Psikolinguistik
mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang
mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi, dan
bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia. Menurut Chaer (2003 :
5-6), mengemukakan tujuan utama psikolinguistik adalah mencari satu teori
bahasa secara linguistik dapat diterima dan secara psikologi dapat menerangkan
hakikat bahasa dan pemerolehannya.
1.
Otak dan
Bahasa
Otak
dan bahasa lebih dikenal dengan neurologi, yang di mana adanya hubungan antara
organ otak manusia dengan bahasa, baik itu dalam penyimpanan, penggunaan, dan
pemerolehan bahasa itu sendiri. Seperti yang kita ketahui bahwa otak adalah
pusat dari segala aktivitas manusia. Otak yang mengatur langsung pikiran,
motivasi, emosional manusia sampai pada saatnya para pakar neurologi menemukan
hubungan akan organ otak dengan bahasa itu sendiri seperti yang dikatakan oleh
salah satu ahli linguistik, Ferdinand de Saussere.
Teimournezhad
and Khosravizadeh (2011) bahwa manusia itu unik dibandingkan dengan makhluk
lainnya. Hal itu dikarenakan oleh kemampuan pikiran yang dimilikinya mampu
menolong mereka menemukan fakta-fakta yang ada di dunia. Seperti halnya juga
dikatakan oleh Lenneberg (dalam Hakim (2012)) menyatakan bahwa manusia
mempunyai kecenderungan biologis khusus dalam memperoleh bahasa dibandingkan
dengan hewan. Adapun alasan mengapa mengatakan hal demikian adalah :
1.
Terdapat pusat-pusat yang khas dalam otak
manusia;
2.
Perkembangan yang sama bagi semua bayi;
3.
Kesukaran yang dialami untuk menghambat
pertumbuhan bahasa pada manusia;
4.
Bahasa tidak mungkin diajarkan kepada makhluk
lain;
5.
Bahasa itu memiliki kesemestaan bahasa (Language
Universal)
Berdasarkan
alasan yang telah dijabarkan, maka sangat jelas terlihat hubungan antara otak
dan pemerolehan bahasa manusia dimana adanya bagian-bagian otak yang berfungsi
dalam pemerosesan bahasa. Ini terlihat dari pendapat Gall (dalam Saptaji(2011))
yang menyatakan bahwa otak bukanlah satu organ tanpa bagian-bagian, melainkan
terdiri atas bagian-bagian yang masing-masing memunyai fungsi tertentu. Bagian
terbesar, yang merupakan porsi terbesar dari otak kita 80% disebut otak besar
(cerebrum). Otak besar ini terdiri atas miliaran sel dan terbagi menjadi dua
bagian (hemisfer kanan dan kiri). Otak besar inilah yang bertanggung jawab atas
fungsi-fungsi berpikir tingkatan tertinggi dan pengambilan keputusan.
Otak
besar manusia terbagi menjadi empat bagian utama yang disebut lobus (lobe),
yaitu lobus depan (frontal), lobus tengah (parietal), lobus penglihatan
(occipital), dan lobus pendengaran (temporalis). Lobus penglihatan (occipital)
terletak sedikit di belakang bagian otak dan terutama bertanggung jawab pada
penglihatan. Lobus depan (frontal) terletak di wilayah skitar kening dan punya
andil terhadap tindakan-tindakan yang disengaja, seperti memberi penilaian,
kreativitas, menyelesaikan masalah, dan merencanakan. Lobus tengah (parietal)
terletak pada bagian atas dari otak. Tugasnya adalah memproses sesuatu yang
berhubungan dengan sensori yang lebih tinggi dan fungsi-fungsi bahasa. Lobus
pendengaran (temporal) terletak di bagian kiri dan kanan berada di bagian atas
dan sekitar telinga. Bagian ini terutama bertanggung jawab terhadap
pendengaranan, memori, pemaknaan, dan bahasa, meskipun ada beberapa fungsi yang
saling tumpang tindih antara masing-masing lobus ini.
Adapun
fungsi dari otak kanan adalah berperan dalam bahasa non verbal, pengendalian
emosi, kesenian, kreativitas dan berfikir holistik. Sedangakan fungsi otak kiri
adalah berperan dalam perkembangan bahasa dan bicara, karena mengatur kemampuan
berbicara, pengucapan kalimat dan kata, pengertian pembicaraan orang, mengulang
kata dan kalimat, disamping kemampuan berhitung, membaca, dan menulis. Kedua
belahan otak dihubungkan oleh serabut syaraf dan kerja sama terjadinya melalui
suatu bagian yang disebut korpus kalosum, walau pada kenyataannya dalam
aktivitas tertentu hanya salah satu belahan otak yang berperan.
Perkembangan
otak menyebabkan terjadinya Lateralisasi atau dikenal dengan Brain
Lateralization yang dimana kedua belahan otak mengalami spesialisasi.
Lateralisasi yang dimaksud adalah peristiwa lokalisasi fungsi bahasa pada salah
satu belahan otak. ketika anak lahir, perbedaan fungsi-fungsi kedua belahan
otak sangatlah sedikit, namum seiring pertumbuhan dan perkembangan, fungsi
belahan otakpun ikut berkembang. Ada yang mengatakan bahwa salah satu belahan
otak manusia akan berfungsi dominan ketika ia beranjak dua tahun sampai 11 atau
13 tahun, namun ada juga yang menyatakan proses itu hanya berlangsung sampai
umur lima tahun.
Lateralisasi
otak sangat mempengaruhi bagaimana kedepannya anak memproduksi bahasa,
dikarenakan peroses lateralisasimempunyai kontribusi yang besar terhadap
kemampuan pelafalan anak dalam pengucapan kata. Menurut Patkowski (dalam
Steinberg (1980)) menyatakan bahwa lateralisasi otak hanya mempengaruhi
kemampuan anak dalam pelafalan atau pengucapan dalam berbahasa, namun belum
mampu mencakup pengetahuan sintaktik anak. Sehingga, dalam peroses lateralisasi
input yang didapatkan oleh anak hanya berupa bunyi atau pengucapan setiap kata
yang dimana akan mampu membuat anak fasih dalam berbicara.
Di sisi
lain, Lateralisasi sangat berkaitan erat dengan Golden Age yakni masa keemasan
anak dalam memperoleh atau mempelajari bahasa. Pada masa ini merupakan periode
yang mudah bagi anak untuk mempelajari bahasa, dikarenakan saraf-saraf otak
masih sangat plastis atau lentur. Sehingga ketika masa Lateralisasi belum
selesai, maka anak dianjurkan untuk menerima lebih banyak input yang dapat
menyebabkan kemampuan berbahasa lebih tinggi dibandingkan mendapatkan input
setelah masa Lateralisasi berakhir. Itulah di katakan periode lateralisasi
beriringan dengan periode kritis yang mampu mempermudah anak dalam memperoleh
atau mempelajari bahasa. Seperti yang dikatakan oleh Christian, et. al (dalam
Hakim (2012)) bahwa yang dimaksud dengan masa keemasan atau periode kritis adalah
periode dimana anak mampu menguasai bahasa secara alami dan lebih cepat tanpa
membuang tenaga yang lebih.
Namun,
dikondisi yang lain banyak fenomena yang kita temukan tentang masih ada anak
atau orang-orang yang tidak dapat berbicara atau mengalami gangguan dalam
berbicara, dimana salah satu penyebab terjadinya karena adanya gangguan pada
otak. Gangguan pada otak bisa disebabkan oleh sebuah kecelakaan, benturan atau
bahkan sudah ada ketika anak baru lahir. Menurut Faisal, et al (dalam Hakim
(2012)) menyatakan bahwa gangguan dalam berbahasa bisa disebabkan oleh
psikolgis atau kejiwaan seseorang. Ketika kejiwaan seseorang tidak stabil atau
terganggu, maka hal itu juga dapat mengganggu kinerja otak. Salah satu contoh
gangguan berbahasa karena faktor psikologi adalah schizoprenia. Orang yang
terkena schizoprenia cenderung melupakan topik yang dibicarakan, mereka sering
loncat dari topik yang satu ke topik yang lainnya.
Gangguan
berbahasa yang paling dikenal dalam kajian Psikolinguistik adalah aphasia, yang
dimana terjadinya kerusakan pada otak. Broca Aphasia dan Wernick Aphasia adalah
jenis aphasia yakni bilamana terjadi kerusakan pada area Broca maka disebut
Brocca Aphasia, dan anak akan mengalami gangguan berbahasa seperti tidak lancar
dalam berbicara, kata-kata tidak terbentuk dengan baik, dan ujaran pelan dan
menyatu. Sedangkan Wernick aphasia yaitu adanya gangguan pada daerah wenick
yang dapat menyebabkan anak kehilangan kemampuan berbahasa. Anak tersebut dapat
berbicara dengan sangat jelas tetapi kata-kata yang diucapkan tidak masuk akal,
kata-katanya bercampur menjadi satu. Akan tetapi merujuk pada Schuel dan
Jenkins (dalam Hakim (2012)) membagi beberapa jenis aphasia yaitu :
Aphasia penghantar,
yaitu kerusakan pada pusat otak dan kerusakan pada saluran serabut, mereka
menyebutnya gangguan tingkat atas dan bawah.
Aphasia kata kerja (verbal aphasia) disebabkan oleh
kerusakan pada lobus, baik di depan maupun di belakang pusat.
Aphasia sintaksis (syntactical aphasia) disebabkan oleh kerusakan-kerusakan pada belitan
(gyrus) otak di daerah lobus frontal.
Aphasia kata benda (nominal aphasia) disebabkan oleh
kerusakan di daerah “angular gyrus” (belitan bersiku).
Aphasia semantik (semantic aphasia) disebabkan oleh
kerusakan pada “supra marginal gyrus
Kesemua jenis gangguan
dalam berbahasa yang dialami oleh setiap orang tidak selamanya permanen pada
diri mereka. Melainkan, gangguan tersebut dapat disembuhkan seiring berjalannya
waktu, terlebih jika diberikan perlakuan yang lebih seperti pengobatan, terapi
dan hal yang terpenting lingkungan sekitar mendukung kesembuhan mereka.
2. Pikiran dan Bahasa
Keterkaitan
antara pikiran dan bahasa menjadi salah satu yang menarik dalam kajian
Psikolinguistik. Seperti yang kita ketahui bahwa bahasa adalah alat penyambung
lidah seseorang, yang dimana bahasa adalah alat komunikasi kita dalam kehidupan
sehari-hari untuk menyampaikan berbagai macam ide, ekspresi, dan perasaan
kepada orang lain. Disisi lain kita juga dituntut untuk memahamai setiap ujaran
dan ucapan yang disampaikan oleh orang lain. Dengan melihat hal demikian, kita
dapat mengkaitkan hubungan antara pikiran dan bahasa dimana bahasa adalah media
manusia dalam menyampaikan aspirasi atau ide-ide mereka. Seperti yang dikatakan
oleh Supendi (2012) menyatakan bahwa dalam penggunaan bahasa terjadi proses
mengubah pikiran menjadi kode dan mengubah kode menjadi pikiran. Ujaran
merupakan sintesis dari proses pengubahan konsep menjadi kode, sedangkan
pemahaman pesan tersebut hasil analisis kode.
Menurut
Whorf dan Sapir (dalam Widhiarso (2005)) memaparkan bahwa pikiran manusia
ditentukan oleh sistem dari klasifikasi bahasa tertentu yang digunakan oleh
manusia dan bahasa mampu mempengaruhi
cara pandang manusia terhadap dunia. Jadi dengan melihat pemikiran ini dapat
kita katakan bahwa bahasa mampu mempengaruhi pikiran manusia, yang dimana dunia
mental orang akan terlihat berbeda dari bahasanya, seperti mental orang
Indonesia dengan mental dunia orang Inggris. Namun disisi lain, para ahli
psikolinguistik juga berendapat bahwa pikiran juga mampu mempengaruhi bahasa.
Hal ini terjadi karena ahli Psikolinguistik fokus pada perkembangan kognitif
anak. Pendapat ini pun di dukung oleh Choamsky dengan mengatakan bahwa
pekembangan aspek bahasa merupakan sebuah faktor penting dalam perpindahan prilaku
menjadi pendekatan kognitif dalam bahasa dan pikiran. Singkatnya, Choamsky
melihat keterkaitan akan bahasa dan pikiran lebih merujuk pada bagaimana
kemampuan dan penampilan setiap orang dalam menggunakan bahasa. Terakhir,
keterkaitan antara pikiran dan bahasa dapat saling mempengaruhi satu sama lain,
karena disini pakar Psikolinguistik lebih melihat pada hubungan timbal balik
kata-kata atau bahasa dengan pikiran.
Salah
satu pembahasan yang ada dalam hubungan antara bahasa dan pikiran adalah Mental
Lexicon (kosakata yang sudah ada dalam pikiran manusia). Menurut Wilson dalam
(dalam Ratjczak (1994)) menyatakan bahwa kosa kata merupakan pusat yang
menghubungakannya dalam pemerosesan bahasa. Hal ini dikarenakan bahwa kosa kata
merupakan cerminan dari pada pengetahuan manusia akan bahasa yang telah
dipelajari atau diperolehnya. Manusia telah dianugrahi Mental Lexicon yang
dimana merupakan kamus kosa kata yang telah ada di dalam pikiran manusia. Kosa
kata atau input yang didapatkan dalam pemerolehan bahasa akan tersimpan didalam
Mental Lexicon itu sendiri dan sampai pada akhirnya akan mampu diproduksi oleh
manusia ketika berbicara.
Menurut
Miller dan Jackendof (dalam Ratjczak (1994)) menjelaskan bahwa kata-kata yang
masuk di dalam Mental Lexicon berupa sebuah kata yang berupa bunyi, sebuah
rangkaian morphologi kata, dan informasi makna. Kesemuanya merupakan model dari
Lexicon itu sendiri, yakni phonology Lexicon, Morphologi Lexicon dan Semantik
Lexicon, yang dimana semuanya adalah sebuah bagian pengorganisasian berdasarkan
bidang ilmu mereka. Menurut Carrol (dalam Ratjczak (1994)) menyatakan bahwa
semantik Lexicon fokus pada makna yang dimana dalam pengorganisasiannya
melibatkan gabungan kata (word association), dan kesalahan berbicara (speech
error). Gabungan kata (word association) disini lebih kepada bagaimana
subject’s response (atau respon pelaku) terhadap informasi apa yang telah
disimpan di dalam mental Lexicon itu sendiri. Kata yang telah menjadi input
akan mampu dikaitkan dengan kata yang lainnya. Misalkan kata “bulan”, akan ada
kemungkinan respon katanya adalah “matahari, malam atau bintang”, ini
dikarenakan berada pada kelompok kata yang sama.
Mental
Lexicon juga berkaitan dengan Human memory (ingatan manusia), dimana ketika
kata yang telah masuk kedalam mental lexicon, itu berarti kata tersebut telah
disimpan dalam pikiran manusia, dan akan diterima oleh memory yang dimana akan
mampu menjadi pengetahuan bagi mereka. Menurut Fauziati (2008) menyatakan bahwa
memori adalah sebuah rekaman pengalaman yang permanen dimana input tersebut
secara permanen telah tersimpan di dalam mental lexicon. Memori atau ingatan
manusia terbagi menjadi dua, yaitu memori pendek (shorterm memory) dan memori
panjang (longterm memori). Akan tetapi Taylor (dalam Fauziati (2008) membagi menjadi 3 bagian yaitu sensory
register, shorterm memory, dan longterm memori. Sensory register disini adalah
sebuah tempat dimana sebuah rangsangan diterima untuk pertama kali yang nanti
akan diteruskan ke shor-term memori. Sedangkan short-term memori merupakan
sebuah tempat dimana informasi disimpan sementara selama memperoses pesan,
informasi ini berasal dari sensory register. Sementara informasi yang disimpan
dalam jangka waktu yang lama atau permanen untuk di proses, dimengerti, terjadi
dalam long-term memory. Misalkan, untuk short-term memori anak mampu mengingat
digit nomor yang diacak pada saat itu, namun setelahnya akan lupa. Sedangkan
untuk long-term memori lebih mengacu kepada pengalaman atau informasi yang
telah dialami sebelumnya.
Kata
yang telah tersimpan di dalam memori, harus mengalami proses latihan atau
pengulangan yang disebut dengan (retrieval process) yakni prosess dimana kata
tersebut akan selalu mengalami pengulangan penggunaan sehingga dia mampu
memahami dan menggunakan kata tersebut dengan baik. Tepatnya kata tersebut akan
tersimpan dalam memory panjang (longterm memory). Seperti yang dipaparkan oleh
Fauziati (2008) menyatakan bahwa anak harus mengulang informasi dari memori
untuk mampu membetuk kata atau kalimat yang sebelumnya pernah didengar atau
dibaca olehnya. Apa dan seberapa banyak anak mengingat kata atau kalimat
tersebut tergantung dari bagaimana mereka mendapatkan kata atau kalimat pertama
kalinya. Mereka mungkin tidak akan mampu mengerti arti kata atau kalimat
tersebut jika mereka belum menyimpan arti itu ke dalam memori selama mereka
belajar. Jadi, pengetahuan yang didapatkan oleh seorang anak dalam mempelajari
atau memperoleh bahasa merupakan hasil penyimpanan dari memori yang kemudian
mampu diproduksi oleh anak tersebut..
Memori
mempunyai peranan penting dalam mempelajari atau memproduksi bahasa,
dikarenakan memori berperan dalam memproses wacana atau kalimat. Pemerosesan
bahasa mengacu pada cara manusia menggunakan kata-kata untuk mengkomunikasi
ide-ide atau ekspresi mereka, sehingga dapat dipahami satu sama lain. Ada dua
jenis pemerosesan bahasa yaitu pemerosesan kalimat dan pemerosesan wacana.
Pemerosesan kalimat fokus pada sintaktik dari kalimat itu sendiri, jadi dalam
hal ini anak akan mengetahui makna kalimat berdasarkan sintaktiknya. Jadi dia
menempatkan arti dalam memori berdasarkan struktur kalimatnya. Sedangkan
pemerosesan wacana fokus pada bagaimana anak mengintrepetasi ide yang merupakan
sebuah text atau wacana yang merupakian hasil dari pada pengetahuan yang ada
dalam memori. Menurut Lebowitz (1985) memberikan contoh dari penggunaan memori
dalam pemerosesan wacana yaitu pada kalimat “ Lina menyapu lantai”, maka anak
akan secara langsung memahami kalimat tersebut bahwa Lina menyapu dengan sapu
lidi. Hal ini dikarenakan jenis kalimat tersebut telah menjadi input dan
tersimpan dalam memori yang dimana telah menjadi pengetahuan anak bahwa ketika
mendengar kata “menyapu”, maka secara spontan akan menginterpretasikan kata
“sapu”. Jadi dalam hal ini kata sapu dan kalimat tersebut telah tersimpan dalam
memori jangka panjang anak, sehingga dengan spontan memproduksi kata tersebut
selama proses wacana berlangsung.
Ketika
anak telah mempunyai banyak input di mental lexicon dan pengetahuan yang telah
mereka simpan dalam memori, maka secara langsung anak akan mampu mulai
menggunakan atau memproduksi bahasa itu sendiri. Namun disisi lain, ketika anak
telah mulai memproduksi bahasa, anak akan menemukan kesulitan-kesulitan dalam
menggunakan kata-kata ketika mereka ingin mengkomunikasikan ide mereka,
sehingga terjadinya kesalahan berbicara dalam komunikasi yang lebih dikenal
dengan speech error. Kesulitannya bisa berupa rasa ragu untuk berbicara, takut
akan salah dalam kata-kata yang ingin diucapkan, pengulangan atau bahkan selip lidah seperti yang
diujarkan oleh Fauziati (2008). Hal demikian sejalan dengan pemikiran menurut
Clark dan Clark (dalam Fauziati (2008)) terdapat dua sumber utama kesalahan
berbicara yaitu pertama kesalahan tersebut merupakan hasil dari kesulitan
pembicara dalam berkomunikasi pada saat itu seperti keraguan, koreksi atau
perbaikan, dan jeda. Sementara sumber yang kedua adalah kesulitan pembicara dalam
hal membentuk artikulasi bunyi kata, misalkan selip lidah yang dimana selip
lidah disebabkan oleh kelelahan lidah, kehausan, dan gugup.
Selip
lidah dapat terjadi pada bunyi, bagian kata, dan struktur kalimat. Namun dalam
hal ini, Fauziati (2008) menjabarkan beberapa jenis selip lidah yang terjadi
pada seleksi kata (word selection). Ada 3 jenis seleksi kata yaitu kesalahan
Semantik (makna yang sama ), malapropism (bunyi yang sama), dan campuran
(blend). Kesalahan Semantik adalah salah
satu kesalahan yang paling umum dan biasanya ini ketika kata-kata tersebut
adalah lawan kata, persamaan kata, hyponim, kata dalam kategori yang sama,
asosiasi kata (misalkan roti memunculkan mentega). Sedangkan malapropism
merupakan kesalahan dalam bentuk kebingungan dalam membunyikan kata yaitu
memnggangu kata secara fonetis berhubungan bahasa target, seperti reprehend
untuk apprehend, derangement untuk arrangement. Sementara untuk blend yaitu
kesalahan pada kata yang terjadi pada dua kata yang bergabung menjadi sebuah
bentuk baru. Seperti ketika anak mengucapkan please exland that ( explain and
expand), not in the sleast (slightest and least), slickery (slick and slippery)
and spaddle (spank and paddle). Dilain sisi Aitchison (dalam Fauziati (2008))
membagi kesalahan menjadi assemblage errors. Adapaun yang termasuk kedalamnya
adalah Transposition, anticipations, dan
repetitions. Hampir semua kesalahan dalam berbicara merupakan kesalahan yang
tak disengaja, melainkan itu disebabkan karena faktor dari individu itu sendiri
dari segi psikologinya yang disebut dengan mental state yaitu lebih berkaitan
dengan apa yang dirasakan anak ketika dia sedang berbicara seperti rasa gugup,
tertekan, banyaknya yang dipikirkan sehingga bingung untuk mengucapkan yang
mana, dan rasa panik juga termasuk kedalamnya.
Kesimpulan
Psikolinguistik
dan kajiannya merupakan sebuah disiplin ilmu yan menarik untuk ditelaah dimana
ketika dua disiplin ilmy digabung menjadi satu kesatuan yang tidak dapat
diteliti secara terpisah. Penggabunga dua disiplin ilmu antara Psikologi dan
Linguistik merupakan penggabungan yang unik, yaitu penggabungan yang melihat
dua sisi yang berbeda dalam sebuah disiplin ilmu yaitu dalam hal ini hubungan
antara jiwa dan bahasa. Lebih khususnya yaitu bagaimana psikologi dari seseorang
dalam mempelajari, menggunakan dan memperoleh bahasa pertama. Hal demikian
sangatlah patut untuk direnungkan, mengingat kembali bagaimana proses seorang
individu dalam memahami dan mempelajari sebuah bahasa. Terdapat banyak ruang
lingkup kajian dari disiplin ilmu Psikolinguistik, namun beberapa yang sangat
mendukung disiplin ilmu ini adalah hubungan organ otak manusia dengan bahasa
dan hubungan pikiran dengan bahasa.
Kajian Psikolinguistik ini lebih mengacu pada bagaimana organ otak
berkontribusi dalam mempelajari, menggunakan, dan memperoleh bahasa. Tanpa kita
sadari ternyata, bagian dari organ otak memiliki fungsi-fungsi tersendiri dalam
membangun pemahaman dan pengetahuan kita dalam mempelajari dan menggunakan
bahasa. Bahkan gangguan berbahasapun dapat disebabkan karena adanya kerusakan
pada otak. Lebih penting lagi, kemampuan seseorang dalam berbahasa juga
dipengaruhi oleh kerja otak yang terlihat dari bagaimana lateralisasi otak
berfungsi dengan maksimal. Sehingga
peranan otak dalam mendukung manusia mempelajari bahasa sangatlah besar, yang
perlu diperhatikan dan diketahui oleh masing-masing individu. Sementara kajian
Psikolinguistik dalam hal pikiran dan bahasa juga sangat berperan, yaitu
menyatakan bahwa adanya hubungan timbal balik antara bahasa dan pikiran
manusia. Bagaiamana seorang anak mampu mengekspresikan ide-idenya dengan
kata-kata yang telah dia simpan dalam mental lexicon dan memorinya, sehingga
dia pun mampu mengkomunikasikannya dengan baik kepada orang lain. Kemampuannya
dalam berkomunikasi dipengaruhi oleh keadaan psikologinya, karena ketika
psikologi atau perasaan anak tidak tenang, maka dapat menimbulkan kesalahan
berbicara yang sebenarnya tidak seharusnya dilakukan. Oleh karena itu,
kemampuan seseorang atau anak dalam mempelajari, menggunakan , dan memperoleh
bahasa berkaitan dengan psikologi anak itu sendiri yang di mana ketika
psikologi anak terganggu, hal itu juga akan mengganggu penampilannya dalam
menggunakan bahasa.
Daftar Pustaka
Caroll. Psychology of Language. Thompson Type
Chomsky. 2006. Language and Mind.USA: Cambridge
University.
Chomsky. New Horizons in the Study of Language and
Mind. England. Cambridge Universiti.
Fauziati. 2008. Introduction to Psycholinguistics.
Field, J. 2003. Psycolinguistics: A Resource book of
Students.London:Rootledge.
Field, J. 2004. Psycholinguistics, The Key Concepts.London:Rootledge.
Handke. 2012. Psycholinguistics – Introduction;The
Virtual Linguistic Campus.
Hakim. 2012. Psikolinguistik dan Kajiannya.
Hakim. 2012. Otak Manusia dan Gangguan Berbahasa.
Lebowitz. 1985. The Used of Memory in Text Processing.New
York: Columbia University.
Ratjczak, A.C. 1994. The Mental Lexicon in Second Language
Learning.Poznan: Adam Mickiewicz University.
Widhiarso, W. 2005.
Pengaruh Bahasa terhadap Pikiran. Yogyakarta. UGM
Post a Comment
Post a Comment