Sebuah karya
sastra, sebagaimana setiap karya seni lainnya, merupakan suatu kebulatan yang
utuh, khas, dan berdiri sendiri. Pertama kritik sastra merupakan satu dunia
keindahan dalam wujud bahasa yang dari dirinya sendiri telah dipenuhi dengan kehidupan
dan realitas. Kedua kritis sastra juga merupakan satu fenomena atau gejala sejarah
- yakni sebagai hasil karya seseorang seniman tertentu, dari aliran tertentu, jaman
tertentu dan kebudaaan tertentu pula yang tidak lepas dari rangkaian sejarah. Kemudian
ketiga kritik sastra merupakan satu pengejawantahan gaya yang juga dimiliki oleh
karya-karya lain dari seniman itu, di samping juga gaya yang menandai karya-karya
lain termasuk aliran, zaman dan kebudayaan yang sama dengan karya tersebut. Akhirnya
karya sastra, sebagaimanajuga setiap karya seni lain, berbeda-beda tingkat pencapaiannya
sebagai karya seni, begitu pula tentang kebenaran dan arti kepentingannya. Tegasnya
setiap karya mempunyai tingkatnya tersendiri dalam hal kesempurnaan, punya
ukurannya tersendiri tentang kebenaran atau kepalsuannya serta keagungan
ataupun keremehannya.
Karenanya
setiap kritikus yang cakap pastilah akan memperhatikan ketiga aspek daripada
setiap karya sastra tersebut. (Dan sebenarnva begitulah pula hendaknya setiap pembaca
biasa. Hanya saja hal ini akan tergantung pada tingkat ketajaman perasaan hatinya.
Dan tentu tingkat sistematiknya pastilah akan lebih rendah, dan secara historisnya
tentu akan kaku sifatnya). Ia menangkap kepribadian karya itu di dalam kepenuhan
keistimewaannva lewat sebuah rekreasi artistik yang disebabkan oleh halusnya
perasaan hatinya. Tetapi untuk mengadakan rekreasi itu dia harus tahu "bahasa"
yang dipergunakan oleh seniman itu. Ini berarti menuntut adanva suatu keakraban
dengan jenis-jenis gaya daripada komposisi serta latar belakang tentang kebudayaannva.
Tetapi Suatu rekreasi yang berorientasi historis itu secara mutlak menuntut
suatu jawaban kritis. Yakni jawaban yang berarti pengkajian terhadap karya tersebut
dengan mengingat baik terhadap kadar seninya maupun pada kebenaran serta arti
rohaninya. Karenanya kritik sastra pun memiliki tiga aspek pula, yakni aspek historis,
aspek rekreatif dan aspek penghakiman. Masing-masing aspek berhubungan sejalan
dengan aspek-aspek yang terdapat pada karya sastra itu. Kritik historis berhubungan
dengan watak dan orientasi historisnya; Kritik rekreatif berhubungan dengan
kepribadian artistiknya yang istimewa, dan kritik penghakiman berhubungan dengan
nilai atau kadar artistiknya. Aspek-aspek kritik ini sepenuhnya merupakan faktor-faktor
persyaratan bagi satu proses organis. Hubungan antara aspek yang satu dengan aspek
yang lainnya jelaslah bahwa bersifat analog (sejalan dengan hubungan yang
terdapat pada gaya, kepribadian dan nilai di dalam setiap karya sastra).
Karena hubungan masing-masing aspek kritik bersifat
analog dengan hubungan masing-masing aspek di dalam karya, maka dengan
sendirinya masing-masing aspek punya tugas jalinan tersendiri di antara wawasan
dan karyanya. Kritik historis secara khusus mempunyai tugas untuk mencari dan
menentukan hakekat dan ketajaman pengungkapan karya itu di dalam jalinan
historisnya. Di satu pihak menyangkut keaslian teks dan dokumen, dan di lain
pihak menyangkut penafsiran yang didasarkan atas macam-macam alat yang bisa
diperoleh yang sifatnya biografis, sosial, budaya dan lain sebagainya. Hanya
dengan demikianlah, pada hemat kami, orang bisa mengharap untuk menangkap apa
yang oleh penulis atau penciptanya mau diungkapkan dan bisa menafsirkan pula
hasrat kemauan itu berdasarkan minat-minat pengarang itu sendiri serta latar
belakang budayanya.
Kemudian kritik rekreatif tugas khususnya adalah,
dengan daya angan-angannya lewat jawaban artistik yang telah dihasilkan oleh
kehalusan hatinya, menemukan apa yang telah diungkapkan oleh pengarang itu
dengan benar-benar berhasil di dalam satu bentuk karya tertentu. Sudah barang
tentu seorang kritikus yang tidak mengabaikan segi rekreatif daripada kritik,
akan - dan memang sudah selayaknya pula menghubungkan apa yang ditangkapnya itu
dengan minat-minat dan kebutuhan-kebutuhan diri pribadinya sendiri. Tetapi hal
ini tidaklah bersifat integral dengan kritik rekreatif itu. Hal itu hanya
dilakukan sejauh masih secara positif turut menentukan pengertian kritikus itu
tentang karya tersebut dan isi yang diungkapkannya.
Sebagai catatan harap diperhatikan bahwa awalan re-
dalam istilah kami di sini perlu secara mutlak disadari artinya, karenanya
tidak dapat dihubungkan hingga kata rekreatif ataupun rekreasi itu menjelma
menjadi istilah yang oleh orang modern diartikan sebagai "pemulihan tenaga
dan penyegaran kembali" seperti dalam kalimat: "Selama waktu rekreasi
para mahasiswa bermain bridge, sepakbola, tenis meja dan ada pula yang cuma
duduk-duduk bergurauan di bawah pohon di halaman asrama." Atau "Di
dalam pendidikan Indonesia di jaman kuno rekreasi sama sekali tidak mendapat tempat,
tetapi di jaman sekarang ini rekreasi sudah disadari kepentingannya, karena
baik tenaga rohani maupun jasmani memang tidak dapat dipaksa untuk terus
bertekun tanpa henti-hentinya."
Post a Comment
Post a Comment