Cerpen keluarga bahagia | Agus C Noor bag 1

Post a Comment
keluarga bahagia agus c noor
KEPARAT Menelaus mengirimiku brosur perkawinan. “Inilah jalan terbaik bagimu untuk membangun keluarga bahagia, “Tulisnya di surat pengantar, dengan tulisan tangan seorang idiot. “Jalan yang akan membawamu pada kebahagiaan abadi. Kau sebentar lagi membusuk digerogoti cacing, Campa. Jangan biarkan hidupmu yang buruk itu bertambah buruk: tak pernah merasakan hangatnya perkawinan. Karena memang demikianlah, wahai sahabatku Campa, Tuhan menciptakan manusia untuk diperjodohkan…” Kubayangkan wajah Menelaus yang penuh cacar jadi bercahaya ketika menuliskan surat itu, wajah seorang Filsuf yang memperoleh pencerahan. Cih, apa yang diketahui tentang perkawinan oleh seorang penderita ejakulasi dini macam Menelaus! Hingga keparat itu berlaga macam pendeta yang merasa punya kewajiban untuk menjodohkan setiap orang.

Perkawinan adalah neraka. Awal petaka dijeratkan ke leher kita. Aih, bagaimana mungkin Menelaus tiba-tiba begitu bergairah bicara soal perkawinan? Aku tak pernah peduli perkawinan, yang selalu mengingatkanku pada hari-hari penuh pertengkaran, makian dan perkelahian. Perkawinan hanya akan mengingatkanku pada ayah, binatang buas yang tak segan-segan mencabik-cabik anak sendiri. “Anak setan!” Ayah akan meraung ganas untuk sebuah kesalahan kecill sekalipun. Empat kakakku mati diinjak-injak karena luupa menyiapkan kopi, merapikan seprai dan tak sengaja memecahkan poci. Perkawinan Cuma membuatku jadi teringat Ibu, binatang liar yang selalu sibuk dengan impiannya sendiri, ia selalu memandang jijik anak-anaknya yang dianggap cuma merepotkan dan hanya menyita waktu yang seharusnya dapat ia gunakan untuk berdandan dan mempercantik diri. “Pergilah anak tolol,” omel Ibu sembari menghantamkan lonjoran  besi ke kepalaku setiap kali aku berusaha mendekati. Padahal aku ingin membantu mencabuti bulu ketiaknya. “Anak iblis, kenapa kamu tak cepat mati!” Kemudian makian yang tak habis-habisnya, membuatku gemetar, sembunyi di balik lemari menyaksikan ayah dan ibu yang saling cakar, saling gigit, saling banting, saling seruduk, saling tendang….

Menelaus, kawanku sejak kecil, tahu semua itu, seperti juga aku tahu perihal ayahnya yang selalu menghajar, mencambuki dan mengerat jari-jari ibunya secuil demi secuil setiap malam. Sejauh Menelaus bisa mengingat masa kecilnya, “Upacara keluarga” itu selalu berlangsung sempurna. Ayahnya mendudukkan dia di kursi, tak boleh memejam atau memalingkan muka ketika ayahnya menghajar ibunya. Itulah “upacara keluarga” yang mesti dijalani Menelaus setiap malam, sampai ia sering terkencing-kencing menyaksikan ibunya terkapar mengerang persis anjing sekarat. Sedangkan ayahnya menyeringai puas duduk di kursi goyang menikmati sebotol tuak. Setelah itu ayahnya akan membelai dan mencium kening Menelaus, “Tidurlah, Buyung. Kau telah melihat bagaimana ayahmu begitu perkasa. Tidurlah.” Begitulah, sammpai ketika ibunya meninggal dunia dan ayahnya menjadikan dia sebagai pengganti. Dicambuk dan disodomi. Menelaus celaka,bagaimana kini ia menasehatiku soal perkaweinan dan keluarga bahagia?!

Kami bersahabat, seperti sepasang homoseks yang menumbuhkan rasa saling percaya, menghadapai dunia yang menghujatnya. Sampai kemudian Menelaus mengatakan kepadaku bahwa ia akan kawin dengan seorang pelacur pengidap epilepsi yang menurutnya bersedia untuk setiap malam dia siksa, sebagaimana dulu ayahnya menyiksa ibunya. “Inilah perempuan paling kudus yang pernah aku temui,” katanya, “Kau mesti memahamiku, Campa.” Aku mengangguk. Kutahu Menelaus tak pernah bisa ereksi sebelum ia mencambuk dan menyiksa wanita yang dikencaninya. Sejak itu kami jarang bertemu. Kubunuh Menelaus dari ingatanku. Sesekali saja kabar Menelaus kuterima: ternyata perempuan itu lebih perkasa, sehingga setiap kali Menelaus hendak menyiksanya, Ale, pelacur gembrot itu, lebih dulu menghantam kepala Menelaus dengan pemukul Baseball. Kabarnya biji mata kiri Menelaus sampai merocot keluar dihantam perempuan itu. Kemudian Menelaus pindah ke Quetzalcoatl, dusun kecil di kakai bukit Palatinus, beternak babi—yang, kukira, lebih berfungsi sebagai pelampiasan gairah Menelaus yang tak kuasa menyiksa isterinya. Kudengar juga Ale mati kebanyakan makan kwaci. Aku tak perduli. Dan kini, keparat Menelaus malah khotbah kepadaku soal perkawinan yang bahagia. Diancuk! Paling ia bertambah celaka dengan perkawinannya, dan butuh kawan untuk ikut merasakan betapa celakanya dia. Selamat menikmati penderitaan, Kawan. Aku tak mau ambil bagian. 

Postingan Terkait

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter