Alih Kode, Campur Kode, Honorifik, dan Sapaan

Post a Comment

1.Alih kode
Appel via Chaer (2010: 107) Alih kode merupakan salah satu gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi percakapan. Secara lebih rinci alih kode merupakan peralihan penggunaaan bahasa yang digunakan oleh orang dimana orang itu menggunakan bahasa yang konvensional supaya terjadi komunikasi yang baik antara orang yang sedang berbicara tersebut. perubahan penggunaan bahasa tersebut akan terjadi dengan sendirinya supaya terjadi komunikasi yang baik.
Alih kode tidak hanya meliputi perubahan penggunaan bahasa saja, melinkan penggunaan ragam- ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam bahasa. Karena bahasa merupakan bahsan yang sangat luas, maka campur kode juga memliki cakupan perubahan yang sangat luas pula. Cakupan perubahan tersebut tidak hanya dari bahasa-bahasa tertentu yang digunakan oleh satu negara melainkan bahasa-bahasa daerah yang digunakana oleh masyarakant yang ada dalam sebuah negara.
Sebab terjadinya alih kode seperti siapa saja yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa untuk berbicara. Secara lebih terperinci penyebab alih kode  diantaranya sebagai berikut:
  a) Pembicara atau penutur
  b) Pendengar atau lawan tutur
  c) Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga
  d) Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya
  e) Perubahan topik pembicaraan
Perubahan bahasa ini dilatarbelakangi oleh banyak  hal, diantaranya masyarakat pada umumnya memiliki lebih dari satu bahasa, dimana dalam keseharian mereka dalam berkomunikasi dengan masyarakat sekitar menggunakan bahasa tertentu contoh jawa, dan untuk mengimbangi laawan bicara yang orang itu adalah orang sunda maka terjadilah perubahan bahasa diantara keduanya itu, yaitu menggunakan bahasa Indonesia, dikerenakan  bahasa Indonesia adalah bahasa nasional yang digunakan sebagai pemersatu bangsa.
Banyak faktor penyebab terjadinya alik kode, faktor ini terjadi karena beberapa bahasa yang digunakan oleh masyarakat penutur atau ragam bahasa yang terdapat dalam masyarakat tersebut. Selain dari lima faktor penyebab terjadinya alih kode, ada beberapa penyebab lagi yang menjadikan alih kode itu terjadi karena:
  a) Kehadiran orang ketiga
  b) Perpindahan topik dari yang nonteknis ke yang teknis
  c) Beralihnya suasana bicara
  d) Ingin dianggap “terpelajar”
  e) Ingin menjauhkan jarak
  f) Menghindarkan adanya bentuk kasar dan halus dalam bahasa daerah
  g) Mengutip pembicaraan orang lain
  h) Terpengaruh bahasa lawan yang beralih menggunakan  bahasa Indonesia
  i) Mitra berbicaranya lebih mudah
  j) Berada ditempat umum
  k) Menunjukan bahasa pertamanya bukan bahasa daerah
  l) Beralih media/ cara bicara
Sedangkan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah karena:
a) Perginya orang ketiga
b) Topiknya dari hal teknis ke hal non teknis
c) Suasana berubah dari resmi ke tidak resmi
d) Merasa ganjil tidak berbahasa daerah dengan orang sedaerahnya
e) Ingin mendekatkan jarak
f) Ingin beradab-adab dengan menggunakan bahasa daerah
g) Terpengaruh oleh lawan bicara yang menggunakan bahasa daerah
h) Perginya generasi muda, mitra bicara yang lain lebih muda
i) Merasa ditempat sendiri bukan ditempat umum
j) Ingin menunukan bahasa pertamanya adalah bahasa daerah
k) Beralih bicara biasa tanpa alat seperti telfon
Contoh Alih kode dalam percakapan di angkringan
Pedagang angkringan : “Pak, kae tempene di entas mengko ndak gosong”
Suami pedagang angringan  : “Sedela meneh, kui durung patio mateng. Kae si A digaweke wedange sik”
Pedangang angkringan : “Kamu tadi mau minum apa A, lupa aku”.
Orang Batak : “Kopi item bu, gula sedikit saja.”
Dari contoh diatas terjadi alih kode ketika pedagang angkringan berbicara dengan suaminya yang sama-sama orang Jawa dengan menggunakan bahasa Jawa. Namun, ketika berbicara dengan orang Batak si pedagang angkringan langsung beralih menggunakan bahasa Indonesia untuk menanyakan pesanan yang dipesan.

2. Campur Kode
Kesamaan alih kode dan campur kode memang memberikan kesukaran, karena memang memiliki kemiripan. Kesamaan antara alih kode dan campur kode adalah penggunaan dua bahasa atau lebih. Yang perlu dipahami dalam membedakan alih kode dan campur kode yaitu, ketika berbicara masalah alih kode berarti setiap bahasa tersebut memiliki fungsi masing-masing dan dilakukan dengan sadar dan dengan sengaja berdasarkan sebab- sebab tertentu. Sedangkan Campur kode bahasa yang digunakan hanyalah sebuah sisipan-sisipan bahasa yang paling sering digunakan, yang muncul dengan tidak sadar karena sudah sangat melekat sebagai alat komunikasi yang paling sering digunakan ( Chaer, 2010: 114).
Contoh Campur Kode dalam percakapan di warung angkringan
Orang Batak : “Kemarin batu akikku saya jual laku 2 juta”
Pedagang Angkringan : “Akikmu yang Bachan itu po?”
Orang Batak : “Iya”
Pedagang angkringan : “Lha kamu tidak dapat bathi no.”
Orang Batak   :“Ya, tidak apa, saya sedang butuh uang”
Berdasarkan contoh di atas ada percampuran penggunaan bahasa jawa ketika berkomunikasi dengan orang batak  terdapat kata Bathi no dan po. Kata tersebut adalah kata dalam bahasa jawa, dan komunikasi tersebut berlangsung dengan menggunakan bahasa Indonesia karena yang diajak komunikasi adalah orang Batak.
Orang Jambi   : “Bu, saya sudah”
Pedagang Angkringan  : “Apa saja?”
Orang Jambi   : “Nasi kalih, tempe tiga, sama es teh Satu”
Pedagang Angkringan  : “Dadine enam ribu”
Contoh kedua percampuran penggunaan bahasa jawa juga terjadi ketika orang Jambi sedang berbicara dengan pedagang angkringan karena telah selesai makan. Percampuran bahasa jawa tersebut terdapat dalam kata kalih, dan dadine. Percampuran bahasa tersebut dilakukan oleh anak Jambi yang sudah lama tinggal di Yogyakarta dan pedagang angkringan.

3. Honorifik
Istilah honorifik bisa diartikan sebagai ungkapan penghormatan. Honorifik merujuk pada bentuk linguistik yang digunakan sebagai tanda rasa hormat pada seseorang. Selain ituKridalaksana (2008:85) menyatakan bahwa honorifik sebagai suatu bentuk lingual yang dipakai untuk menyatakan penghormatan atau yang dalam bahasa tertentu digunakan untuk menyapa orang lain. Dari kedua penjelasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa honorifik merupakan sebuah bentuk lingual yang digunakan sebagai tanda untuk menghormati lawan bicara.
Contoh:
 a) Honorifik dalam bahasa Inggris
 Yule (1996: 60) mencontohkan honorifik dalam Bahasa Inggris sebagai berikut:
  1)Excuse me, Mr. Buckingham, but can I talk to you for a minute?
  2)Hey, Bucky, got a minute?
Kalimat (a) dianggap lebih sopan dan lebih memiliki rasa hormat yang tinggi dibandingkan kalimat (b) meski maksud dari kedua kalimat tanya tersebut sama.

 b) Honorifik dalam bahasa Jawa
  1)Kowe arep lunga menyang ngendhi?
  2)Sampeyan ajeng kesah dhateng pundhi? 
  3)Panjenengan badhe tindhak dhateng pundhi?
Ketiga kalimat tanya tersebut memilik arti yang sama yaitu Kamu/Anda mau pergi ke mana?. Namun, berdasarkan tataran bahasa Jawa tingkat kesopanan ketiga kalimat tersebut berbeda. Kalimat (c) dianggap paling sopan apabila dibandingkan dengan kalimat (b) dan (a). Sementara itu, kalimat (b) dianggap lebih sopan dibandingkan dengan kalimat (a). Dalam hal ini, honorifik dalam bahasa Jawa sangat jelas bisa dilihat karena bahasa Jawa mengenal aturan kebahasaan yang disebut  unda usuking basa. Aturan tersebut berupa tataran tingkatan kesopanan dan bentuk penghormatan yang bertumpu pada lawan bicara.

 c) Honorifik dalam bahasa Bugis
  1)Pole tegako?
  2)Pole Tegaki’?
Kedua kalimat di atas memiliki maksud yang sama yang menanyakan ‘kamu dari mana?’. Untuk tingkat kesopanan, kalimat (b) memiliki tingkat kesopanan yang lebih baik.

 d) Honorifik dalam bahasa Indonesia
  1)Apakah ada yang ingin kamu tanyakan?
  2)Apakah ada yang ingin Anda tanyakan?
  3)Apakah ada yang ingin Saudara tanyakan?
Dari ketiga kalimat tanya di atas, dapat dilihat penggunaan kata ganti orang kedua yang berbeda memberikan tingkat kesopanan dan rasa hormat yang berbeda pula.

4. Sapaan
Kridalaksana (1982 :14) menjelaskan bahwa kata sapaan merujuk pada kata atau ungkapan yang dipakai untuk menyebut dan memanggil para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa.  Adapun pelaku yang dimaksud merujuk pada pembicara, lawan bicara, serta orangyang sedang dibicarakan. Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Kridalaksana diketahui bahwa terdapat dua unsur penting dalam sistem tutur sapa, yaitu kata atau ungkapan dan para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa. Kata atau ungkapan yang digunakan dalam sistem tutur sapa merujuk pada kata sapaan. Adapun para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa merujuk pada pembicara dan lawan bicara. Kata sapaan berfungsi untuk memperjelas kepada siapa pembicaraan itu ditujukan.
Dalam bahasa Indonesia, kata sapaan yang digunakan pembicara dalam menyapa lawan bicaranya bervariasi. Meskipun demikian, jenis kata sapaan yang paling banyak digunakan adalah istilah kekerabatan (Kridalaksana, 1982:193). Pemilihan suatu bentuk kata sapaan dipengaruhi oleh dua faktor, yakni status dan fungsi. Status dapat diartikan sebagai posisi sosial lawan bicara terhadap pembicara. Status ini juga dapat diartikan sebagai usia. Adapun fungsi yang dimaksud adalah jenis kegiatan atau jabatan lawan bicara dalam pembicaraan.
Contoh:
Kridalaksana menggolongkan kata sapaan dalam bahasa Indonesia menjadi sembilan jenis, yaitu:
a. kata ganti, seperti aku, kamu, dan ia;
b. nama diri, seperti Rendi dan Umi;
c. istilah kekerabatan, seperti bapak dan ibu;
d. gelar dan pangkat, seperti dokter dan guru;
e. bentuk pe+kata kerja atau kata pelaku, seperti penonton dan pendengar;
f. bentuk nominal+ ku seperti kekasihku dan Tuhanku;
g. kata deiksis atau penunjuk, seperti sini dan situ;
h. kata benda lain, seperti tuan dan nyonya;
i. ciri zero atau nol, yakni adanya suatu makna tanpa disertai bentuk kata tersebut.

Daftar Pustaka
Chaer, Abdul dan Leonie, Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta. PT. Rineka Cipta
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Dinamika tutur sapa dalam bahasa indonesia. Jakarta: Bhratara.
Kridalaksana,Harimurti . 2008. Kamus linguistik (ed. ke-4). Jakarta: Gramedia.
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.

Postingan Terkait

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter