Cerpen keluarga bahagia | Agus C Noor bag 2

Post a Comment
kelaurga bahagia c noor
***
Tapi hidup memang tak bisa diduga. Suatu kali, aku jatuh cinta pada setumpuk ttulang-belulang yang teronggok di timbunan sampah. Sisa daging membusuk masih melekat di beberapa bagian tulang itu. Aku memandanginya dengan takjub, ketika tiba-tiba saja tumpukan tulang-belulang itu bangkit, dan bicara padaku, “Berilah aku cinta, maka aku akan jadi isterimu yang paling setia!” Tengkorak yang tanpa mata, menatapku dengan mesra, membuatku seperti tersihir tak memiliki kuasa ketika ia menggandeng tanganku, bergelayut manja.
Kami berjalan keliling kota, saling dekap, sebagaimana sepasang remaja bercinta. Sesekali jerangkong itu mencium pipiku. “Sungguh pasangan yang serasi…” Orang-orang memandangi kami dengan perasaan iri. Dan entah kenapa, aku merasa begitu bahagia oleh curahan cinta jerangkong itu. Kukira, ya, kukira, soal utama dalam hidup ini adalah bagaimana kita bisa bahagia…. Yeah, kukira memang begitu. Selama ini aku selalu tersiksa oleh bayangan perkawinan. Aku trauma pada apa yang disebut keluarga, karena tak lebih dari neraka. Padahala keinginanku cuma sederhana: hidup bahagia dengan isteri penurut dan setia. Tak usah cantik. Tak perlu pintar. Karena perempuan cantik dan pintar justeru makhluk paling berbahaya di dunia. Persoalannya, aku tak mudah percaya pada wanita. Aku selalu curiga pada setiap betina yang kujumpa. Aku tak pernah percaya pada kontak jodoh yang ditawarkan koran-koran. Apa yang bisa dijamin ketika kita membaca kolom kontak jodoh macam itu, hah?! Gadis, 28 tahun, hitam manis, sabar dan pengertian, karyawan swasta, mendambakan jejaka atau duda tanpa anak yang pengertian dan sudah kerja…. Tai kucing semua! Bagaimana kalau gadis manis itu ternyata maniak seks dan pernah kena raja singa.
Matsya, demikian jerangkong itu menyebut dirinya, memberikan seluruh dirinya. Ia menceritakan riwayat pembantaiannya ketika suatu malam segerombolan lelaki kekar menjarah rumahnya, membakar, dan menguras seluruh isinya. “Tak puas dengan itu semua, kemudian mereka mulai menggagahiku. Memperkosa, bergiliran. Aku ingat tawa mereka, aku selalu terbayang seringai mereka. Tapi aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Mungkin tubuh saya dibiarkan tergeletak. Mungkin juga leher saya dicekik, kemudian tubuh saya dipotonng menjadi beberapa bagian. Entahlah. Aku hanya tahu betapa setelah peristiwa itu tubuhku dengan cepat membusuk, dan kudapati tibuhku telah menjadi tulang-belulang. Sampai kemudian aku bergairah melihatmu, ketika kamu lewat di tempat pembuangan sampah itu. Begitu melihatmu, aku langsung jatuh cinta….”
Cinta? Entahlah, aku tak sepenuhnya percaya. Tapi aku selalu terpesona pada cara bicara Matsya. Tak ada yang lebih menakjubkan dari Matsya  selain ketika ia berbicara. Tiap kata yang keluar dari rongga mulutnya selalu menjelma gagak hitam yang berkaokan memenuhi udara. Koaakk!! Koaakk!! Betapa menakjubkan. Itulah yang membuatku terpesona pada Matsya dan tak menolak ketika ia mengjakkku hidup bersama.
Yeah, kamipun menikah. Tanpa sakramen, tanpa khotbah perkawinan yang panjang dan membosankan karena terlalu sering diulang-ulang, tanpa upacara, tanpa pesta.
“Sungguh jodoh yang sempurna, Tuan Campa.” Kata beberapa tetangga, yang datang bermaksud mengucapkan selamat.
Kubanting pintu. Aku tak perlu ucapan seperti itu.
Inilah hari hari baruku, penuh bunga dan aroma cinta. Kami bulan madu ke Siberia, tempat paling indah di dunia, mengunjungi musium kamp konsentrasi, kami manghabiskan malam-malam di kuburan, di tengah kecamuk perang. Kami bercinta dalam lubang buaya, tempat puluhan jendral dibenamkan, agar dipuncak kenikmatan senggama kami bisa pula menghayati bagaimana rasanya mati disiksa dan menderita. Matsya sungguh isteri luar biasa. Tak pernah ribut dengan harga gula dan minyak yang sering melambung tak terduga. Matsya melayaniku seperti seorang budak melayani raja. Kami sepanjang hari bercinta. Kami tinggal di rumah baru kami yang berbentuk piramida di pinggir sungai Amazonia. Kami tidur dalam peti mati seperti sepasang mummi yang selalu bangkit pada pagi hari. Menyeduh kopi, menikmati setangkup roti dan bernyanyi dan menari di bawah hangatnya matahari. Kami bercinta sepanjang hari. Sesekali kutelepon Menelaus, kukatakan betapa bahagianya aku. Tiap purnama, kami duduk-dudk di puncak piramida, rumah kami yang tenang dan sederhana, memandang singai Tiber yang berkilauan di bawah cahaya purnama, jauh di utara kota sana, berkelokan melintasi perbukitan Aventinus yang tenang bagai raksasa kecapaian, berwarna hijau sutera. Sementara Matsa memainkan harpa sambil menembang entah apa.
Aja turu sore kaki
Ana Dewa ngalanglang jagat…
Bulan berkilat bagai jambangan perak yang ditentang Dewa mengarungi angkasa. Sambil rebahan di pangkuan Matsya, aku mengenang masa silam yang penuh petaka. Cahaya bulan membuat tulang-belulang Matsya tampak lebih putih. Sisa daging yang membusuk dan berlelehan lendir. Tapi, terus terang, aku suka dengan bau yang menguar dari daging yang penuh belatung itu. Kukira aroma parfum Calvin Klein atau Christian Dior pun tak mampu membangkitkan gairah dan birahi seperti bau tubuh Matsya. Sampai kemudian Matsya hamil, perutnya dengan cepat membengkak bagai orang menderita busung lapar. “Aku akan melahirkan nanti malam,” Katanya. Segera kupanggil bidan Nemea. Langit bergolak. Gelap pekat. Halilintar menggelegar, badai topan, mengusung awan hitam dan kulihat seekor naga raksasa muncul dari langit yang tiba-tiba terbuka, seakan datang dari dasar neraka, menyemburkan lidah api hingga gunung-gunung seketika meledak dan gempa membuat laut bergemuruh mengirim gelombang-gelombang besar yang menelan ribuan kota. Saat itulah Matsya melahirkan: segumpal daging busuk sebesar telur angsa. Kulihat naga raksasa itu menjilati segumpal daging yang dibopong Nemea. Langit seketika reda. Angin mati dan gunung sunyi bagai pertapa abadi, khusyuk dalam kabut. Kupandangi mata Matsya yang menjadi ungu, kemudian kulihat daging sebesar telur angsa di tangan Nemea itu pecah setelah berkali-kali dijilati naga, dan keluarlah puluhan lintah yang dengan cepat membesar dan menjelma menjadi seratus bocah liar yang langsung melolong mengabarkan kelahirannya. Aku telah menjadi ayah. Ayah dari seratus serigala. Betapa. Kulihat Matsya begitu bahagia. Kukecup keningnya. Mendadak naga raksasa itu lenyap disertai ledakan besar yang membuat lubang hitam di tata surya.
“Selamat, Tuan Campa,” Bidan Nemea berkemas. “kalian telah melahirkan kawanan makhluk paling menjijikkan di dunia. Sekali lagi, selamat.”
Kubopong isteriku ke puncak piramida sambil menyelonjorkan kaki, kami amati seratus anak kami yang terus berlolongan, berhamburan menyerbu kota bagai gerombolan serigala. Dengan cepat mereka tumbuh sebesar gajah. Mereka rebut semua mainan anak-anak yang tengah bercengkrama di taman kota, menyerobot makanan dan minuman anak-anak itu, memukuli penjual es krim dan merebut tongkat para lansia atau mendorong kursi roda orang –orang jompo sampai terguling masuk selokan. Mereka serang gadis-gadis berkaki indah merangsang yang lalu lalang di mall, mereka gasak dan mereka hisap setiap tetek perempuan hingga kering dan gosong. Air liur mereka hitam pekat terus bercucuran, membuat aspal mengelupas dan rerumputan terbakar seketika. Begitulah, seratus anakkku tumbuh menjadi segerombolan perusuh paling ditakuti. Mereka berak di sembarang tempat, membuat kota bau busuk luar biasa. Mereka makan apa saja seperti monster yang membuat pepohonan langsung meranggas begitu mereka menyentuhnya. Seluruh kota membenci mereka, tetapi tak bisa apa-apa.


Postingan Terkait

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter