Rekreasi sebagaimana dimaksudkan oleh istilah di sini
adalah suatu penciptaan kembali (sebagaimana tari kreasi modern berarti tari
ciptaan modem) atau kalau mau mengatakan dengan kata lain yang lebih nyata
tetapi terlalu kasar buat suatu karya seni adalah rekonstruksi. Kritikus
ataupun pembaca biasa dalam menikmati karya sastra itu ) seakan-akan terlontar
masuk dunia baru yang sama sekali asing. Ia harus menemukan dirinya sendiri di
dalam dunia baru itu. Dan kesadaran akan kepribadiannya itu hanya bisa
diperoleh apabila dia dapat menangkap udara dari alam baru itu, yakni apabila
dia bisa menangkap keindahan yang dihadapi dan meresapinya juga. Untuk mencapai
hal ini setiap orang, entah dia itu seorang kritikus ataukah hanya seorang pembaca
biasa, haruslah bertindak aktif menggerakkan sekalian daya, terutama daya imajinasi/angan-angan,
yang dimilikinya. Karenanya setiap pembaca yang berhasil menangkap karya seni
secara utuh dan menyeluruh merupakan seorang seniman dalam batas-batas tertentu,
yakni seniman bagi dirinya sendiri, atau seniman yang hanya sampai pada
pengalaman rohani. Kalau kemudian dia menuliskan kesan-kesannya tentang
pengalaman rohani yang diperoleh dari karya sastra yang sudah dibacanya itu, yakni
apabila dari seorang pembaca biasa melangkah maju sebagai seorang kritikus maka
dia dapat disebut seorang seniman kedua, karena secara jujur dia mengakui bahwa
dia telah mengarungi pengalaman jiwa pengarang yang karyanya telah dibaca itu,
dan kemudian ingin memberikan pertanggungan jawab pengarungannya itu kepada
orang-orang lain.
Sedang tugas khusus kritik penghakiman, sebagaimana
sudah jelas dari bunyi istilahnya, adalah menentukan nilai daripada sebuah
karya sastra yang dibacanya. Dicarinya pula hubungan dengan karya-karya sastra
yang lain dan nilai-nilai insaniah lainnya. Dan penentuan nilai-nilai ini,
sebagaimana akan jelas dari uraian-uraian selanjutnya, menyangkut
sekurang-kurangnya tiga macam dasar-dasar kritik yang merupakan persyaratan
penting. Adapun tiga macam kriteria normatif itu adalah kriterium estetik yang
tegas terhadap pencapaiannya sebagai karya seni, kriteria epistemis tentang
kebenaran-kebenaran yakni apakah
kebenaran yang menjiwai karya itu merupakan rangkuman kebenaran semesta yang
dapat dipertanggungjawabkan dan akhirnya kriterium normatif, yang lebih luas
lagi tentang arti ke?entingan, keagungan dan kedalamannya. Yang terakhir ini
menyangkut kematangan jiwa lengkap dengan kecenderungan-kecenderungan rendahnya
termasuk kementahan dan kadangkalan sikap jiwanya.
Di atas baru ditunjukkan bahwa masing-masing aspek
kritik punya hubungan dengan aspek-aspek yang bersangkutan. di dalam karya
sastra dan bahwa hubungan antara masing-masing aspek kritik itu berjalan analog
dengan aspek-aspek di dalam karya sastra. Tetapi tidak dijelaskan bagaimanakah
hubungan itu secara kongkretnya. Haruslah ditegaskan bahwa ketiga aspek kritik
itu di dalam kenyataannya merupakan tiga pendekatan yang komplementer kearah
sebuah karya. Maka setiap pendekatan ke arahnya hanya bisa dilakukan dengan
berhasil apabila dibarengi oleh kedua pendekatan lainnya. Jadi orang tidak bisa
mengadakan pendekatan karya yang menyeluruh dan utuh hanya dengan lewat satu
ataupun dua pendekatan saja. Ketiga pendekatan haruslah dijalankan sekaligus.
Suatu pengamatan historis, misalnya, kalau dipisahkan dari rekreasi sensitif
dan pengkajian yang berdasarkan penghakiman, hanyalah akan menghasilkan satu
rentetan fakta-fakta objektif yang kering. Dan kalau orang hanya bertumpu pada
fakta-fakta objektif saja pastilah akan gagal di dalam usahanya untuk
menentukan hakekat serta nilai karya sastra yang dihadapinya. Sebaliknya, suatu
usaha penciptaan kembali atau usaha rekreatif tidaklah mungkin bisa dilakukan
tanpa adanya pengertian tentang konteks atau jalinan historis. Maka gagallah sebagai
suatu rekreasi yang sebenarnya. Akibatnya hanya akan merupakan suatu tantangan
atau reaksi subyektif belaka. Dan lagi suatu jawaban estetik terhadap sesuatu karya
pastilah akan timpang bila tidak didasarkan atas suatu pengkajian. yang
bertumpu atas ketentuan-ketentuan keindahan yang sesungguhnya. Tetapi
sebaliknya, penilaian karya ini pastilah tetap akan bersifat akademis, ilmiah
ataupun moralis melulu bila tidak dilakukan dengan memperhitungkan pula
perspektif historis dan tanpa kehalusan rasa artistik.
Dengan demikian maka jelaslah bahwa tangkapan
rekreatif dan pengkajian penghakiman itu kedua-duanya haruslah dilengkapi oleh
suatu orientasi historis. Sebenarnya mengadakan suatu rekreasi sebuah karya
adalah merupakan penangkapan isi yang oleh pengarang telah diungkapkan di dalam
karyanya, sebagaimana telah ditunjukkan tadi. Maka berarti penafsiran secara
benar sebagai suatu alat komunikasi. Maka tangkapan tersebut tidak saja berarti
satu pengertian tentang medium yang telah dipergunakan oleh pengarang tetapi
juga suatu keakraban dengan bahasa dan ungkapan-ungkapan yang dipergunakan oleh
pengarang di dalam karyanya. Ini berarti penangkapan terhadap kenyataan yang
ditentukan oleh aliran jaman dan kebudayaan di samping juga kekhususan
pengarang sendiri sebagai seniman yang berpribadi. Karenanya juga berarti
merangkum satu pengetahuan tentang jaman daripada pengarang itu lengkap dengan
latar belakang intelektual dan spiritualnya. Tanpa orientasi historis macam
ini, tak ada seorang kntikus pun, meski bagaimanapun juga tajam perasaan hatinya
dalam bidang kesenian, yang bisa lolos dari suatu wawasan yang sentimental. Maka
hanya akan merupakan suatu himbauan buatan yang palsu terhadap karya itu tentang
apa yang sebenarnya tidak kedapatan di dalamnya. Dan ini juga berarti suatu kegagalan
dalam menangkap suatu rangkuman sari yang paling essensial atau asasi. Selanjutnya
suatu penghakiman pasti akan cabar dan tidak wajar kalau tidak bertumpu atas
dasar pengertian yang secara historis obyektif tentang apa yang dikajinya. Pernyataan
seperti "Apakah mutu atau karya ini', misalnya, mau tidak mau harus kembali
pada pertanyaan "Apakah hakekat karya ini yang sebenarnya". Dan
pertanyaan itu hanya bisa dijawab dalam satu kerangka historis saja.
Demikian pula halnya dengan rekreasi atau penciptaan
kembali. Rekreasi suatu karya sastra dalam keutuhan pribadinya yang khas dan
khusus itu sebenarnya bersifat hakiki bagi kritik pengkajian ataupun kritik
historis. Menciptakan-kembali merupakan syarat bagi seorang historikus seni dan
sastra, sebab obyek studi historis tersebut hanya bisa ditentukan dalam satu
jawaban artistik yang langsung. Kehalusan perasaan jiwa seseorang sajalah yang
bisa menolong orang untuk membuka rahasia tentang seni atau tidaknya suatu
karya. Dengan demikian membuka rahasia pula tentang apa yang merupakan obyek
sah daripada sejarah seni dan sastra (aliran, periode, dan kebudayaan setempat).
Tetapi sebaliknya juga ada satu kenyataan bahwa yang bisa diciptakan kembali dengan
wajar dan layak hanyalah obyek suatu pengkajian seni yang sah dan kena.
Pengkajian tidak bisa hanya bertumpu atas dasar aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan
yang dapat diterapkan secara mekanis. Orang harus "merasa" bahwa
benar-benar mau mengkaji, mau menghakimi. Pengkajiannya haruslah bertumpu atas
dasar pengalaman artistik yang dihadirkan oleh karya yang dihadapinya. Memang bagaimanapun
juga seni sastra, sebagaimana seni-seni lainnya, mempunyai ketentuan-ketentuan
dan hukum-hukum yang merupakan persyaratan hakekat suatu karya hingga bisa
disebut bernilai seni. Tetapi tidaklah berarti bahwa hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan
itu bersifat mutlak dan pasti seperti lancipnya suatu jajaran genjang, hingga dengan
sebuah pola saja orang bisa menerakan di atas semua lukisan dan menentukan bahwa
semua lukisan yang tidak memenuhi persyaratan lancipnya sudut-sudut jajaran genjang
bagaimanapun juga besar, kecil dan telitinya tidak bisa disebut suatu jajaran genjang.
Ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum di dalam bidang seni dan sastra tidaklah
seperti batu yang memuat sepuluh perintah Allah bagi seluruh anak buah Nabi Musa.
Ketentuan dan hukum-hukum di dalam bidang ini akan menuju kepada kesempurnaan
sesuai dengan kematangan jiwa setiap orang yang dibentuk oleh rentetan pengalaman-pengalaman
rohaninya. Itulah sebabnya setiap karya yang besar berjalan menempuh jaman yang
gilir berganti lengkap dengan hukum dan ketentuan sendiri. Tetapi karena
kesempurnaan hanyalah satu maka dengan sendirinya semakin dekat suatu karya
pada "kesempurnaan" maka semakin tahanlah karya itu menjawab tantangan
jaman-jaman yang gilir berganti dengan norma dan prinsip-prinsip keseniannya
sendiri (tetapi yang kesemuanya diarahkan pada satu titik yang dicita-citakan
dan yang tak pernah dicapainya, itulah titik kesempurnaan.) .
Post a Comment
Post a Comment