Ruang Lingkup Kajian Psikolinguistik

Post a Comment
Psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia. Menurut Chaer (2003 : 5-6), mengemukakan tujuan utama psikolinguistik adalah mencari satu teori bahasa secara linguistik dapat diterima dan secara psikologi dapat menerangkan hakikat bahasa dan pemerolehannya.

1.    Otak dan Bahasa
                Otak dan bahasa lebih dikenal dengan neurologi, yang di mana adanya hubungan antara organ otak manusia dengan bahasa, baik itu dalam penyimpanan, penggunaan, dan pemerolehan bahasa itu sendiri. Seperti yang kita ketahui bahwa otak adalah pusat dari segala aktivitas manusia. Otak yang mengatur langsung pikiran, motivasi, emosional manusia sampai pada saatnya para pakar neurologi menemukan hubungan akan organ otak dengan bahasa itu sendiri seperti yang dikatakan oleh salah satu ahli linguistik, Ferdinand de Saussere.
Teimournezhad and Khosravizadeh (2011) bahwa manusia itu unik dibandingkan dengan makhluk lainnya. Hal itu dikarenakan oleh kemampuan pikiran yang dimilikinya mampu menolong mereka menemukan fakta-fakta yang ada di dunia. Seperti halnya juga dikatakan oleh Lenneberg (dalam Hakim (2012)) menyatakan bahwa manusia mempunyai kecenderungan biologis khusus dalam memperoleh bahasa dibandingkan dengan hewan. Adapun alasan mengapa mengatakan hal demikian adalah :
1.    Terdapat pusat-pusat yang khas dalam otak manusia;
2.    Perkembangan yang sama bagi semua bayi;
3.    Kesukaran yang dialami untuk menghambat pertumbuhan bahasa pada manusia;
4.    Bahasa tidak mungkin diajarkan kepada makhluk lain;
5.    Bahasa itu memiliki kesemestaan bahasa (Language Universal)
Berdasarkan alasan yang telah dijabarkan, maka sangat jelas terlihat hubungan antara otak dan pemerolehan bahasa manusia dimana adanya bagian-bagian otak yang berfungsi dalam pemerosesan bahasa. Ini terlihat dari pendapat Gall (dalam Saptaji(2011)) yang menyatakan bahwa otak bukanlah satu organ tanpa bagian-bagian, melainkan terdiri atas bagian-bagian yang masing-masing memunyai fungsi tertentu. Bagian terbesar, yang merupakan porsi terbesar dari otak kita 80% disebut otak besar (cerebrum). Otak besar ini terdiri atas miliaran sel dan terbagi menjadi dua bagian (hemisfer kanan dan kiri). Otak besar inilah yang bertanggung jawab atas fungsi-fungsi berpikir tingkatan tertinggi dan pengambilan keputusan.
Otak besar manusia terbagi menjadi empat bagian utama yang disebut lobus (lobe), yaitu lobus depan (frontal), lobus tengah (parietal), lobus penglihatan (occipital), dan lobus pendengaran (temporalis). Lobus penglihatan (occipital) terletak sedikit di belakang bagian otak dan terutama bertanggung jawab pada penglihatan. Lobus depan (frontal) terletak di wilayah skitar kening dan punya andil terhadap tindakan-tindakan yang disengaja, seperti memberi penilaian, kreativitas, menyelesaikan masalah, dan merencanakan. Lobus tengah (parietal) terletak pada bagian atas dari otak. Tugasnya adalah memproses sesuatu yang berhubungan dengan sensori yang lebih tinggi dan fungsi-fungsi bahasa. Lobus pendengaran (temporal) terletak di bagian kiri dan kanan berada di bagian atas dan sekitar telinga. Bagian ini terutama bertanggung jawab terhadap pendengaranan, memori, pemaknaan, dan bahasa, meskipun ada beberapa fungsi yang saling tumpang tindih antara masing-masing lobus ini.
Adapun fungsi dari otak kanan adalah berperan dalam bahasa non verbal, pengendalian emosi, kesenian, kreativitas dan berfikir holistik. Sedangakan fungsi otak kiri adalah berperan dalam perkembangan bahasa dan bicara, karena mengatur kemampuan berbicara, pengucapan kalimat dan kata, pengertian pembicaraan orang, mengulang kata dan kalimat, disamping kemampuan berhitung, membaca, dan menulis. Kedua belahan otak dihubungkan oleh serabut syaraf dan kerja sama terjadinya melalui suatu bagian yang disebut korpus kalosum, walau pada kenyataannya dalam aktivitas tertentu hanya salah satu belahan otak yang berperan.
Perkembangan otak menyebabkan terjadinya Lateralisasi atau dikenal dengan Brain Lateralization yang dimana kedua belahan otak mengalami spesialisasi. Lateralisasi yang dimaksud adalah peristiwa lokalisasi fungsi bahasa pada salah satu belahan otak. ketika anak lahir, perbedaan fungsi-fungsi kedua belahan otak sangatlah sedikit, namum seiring pertumbuhan dan perkembangan, fungsi belahan otakpun ikut berkembang. Ada yang mengatakan bahwa salah satu belahan otak manusia akan berfungsi dominan ketika ia beranjak dua tahun sampai 11 atau 13 tahun, namun ada juga yang menyatakan proses itu hanya berlangsung sampai umur lima tahun.
Lateralisasi otak sangat mempengaruhi bagaimana kedepannya anak memproduksi bahasa, dikarenakan peroses lateralisasimempunyai kontribusi yang besar terhadap kemampuan pelafalan anak dalam pengucapan kata. Menurut Patkowski (dalam Steinberg (1980)) menyatakan bahwa lateralisasi otak hanya mempengaruhi kemampuan anak dalam pelafalan atau pengucapan dalam berbahasa, namun belum mampu mencakup pengetahuan sintaktik anak. Sehingga, dalam peroses lateralisasi input yang didapatkan oleh anak hanya berupa bunyi atau pengucapan setiap kata yang dimana akan mampu membuat anak fasih dalam berbicara.
Di sisi lain, Lateralisasi sangat berkaitan erat dengan Golden Age yakni masa keemasan anak dalam memperoleh atau mempelajari bahasa. Pada masa ini merupakan periode yang mudah bagi anak untuk mempelajari bahasa, dikarenakan saraf-saraf otak masih sangat plastis atau lentur. Sehingga ketika masa Lateralisasi belum selesai, maka anak dianjurkan untuk menerima lebih banyak input yang dapat menyebabkan kemampuan berbahasa lebih tinggi dibandingkan mendapatkan input setelah masa Lateralisasi berakhir. Itulah di katakan periode lateralisasi beriringan dengan periode kritis yang mampu mempermudah anak dalam memperoleh atau mempelajari bahasa. Seperti yang dikatakan oleh Christian, et. al (dalam Hakim (2012)) bahwa yang dimaksud dengan masa keemasan atau periode kritis adalah periode dimana anak mampu menguasai bahasa secara alami dan lebih cepat tanpa membuang tenaga yang lebih.
Namun, dikondisi yang lain banyak fenomena yang kita temukan tentang masih ada anak atau orang-orang yang tidak dapat berbicara atau mengalami gangguan dalam berbicara, dimana salah satu penyebab terjadinya karena adanya gangguan pada otak. Gangguan pada otak bisa disebabkan oleh sebuah kecelakaan, benturan atau bahkan sudah ada ketika anak baru lahir. Menurut Faisal, et al (dalam Hakim (2012)) menyatakan bahwa gangguan dalam berbahasa bisa disebabkan oleh psikolgis atau kejiwaan seseorang. Ketika kejiwaan seseorang tidak stabil atau terganggu, maka hal itu juga dapat mengganggu kinerja otak. Salah satu contoh gangguan berbahasa karena faktor psikologi adalah schizoprenia. Orang yang terkena schizoprenia cenderung melupakan topik yang dibicarakan, mereka sering loncat dari topik yang satu ke topik yang lainnya.
Gangguan berbahasa yang paling dikenal dalam kajian Psikolinguistik adalah aphasia, yang dimana terjadinya kerusakan pada otak. Broca Aphasia dan Wernick Aphasia adalah jenis aphasia yakni bilamana terjadi kerusakan pada area Broca maka disebut Brocca Aphasia, dan anak akan mengalami gangguan berbahasa seperti tidak lancar dalam berbicara, kata-kata tidak terbentuk dengan baik, dan ujaran pelan dan menyatu. Sedangkan Wernick aphasia yaitu adanya gangguan pada daerah wenick yang dapat menyebabkan anak kehilangan kemampuan berbahasa. Anak tersebut dapat berbicara dengan sangat jelas tetapi kata-kata yang diucapkan tidak masuk akal, kata-katanya bercampur menjadi satu. Akan tetapi merujuk pada Schuel dan Jenkins (dalam Hakim (2012)) membagi beberapa jenis aphasia yaitu :
Aphasia penghantar, yaitu kerusakan pada pusat otak dan kerusakan pada saluran serabut, mereka menyebutnya gangguan tingkat atas dan bawah.
Aphasia kata kerja (verbal aphasia) disebabkan oleh kerusakan pada lobus, baik di depan maupun di belakang pusat.
Aphasia sintaksis (syntactical aphasia) disebabkan oleh kerusakan-kerusakan pada belitan (gyrus) otak di daerah lobus frontal.
Aphasia kata benda (nominal aphasia) disebabkan oleh kerusakan di daerah “angular gyrus” (belitan bersiku).
Aphasia semantik (semantic aphasia) disebabkan oleh kerusakan pada “supra marginal gyrus
Kesemua jenis gangguan dalam berbahasa yang dialami oleh setiap orang tidak selamanya permanen pada diri mereka. Melainkan, gangguan tersebut dapat disembuhkan seiring berjalannya waktu, terlebih jika diberikan perlakuan yang lebih seperti pengobatan, terapi dan hal yang terpenting lingkungan sekitar mendukung kesembuhan mereka.
2.  Pikiran dan Bahasa
                Keterkaitan antara pikiran dan bahasa menjadi salah satu yang menarik dalam kajian Psikolinguistik. Seperti yang kita ketahui bahwa bahasa adalah alat penyambung lidah seseorang, yang dimana bahasa adalah alat komunikasi kita dalam kehidupan sehari-hari untuk menyampaikan berbagai macam ide, ekspresi, dan perasaan kepada orang lain. Disisi lain kita juga dituntut untuk memahamai setiap ujaran dan ucapan yang disampaikan oleh orang lain. Dengan melihat hal demikian, kita dapat mengkaitkan hubungan antara pikiran dan bahasa dimana bahasa adalah media manusia dalam menyampaikan aspirasi atau ide-ide mereka. Seperti yang dikatakan oleh Supendi (2012) menyatakan bahwa dalam penggunaan bahasa terjadi proses mengubah pikiran menjadi kode dan mengubah kode menjadi pikiran. Ujaran merupakan sintesis dari proses pengubahan konsep menjadi kode, sedangkan pemahaman pesan tersebut hasil analisis kode.
Menurut Whorf dan Sapir (dalam Widhiarso (2005)) memaparkan bahwa pikiran manusia ditentukan oleh sistem dari klasifikasi bahasa tertentu yang digunakan oleh manusia dan  bahasa mampu mempengaruhi cara pandang manusia terhadap dunia. Jadi dengan melihat pemikiran ini dapat kita katakan bahwa bahasa mampu mempengaruhi pikiran manusia, yang dimana dunia mental orang akan terlihat berbeda dari bahasanya, seperti mental orang Indonesia dengan mental dunia orang Inggris. Namun disisi lain, para ahli psikolinguistik juga berendapat bahwa pikiran juga mampu mempengaruhi bahasa. Hal ini terjadi karena ahli Psikolinguistik fokus pada perkembangan kognitif anak. Pendapat ini pun di dukung oleh Choamsky dengan mengatakan bahwa pekembangan aspek bahasa merupakan sebuah faktor penting dalam perpindahan prilaku menjadi pendekatan kognitif dalam bahasa dan pikiran. Singkatnya, Choamsky melihat keterkaitan akan bahasa dan pikiran lebih merujuk pada bagaimana kemampuan dan penampilan setiap orang dalam menggunakan bahasa. Terakhir, keterkaitan antara pikiran dan bahasa dapat saling mempengaruhi satu sama lain, karena disini pakar Psikolinguistik lebih melihat pada hubungan timbal balik kata-kata atau bahasa dengan pikiran.
Salah satu pembahasan yang ada dalam hubungan antara bahasa dan pikiran adalah Mental Lexicon (kosakata yang sudah ada dalam pikiran manusia). Menurut Wilson dalam (dalam Ratjczak (1994)) menyatakan bahwa kosa kata merupakan pusat yang menghubungakannya dalam pemerosesan bahasa. Hal ini dikarenakan bahwa kosa kata merupakan cerminan dari pada pengetahuan manusia akan bahasa yang telah dipelajari atau diperolehnya. Manusia telah dianugrahi Mental Lexicon yang dimana merupakan kamus kosa kata yang telah ada di dalam pikiran manusia. Kosa kata atau input yang didapatkan dalam pemerolehan bahasa akan tersimpan didalam Mental Lexicon itu sendiri dan sampai pada akhirnya akan mampu diproduksi oleh manusia ketika berbicara.
Menurut Miller dan Jackendof (dalam Ratjczak (1994)) menjelaskan bahwa kata-kata yang masuk di dalam Mental Lexicon berupa sebuah kata yang berupa bunyi, sebuah rangkaian morphologi kata, dan informasi makna. Kesemuanya merupakan model dari Lexicon itu sendiri, yakni phonology Lexicon, Morphologi Lexicon dan Semantik Lexicon, yang dimana semuanya adalah sebuah bagian pengorganisasian berdasarkan bidang ilmu mereka. Menurut Carrol (dalam Ratjczak (1994)) menyatakan bahwa semantik Lexicon fokus pada makna yang dimana dalam pengorganisasiannya melibatkan gabungan kata (word association), dan kesalahan berbicara (speech error). Gabungan kata (word association) disini lebih kepada bagaimana subject’s response (atau respon pelaku) terhadap informasi apa yang telah disimpan di dalam mental Lexicon itu sendiri. Kata yang telah menjadi input akan mampu dikaitkan dengan kata yang lainnya. Misalkan kata “bulan”, akan ada kemungkinan respon katanya adalah “matahari, malam atau bintang”, ini dikarenakan berada pada kelompok kata yang sama.
Mental Lexicon juga berkaitan dengan Human memory (ingatan manusia), dimana ketika kata yang telah masuk kedalam mental lexicon, itu berarti kata tersebut telah disimpan dalam pikiran manusia, dan akan diterima oleh memory yang dimana akan mampu menjadi pengetahuan bagi mereka. Menurut Fauziati (2008) menyatakan bahwa memori adalah sebuah rekaman pengalaman yang permanen dimana input tersebut secara permanen telah tersimpan di dalam mental lexicon. Memori atau ingatan manusia terbagi menjadi dua, yaitu memori pendek (shorterm memory) dan memori panjang (longterm memori). Akan tetapi Taylor (dalam Fauziati (2008)  membagi menjadi 3 bagian yaitu sensory register, shorterm memory, dan longterm memori. Sensory register disini adalah sebuah tempat dimana sebuah rangsangan diterima untuk pertama kali yang nanti akan diteruskan ke shor-term memori. Sedangkan short-term memori merupakan sebuah tempat dimana informasi disimpan sementara selama memperoses pesan, informasi ini berasal dari sensory register. Sementara informasi yang disimpan dalam jangka waktu yang lama atau permanen untuk di proses, dimengerti, terjadi dalam long-term memory. Misalkan, untuk short-term memori anak mampu mengingat digit nomor yang diacak pada saat itu, namun setelahnya akan lupa. Sedangkan untuk long-term memori lebih mengacu kepada pengalaman atau informasi yang telah dialami sebelumnya.
Kata yang telah tersimpan di dalam memori, harus mengalami proses latihan atau pengulangan yang disebut dengan (retrieval process) yakni prosess dimana kata tersebut akan selalu mengalami pengulangan penggunaan sehingga dia mampu memahami dan menggunakan kata tersebut dengan baik. Tepatnya kata tersebut akan tersimpan dalam memory panjang (longterm memory). Seperti yang dipaparkan oleh Fauziati (2008) menyatakan bahwa anak harus mengulang informasi dari memori untuk mampu membetuk kata atau kalimat yang sebelumnya pernah didengar atau dibaca olehnya. Apa dan seberapa banyak anak mengingat kata atau kalimat tersebut tergantung dari bagaimana mereka mendapatkan kata atau kalimat pertama kalinya. Mereka mungkin tidak akan mampu mengerti arti kata atau kalimat tersebut jika mereka belum menyimpan arti itu ke dalam memori selama mereka belajar. Jadi, pengetahuan yang didapatkan oleh seorang anak dalam mempelajari atau memperoleh bahasa merupakan hasil penyimpanan dari memori yang kemudian mampu diproduksi oleh anak tersebut..
Memori mempunyai peranan penting dalam mempelajari atau memproduksi bahasa, dikarenakan memori berperan dalam memproses wacana atau kalimat. Pemerosesan bahasa mengacu pada cara manusia menggunakan kata-kata untuk mengkomunikasi ide-ide atau ekspresi mereka, sehingga dapat dipahami satu sama lain. Ada dua jenis pemerosesan bahasa yaitu pemerosesan kalimat dan pemerosesan wacana. Pemerosesan kalimat fokus pada sintaktik dari kalimat itu sendiri, jadi dalam hal ini anak akan mengetahui makna kalimat berdasarkan sintaktiknya. Jadi dia menempatkan arti dalam memori berdasarkan struktur kalimatnya. Sedangkan pemerosesan wacana fokus pada bagaimana anak mengintrepetasi ide yang merupakan sebuah text atau wacana yang merupakian hasil dari pada pengetahuan yang ada dalam memori. Menurut Lebowitz (1985) memberikan contoh dari penggunaan memori dalam pemerosesan wacana yaitu pada kalimat “ Lina menyapu lantai”, maka anak akan secara langsung memahami kalimat tersebut bahwa Lina menyapu dengan sapu lidi. Hal ini dikarenakan jenis kalimat tersebut telah menjadi input dan tersimpan dalam memori yang dimana telah menjadi pengetahuan anak bahwa ketika mendengar kata “menyapu”, maka secara spontan akan menginterpretasikan kata “sapu”. Jadi dalam hal ini kata sapu dan kalimat tersebut telah tersimpan dalam memori jangka panjang anak, sehingga dengan spontan memproduksi kata tersebut selama proses wacana berlangsung.
Ketika anak telah mempunyai banyak input di mental lexicon dan pengetahuan yang telah mereka simpan dalam memori, maka secara langsung anak akan mampu mulai menggunakan atau memproduksi bahasa itu sendiri. Namun disisi lain, ketika anak telah mulai memproduksi bahasa, anak akan menemukan kesulitan-kesulitan dalam menggunakan kata-kata ketika mereka ingin mengkomunikasikan ide mereka, sehingga terjadinya kesalahan berbicara dalam komunikasi yang lebih dikenal dengan speech error. Kesulitannya bisa berupa rasa ragu untuk berbicara, takut akan salah dalam kata-kata yang ingin diucapkan, pengulangan  atau bahkan selip lidah seperti yang diujarkan oleh Fauziati (2008). Hal demikian sejalan dengan pemikiran menurut Clark dan Clark (dalam Fauziati (2008)) terdapat dua sumber utama kesalahan berbicara yaitu pertama kesalahan tersebut merupakan hasil dari kesulitan pembicara dalam berkomunikasi pada saat itu seperti keraguan, koreksi atau perbaikan, dan jeda. Sementara sumber yang kedua adalah kesulitan pembicara dalam hal membentuk artikulasi bunyi kata, misalkan selip lidah yang dimana selip lidah disebabkan oleh kelelahan lidah, kehausan, dan gugup.
Selip lidah dapat terjadi pada bunyi, bagian kata, dan struktur kalimat. Namun dalam hal ini, Fauziati (2008) menjabarkan beberapa jenis selip lidah yang terjadi pada seleksi kata (word selection). Ada 3 jenis seleksi kata yaitu kesalahan Semantik (makna yang sama ), malapropism (bunyi yang sama), dan campuran (blend).  Kesalahan Semantik adalah salah satu kesalahan yang paling umum dan biasanya ini ketika kata-kata tersebut adalah lawan kata, persamaan kata, hyponim, kata dalam kategori yang sama, asosiasi kata (misalkan roti memunculkan mentega). Sedangkan malapropism merupakan kesalahan dalam bentuk kebingungan dalam membunyikan kata yaitu memnggangu kata secara fonetis berhubungan bahasa target, seperti reprehend untuk apprehend, derangement untuk arrangement. Sementara untuk blend yaitu kesalahan pada kata yang terjadi pada dua kata yang bergabung menjadi sebuah bentuk baru. Seperti ketika anak mengucapkan please exland that ( explain and expand), not in the sleast (slightest and least), slickery (slick and slippery) and spaddle (spank and paddle). Dilain sisi Aitchison (dalam Fauziati (2008)) membagi kesalahan menjadi assemblage errors. Adapaun yang termasuk kedalamnya adalah  Transposition, anticipations, dan repetitions. Hampir semua kesalahan dalam berbicara merupakan kesalahan yang tak disengaja, melainkan itu disebabkan karena faktor dari individu itu sendiri dari segi psikologinya yang disebut dengan mental state yaitu lebih berkaitan dengan apa yang dirasakan anak ketika dia sedang berbicara seperti rasa gugup, tertekan, banyaknya yang dipikirkan sehingga bingung untuk mengucapkan yang mana, dan rasa panik juga termasuk kedalamnya.

Kesimpulan
                Psikolinguistik dan kajiannya merupakan sebuah disiplin ilmu yan menarik untuk ditelaah dimana ketika dua disiplin ilmy digabung menjadi satu kesatuan yang tidak dapat diteliti secara terpisah. Penggabunga dua disiplin ilmu antara Psikologi dan Linguistik merupakan penggabungan yang unik, yaitu penggabungan yang melihat dua sisi yang berbeda dalam sebuah disiplin ilmu yaitu dalam hal ini hubungan antara jiwa dan bahasa. Lebih khususnya yaitu bagaimana psikologi dari seseorang dalam mempelajari, menggunakan dan memperoleh bahasa pertama. Hal demikian sangatlah patut untuk direnungkan, mengingat kembali bagaimana proses seorang individu dalam memahami dan mempelajari sebuah bahasa. Terdapat banyak ruang lingkup kajian dari disiplin ilmu Psikolinguistik, namun beberapa yang sangat mendukung disiplin ilmu ini adalah hubungan organ otak manusia dengan bahasa dan hubungan pikiran dengan bahasa.  Kajian Psikolinguistik ini lebih mengacu pada bagaimana organ otak berkontribusi dalam mempelajari, menggunakan, dan memperoleh bahasa. Tanpa kita sadari ternyata, bagian dari organ otak memiliki fungsi-fungsi tersendiri dalam membangun pemahaman dan pengetahuan kita dalam mempelajari dan menggunakan bahasa. Bahkan gangguan berbahasapun dapat disebabkan karena adanya kerusakan pada otak. Lebih penting lagi, kemampuan seseorang dalam berbahasa juga dipengaruhi oleh kerja otak yang terlihat dari bagaimana lateralisasi otak berfungsi dengan maksimal.  Sehingga peranan otak dalam mendukung manusia mempelajari bahasa sangatlah besar, yang perlu diperhatikan dan diketahui oleh masing-masing individu. Sementara kajian Psikolinguistik dalam hal pikiran dan bahasa juga sangat berperan, yaitu menyatakan bahwa adanya hubungan timbal balik antara bahasa dan pikiran manusia. Bagaiamana seorang anak mampu mengekspresikan ide-idenya dengan kata-kata yang telah dia simpan dalam mental lexicon dan memorinya, sehingga dia pun mampu mengkomunikasikannya dengan baik kepada orang lain. Kemampuannya dalam berkomunikasi dipengaruhi oleh keadaan psikologinya, karena ketika psikologi atau perasaan anak tidak tenang, maka dapat menimbulkan kesalahan berbicara yang sebenarnya tidak seharusnya dilakukan. Oleh karena itu, kemampuan seseorang atau anak dalam mempelajari, menggunakan , dan memperoleh bahasa berkaitan dengan psikologi anak itu sendiri yang di mana ketika psikologi anak terganggu, hal itu juga akan mengganggu penampilannya dalam menggunakan bahasa.

Daftar Pustaka
Caroll. Psychology of Language. Thompson Type
Chomsky. 2006. Language and Mind.USA: Cambridge University.
Chomsky. New Horizons in the Study of Language and Mind. England. Cambridge Universiti.
Fauziati. 2008. Introduction to Psycholinguistics.
Field, J. 2003. Psycolinguistics: A Resource book of Students.London:Rootledge.
Field, J. 2004. Psycholinguistics, The Key Concepts.London:Rootledge.
Handke. 2012. Psycholinguistics – Introduction;The Virtual Linguistic Campus.
Hakim. 2012. Psikolinguistik dan Kajiannya.
Hakim. 2012. Otak Manusia dan Gangguan Berbahasa.
Lebowitz. 1985. The Used of Memory in Text Processing.New York: Columbia University.
Ratjczak, A.C. 1994. The Mental Lexicon in Second Language Learning.Poznan: Adam Mickiewicz University.
Widhiarso, W. 2005. Pengaruh Bahasa terhadap Pikiran. Yogyakarta. UGM

Postingan Terkait

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter