Aspek-Aspek Kritik Sastra (Bagian 2)

Post a Comment
telaah sastra

Rekreasi sebagaimana dimaksudkan oleh istilah di sini adalah suatu penciptaan kembali (sebagaimana tari kreasi modern berarti tari ciptaan modem) atau kalau mau mengatakan dengan kata lain yang lebih nyata tetapi terlalu kasar buat suatu karya seni adalah rekonstruksi. Kritikus ataupun pembaca biasa dalam menikmati karya sastra itu ) seakan-akan terlontar masuk dunia baru yang sama sekali asing. Ia harus menemukan dirinya sendiri di dalam dunia baru itu. Dan kesadaran akan kepribadiannya itu hanya bisa diperoleh apabila dia dapat menangkap udara dari alam baru itu, yakni apabila dia bisa menangkap keindahan yang dihadapi dan meresapinya juga. Untuk mencapai hal ini setiap orang, entah dia itu seorang kritikus ataukah hanya seorang pembaca biasa, haruslah bertindak aktif menggerakkan sekalian daya, terutama daya imajinasi/angan-angan, yang dimilikinya. Karenanya setiap pembaca yang berhasil menangkap karya seni secara utuh dan menyeluruh merupakan seorang seniman dalam batas-batas tertentu, yakni seniman bagi dirinya sendiri, atau seniman yang hanya sampai pada pengalaman rohani. Kalau kemudian dia menuliskan kesan-kesannya tentang pengalaman rohani yang diperoleh dari karya sastra yang sudah dibacanya itu, yakni apabila dari seorang pembaca biasa melangkah maju sebagai seorang kritikus maka dia dapat disebut seorang seniman kedua, karena secara jujur dia mengakui bahwa dia telah mengarungi pengalaman jiwa pengarang yang karyanya telah dibaca itu, dan kemudian ingin memberikan pertanggungan jawab pengarungannya itu kepada orang-orang lain.

Sedang tugas khusus kritik penghakiman, sebagaimana sudah jelas dari bunyi istilahnya, adalah menentukan nilai daripada sebuah karya sastra yang dibacanya. Dicarinya pula hubungan dengan karya-karya sastra yang lain dan nilai-nilai insaniah lainnya. Dan penentuan nilai-nilai ini, sebagaimana akan jelas dari uraian-uraian selanjutnya, menyangkut sekurang-kurangnya tiga macam dasar-dasar kritik yang merupakan persyaratan penting. Adapun tiga macam kriteria normatif itu adalah kriterium estetik yang tegas terhadap pencapaiannya sebagai karya seni, kriteria epistemis tentang kebenaran-kebenaran  yakni apakah kebenaran yang menjiwai karya itu merupakan rangkuman kebenaran semesta yang dapat dipertanggungjawabkan dan akhirnya kriterium normatif, yang lebih luas lagi tentang arti ke?entingan, keagungan dan kedalamannya. Yang terakhir ini menyangkut kematangan jiwa lengkap dengan kecenderungan-kecenderungan rendahnya termasuk kementahan dan kadangkalan sikap jiwanya.

Di atas baru ditunjukkan bahwa masing-masing aspek kritik punya hubungan dengan aspek-aspek yang bersangkutan. di dalam karya sastra dan bahwa hubungan antara masing-masing aspek kritik itu berjalan analog dengan aspek-aspek di dalam karya sastra. Tetapi tidak dijelaskan bagaimanakah hubungan itu secara kongkretnya. Haruslah ditegaskan bahwa ketiga aspek kritik itu di dalam kenyataannya merupakan tiga pendekatan yang komplementer kearah sebuah karya. Maka setiap pendekatan ke arahnya hanya bisa dilakukan dengan berhasil apabila dibarengi oleh kedua pendekatan lainnya. Jadi orang tidak bisa mengadakan pendekatan karya yang menyeluruh dan utuh hanya dengan lewat satu ataupun dua pendekatan saja. Ketiga pendekatan haruslah dijalankan sekaligus. Suatu pengamatan historis, misalnya, kalau dipisahkan dari rekreasi sensitif dan pengkajian yang berdasarkan penghakiman, hanyalah akan menghasilkan satu rentetan fakta-fakta objektif yang kering. Dan kalau orang hanya bertumpu pada fakta-fakta objektif saja pastilah akan gagal di dalam usahanya untuk menentukan hakekat serta nilai karya sastra yang dihadapinya. Sebaliknya, suatu usaha penciptaan kembali atau usaha rekreatif tidaklah mungkin bisa dilakukan tanpa adanya pengertian tentang konteks atau jalinan historis. Maka gagallah sebagai suatu rekreasi yang sebenarnya. Akibatnya hanya akan merupakan suatu tantangan atau reaksi subyektif belaka. Dan lagi suatu jawaban estetik terhadap sesuatu karya pastilah akan timpang bila tidak didasarkan atas suatu pengkajian. yang bertumpu atas ketentuan-ketentuan keindahan yang sesungguhnya. Tetapi sebaliknya, penilaian karya ini pastilah tetap akan bersifat akademis, ilmiah ataupun moralis melulu bila tidak dilakukan dengan memperhitungkan pula perspektif historis dan tanpa kehalusan rasa artistik.

Dengan demikian maka jelaslah bahwa tangkapan rekreatif dan pengkajian penghakiman itu kedua-duanya haruslah dilengkapi oleh suatu orientasi historis. Sebenarnya mengadakan suatu rekreasi sebuah karya adalah merupakan penangkapan isi yang oleh pengarang telah diungkapkan di dalam karyanya, sebagaimana telah ditunjukkan tadi. Maka berarti penafsiran secara benar sebagai suatu alat komunikasi. Maka tangkapan tersebut tidak saja berarti satu pengertian tentang medium yang telah dipergunakan oleh pengarang tetapi juga suatu keakraban dengan bahasa dan ungkapan-ungkapan yang dipergunakan oleh pengarang di dalam karyanya. Ini berarti penangkapan terhadap kenyataan yang ditentukan oleh aliran jaman dan kebudayaan di samping juga kekhususan pengarang sendiri sebagai seniman yang berpribadi. Karenanya juga berarti merangkum satu pengetahuan tentang jaman daripada pengarang itu lengkap dengan latar belakang intelektual dan spiritualnya. Tanpa orientasi historis macam ini, tak ada seorang kntikus pun, meski bagaimanapun juga tajam perasaan hatinya dalam bidang kesenian, yang bisa lolos dari suatu wawasan yang sentimental. Maka hanya akan merupakan suatu himbauan buatan yang palsu terhadap karya itu tentang apa yang sebenarnya tidak kedapatan di dalamnya. Dan ini juga berarti suatu kegagalan dalam menangkap suatu rangkuman sari yang paling essensial atau asasi. Selanjutnya suatu penghakiman pasti akan cabar dan tidak wajar kalau tidak bertumpu atas dasar pengertian yang secara historis obyektif tentang apa yang dikajinya. Pernyataan seperti "Apakah mutu atau karya ini', misalnya, mau tidak mau harus kembali pada pertanyaan "Apakah hakekat karya ini yang sebenarnya". Dan pertanyaan itu hanya bisa dijawab dalam satu kerangka historis saja.

Demikian pula halnya dengan rekreasi atau penciptaan kembali. Rekreasi suatu karya sastra dalam keutuhan pribadinya yang khas dan khusus itu sebenarnya bersifat hakiki bagi kritik pengkajian ataupun kritik historis. Menciptakan-kembali merupakan syarat bagi seorang historikus seni dan sastra, sebab obyek studi historis tersebut hanya bisa ditentukan dalam satu jawaban artistik yang langsung. Kehalusan perasaan jiwa seseorang sajalah yang bisa menolong orang untuk membuka rahasia tentang seni atau tidaknya suatu karya. Dengan demikian membuka rahasia pula tentang apa yang merupakan obyek sah daripada sejarah seni dan sastra (aliran, periode, dan kebudayaan setempat). Tetapi sebaliknya juga ada satu kenyataan bahwa yang bisa diciptakan kembali dengan wajar dan layak hanyalah obyek suatu pengkajian seni yang sah dan kena. Pengkajian tidak bisa hanya bertumpu atas dasar aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang dapat diterapkan secara mekanis. Orang harus "merasa" bahwa benar-benar mau mengkaji, mau menghakimi. Pengkajiannya haruslah bertumpu atas dasar pengalaman artistik yang dihadirkan oleh karya yang dihadapinya. Memang bagaimanapun juga seni sastra, sebagaimana seni-seni lainnya, mempunyai ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum yang merupakan persyaratan hakekat suatu karya hingga bisa disebut bernilai seni. Tetapi tidaklah berarti bahwa hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan itu bersifat mutlak dan pasti seperti lancipnya suatu jajaran genjang, hingga dengan sebuah pola saja orang bisa menerakan di atas semua lukisan dan menentukan bahwa semua lukisan yang tidak memenuhi persyaratan lancipnya sudut-sudut jajaran genjang bagaimanapun juga besar, kecil dan telitinya tidak bisa disebut suatu jajaran genjang. Ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum di dalam bidang seni dan sastra tidaklah seperti batu yang memuat sepuluh perintah Allah bagi seluruh anak buah Nabi Musa. Ketentuan dan hukum-hukum di dalam bidang ini akan menuju kepada kesempurnaan sesuai dengan kematangan jiwa setiap orang yang dibentuk oleh rentetan pengalaman-pengalaman rohaninya. Itulah sebabnya setiap karya yang besar berjalan menempuh jaman yang gilir berganti lengkap dengan hukum dan ketentuan sendiri. Tetapi karena kesempurnaan hanyalah satu maka dengan sendirinya semakin dekat suatu karya pada "kesempurnaan" maka semakin tahanlah karya itu menjawab tantangan jaman-jaman yang gilir berganti dengan norma dan prinsip-prinsip keseniannya sendiri (tetapi yang kesemuanya diarahkan pada satu titik yang dicita-citakan dan yang tak pernah dicapainya, itulah titik kesempurnaan.) .


Postingan Terkait

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter