang-belulang. Sampai kemudian aku bergairah melihatmu, ketika kamu lewat di
tempat pembuangan sampah itu. Begitu melihatmu, aku langsung jatuh cinta….”
Cinta? Entahlah, aku tak sepenuhnya percaya. Tapi aku selalu
terpesona pada cara bicara Matsya. Tak ada yang lebih menakjubkan dari
Matsya selain ketika ia berbicara. Tiap
kata yang keluar dari rongga mulutnya selalu menjelma gagak hitam yang
berkaokan memenuhi udara. Koaakk!! Koaakk!! Betapa menakjubkan. Itulah
yang membuatku terpesona pada Matsya dan tak menolak ketika ia mengjakkku hidup
bersama.
Yeah, kamipun
menikah. Tanpa sakramen, tanpa khotbah perkawinan yang panjang dan membosankan
karena terlalu sering diulang-ulang, tanpa upacara, tanpa pesta.
“Sungguh jodoh yang sempurna, Tuan Campa.” Kata beberapa
tetangga, yang datang bermaksud mengucapkan selamat.
Kubanting pintu. Aku tak perlu ucapan seperti itu.
Inilah hari hari baruku, penuh bunga dan aroma cinta. Kami bulan
madu ke Siberia, tempat paling indah di dunia, mengunjungi musium kamp
konsentrasi, kami manghabiskan malam-malam di kuburan, di tengah kecamuk
perang. Kami bercinta dalam lubang buaya, tempat puluhan jendral dibenamkan,
agar dipuncak kenikmatan senggama kami bisa pula menghayati bagaimana rasanya
mati disiksa dan menderita. Matsya sungguh isteri luar biasa. Tak pernah ribut
dengan harga gula dan minyak yang sering melambung tak terduga. Matsya
melayaniku seperti seorang budak melayani raja. Kami sepanjang hari bercinta.
Kami tinggal di rumah baru kami yang berbentuk piramida di pinggir sungai
Amazonia. Kami tidur dalam peti mati seperti sepasang mummi yang selalu bangkit
pada pagi hari. Menyeduh kopi, menikmati setangkup roti dan bernyanyi dan
menari di bawah hangatnya matahari. Kami bercinta sepanjang hari. Sesekali
kutelepon Menelaus, kukatakan betapa bahagianya aku. Tiap purnama, kami duduk-dudk
di puncak piramida, rumah kami yang tenang dan sederhana, memandang singai
Tiber yang berkilauan di bawah cahaya purnama, jauh di utara kota sana,
berkelokan melintasi perbukitan Aventinus yang tenang bagai raksasa kecapaian,
berwarna hijau sutera. Sementara Matsa memainkan harpa sambil menembang
entah apa.
Aja turu sore kaki
Ana Dewa ngalanglang jagat…
Bulan berkilat bagai jambangan perak yang ditentang Dewa
mengarungi angkasa. Sambil rebahan di pangkuan Matsya, aku mengenang masa silam
yang penuh petaka. Cahaya bulan membuat tulang-belulang Matsya tampak lebih
putih. Sisa daging yang membusuk dan berlelehan lendir. Tapi, terus terang, aku
suka dengan bau yang menguar dari daging yang penuh belatung itu. Kukira aroma
parfum Calvin Klein atau Christian Dior pun tak mampu membangkitkan gairah dan
birahi seperti bau tubuh Matsya. Sampai kemudian Matsya hamil, perutnya dengan
cepat membengkak bagai orang menderita busung lapar. “Aku akan melahirkan nanti
malam,” Katanya. Segera kupanggil bidan Nemea. Langit bergolak. Gelap pekat.
Halilintar menggelegar, badai topan, mengusung awan hitam dan kulihat seekor
naga raksasa muncul dari langit yang tiba-tiba terbuka, seakan datang dari
dasar neraka, menyemburkan lidah api hingga gunung-gunung seketika meledak dan
gempa membuat laut bergemuruh mengirim gelombang-gelombang besar yang menelan
ribuan kota. Saat itulah Matsya melahirkan: segumpal daging busuk sebesar telur
angsa. Kulihat naga raksasa itu menjilati segumpal daging yang dibopong Nemea.
Langit seketika reda. Angin mati dan gunung sunyi bagai pertapa abadi, khusyuk
dalam kabut. Kupandangi mata Matsya yang menjadi ungu, kemudian kulihat daging
sebesar telur angsa di tangan Nemea itu pecah setelah berkali-kali dijilati
naga, dan keluarlah puluhan lintah yang dengan cepat membesar dan menjelma
menjadi seratus bocah liar yang langsung melolong mengabarkan kelahirannya. Aku
telah menjadi ayah. Ayah dari seratus serigala. Betapa. Kulihat Matsya begitu
bahagia. Kukecup keningnya. Mendadak naga raksasa itu lenyap disertai ledakan
besar yang membuat lubang hitam di tata surya.
“Selamat, Tuan Campa,” Bidan Nemea berkemas. “kalian telah
melahirkan kawanan makhluk paling menjijikkan di dunia. Sekali lagi, selamat.”
Kubopong isteriku ke puncak piramida sambil menyelonjorkan kaki,
kami amati seratus anak kami yang terus berlolongan, berhamburan menyerbu kota
bagai gerombolan serigala. Dengan cepat mereka tumbuh sebesar gajah. Mereka
rebut semua mainan anak-anak yang tengah bercengkrama di taman kota, menyerobot
makanan dan minuman anak-anak itu, memukuli penjual es krim dan merebut tongkat
para lansia atau mendorong kursi roda orang –orang jompo sampai terguling masuk
selokan. Mereka serang gadis-gadis berkaki indah merangsang yang lalu lalang di
mall, mereka gasak dan mereka hisap setiap tetek perempuan hingga kering dan
gosong. Air liur mereka hitam pekat terus bercucuran, membuat aspal mengelupas
dan rerumputan terbakar seketika. Begitulah, seratus anakkku tumbuh menjadi
segerombolan perusuh paling ditakuti. Mereka berak di sembarang tempat, membuat
kota bau busuk luar biasa. Mereka makan apa saja seperti monster yang membuat
pepohonan langsung meranggas begitu mereka menyentuhnya. Seluruh kota membenci
mereka, tetapi tak bisa apa-apa.
Post a Comment
Post a Comment