TUJUH
Muncul seorang petugas, memberikan pengumunan menjelang sidang. Petugas itu
membawa kentongan, kemudian memukulnya beberapa kali..
PETUGAS: Mohon perhatian. Sidang Susila dengan nomor
kasus 001 antara Negara melawan Susila Parna, segera digelar di Pengadilan
Tinggi Negeri Tata Susila. Harap semua tenang. Segala macam alat elektronik dan
telepon selular harap dimatikan, karena akan menggangu sistem navigasi
persidangan…
Petugas memukul kentongan lalu Hakim muncul diikuti Jaksa dan Pembela.
Begitu Hakim, Jaksa dan Pembela on stage, petugas itu exit.
Hakim membuka siding,
HAKIM: Pesakitan harap segera dibawa ke ruang sidang!
Suasana mencekam. Susila muncul dikawal seorang petugas dengan senapan siap
ditembakkan. Kemunculan Susila mengingatkan pada penjahat psikopat yang sadis,
dimana kaki dan tangan Susila dirantai, sementara kepala dan wajahnya ditutup
dengan ikatan dari kulit warna hitam. Mulut Susila ditutup dengan semacam
keranjang, seperti penutup mulut anjing galak. Sementara sebuah kayu
dipasangkan menyilang ke sebalik dua tangan Susila. Dalam todongan senjata
Petugas, Susila segera didudukkan ke kursi terdakwa.
Melihat Susila diperlakukan seperti itu, Pembela langsung memprotes keras.
PEMBELA: Maaf, Bapak Hakim! Apa ini tidak terlalu
berlebihan?! Klien saya bukan psikopat. Dia bukan sejenis Sumanto soloensis, yang suka memakan daging manusia. Klien saya sama sekali tidak membahayakan.
JAKSA: Jangan lupa, dia seorang penjahat susila paling
tidak senonoh di negeri ini. Sodara pasti tahu, penjahat susila sudah pasti
jauh lebih berbahaya dari penjahat jenis biasa. Lebih berbahaya dari pencopet.
Lebih berbahaya dari garong. Bahkan lebih berbahaya dari psikopat yang paling
berbahaya.
PEMBELA: Itu terlalu dilebih-lebihkan, Bapak Hakim. Klien saya tidak pernah melakukan tindakan apa pun yang membahayakan. Klien saya tidak pernah melakukan kekerasan fisik… Satu hal lagi, Bapak Hakim,
saya keberatan dengan penggunaan istilah pesakitan bagi terdakwa. Bagaimana pun
dia tetaplah berstatus terdakwa, bukan pesakitan.
JAKSA: Harap diingat Sodara Pembela. Ini bukanlah
sidang pidana atau perdata biasa. Ini adalah sidang tindak susila. Sebagaimana
ditegaskan dalam Undang-undang Susila, para pelanggar susila dengan sendirinya
adalah orang yang sakit. Orang-orang sakit jiwa. Orang yang berpikiran gila.
Orang yang otaknya ngeres. Orang yang pikirannya dipenuhi gagasan pornografi
dan pornoaksi. Itulah sebabnya para pelanggar susila adalah orang-orang yang
hidup dalam gelimang dosa, Sodara-sodara… Mereka sungguh-sungguh orang yang
berbahaya, Sodara-sodara… Ukuran bahaya tidak semata ditentukan dengan tindakan
fisik. Tapi juga pikiran! Dan kejahatan yang disebarkan pikiran, sudah barang
tentu jauh lebih membahayakan, Sodara-sodara…
PEMBELA: Itulah yang saya anggap berlebihan! Bagaimana
pun klien saya sebagai terdakwa belum tentu bersalah, sampai pengadilan
membuktikannya bersalah. Karena itu saat ini sangatlah tidak tepat mengatakan
dia sebagai pesakitan. Dan satu hal lagi, kita ini hendak menyidangkan
perbuatan atau pikiran?!
JAKSA: Sidang tindak susila bukan hanya berkait
tindakan-tindakan yang asusila, tapi juga pikiran-pikiran yang asusila. Ingat,
Bapak Hakim, yang kita sidangkan ini bukan hanya perbuatan pesakitan. Tapi juga
pikiran pesakitan. Pikiran yang dipenuhi gagasan-gagasan mesum dan cabul.
Gagasan-gagasan yang menyebarkan penyakit asusila. Dan kita tahu,
Sodara-sodara, penyakit asu-sila, lebih cepat menular dibanding penyakit
asu-gila!
PEMBELA: Rupanya Saudara jaksa menderita paranoid…
JAKSA: Saya hanya ingin menegaskan: yang kita lawan
adalah kejahatan pikiran… Kita melawan sebuah ide, Bapak Hakim. Ide yang yang
dibungkus kebebasan berekspresi dan keberagaman. Tapi semua itu tak lebih omong
kosong, Bapak Hakim. Bagi saya, ide kebebasan berekspresi bukanlah ide yang
genial, tapi ide yang bersifat genital. Yakni ide-ide yang hanya dipenuhi
gagasan seputar alat vital. Inilah ide yang lebih berbahaya dari pada ide
komunisme…
JAKSA: (Bereaksi keras) Saya tetap keberatan! Itu sama sekali tidak relevan!
Hakim langsung memotong.
HAKIM: Mohon Saudara Pembela menjaga sikap. Ini ruang
pengadilan, bukan pasar hewan. Ya, meski pun saat ini sulit membedakan antara
pengadilan dan pasar hewan, saya harap Saudara Pembela bisa menjaga
kesopanan…Lagi pula, saya kan belum membuka sidang…
PEMBELA: (Seolah tak memperdulikan
peringatan Hakim) Saya tetap keberatan dengan semua penyataan
Saudara Jaksa yang terlalu berlebihan…
JAKSA: Semua perkataan saya berdasarkan bukti dan
fakta!
PEMBELA:Fakta yang mana? Bukti yang mana?
Melihat Jaksa dan pembela makin keras bertengkar, Hakim kembali mengetok
palu sidang, memotong!
HAKIM: Sudara Pembela dan Jaksa!!! Bicaralah yang
pelan. Saya jantungan! Sini… (memberi
kode agar Jaksa dan Pembela mendekat.) Harap
kalian bisa bekerja sama menjaga jalannya persidangan. Saling pengertian
begitu… Seperti kalau biasanya kalian lagi tawar-menawar uang suap. Ingat, saya
belum lagi membuka sidang, lha kok kalian sudah sibuk berdebat kayak anggota dewan kurang kerjaan…
Kemudian Hakim dengan penuh wibawa mengetokkan palu sidang. Sidang telah
dibuka! Jaksa dan Pembela yang sama-sama siap bertempur berada di posisi
masing-masing.
HAKIM: Mohon petugas melepas kepala Pesakitan… Maksud
saya, melepas tutup kepala Pesakitan…
Seorang petugas segera mendekati Susila. Petugas itu berdiri sebentar di
depan Susila, kemudian segera memakai sarung tangan karet sebagaimana yang
dipakai dokter ketika hendak melakukan operasi, kemudian begitu hati-hati
membuka ikatan kepala dan mulut Susila. Begitu tutup mulut itu terbuka, Susila
terlihat sangat lega. Petugas segera menyingkir, kembali berjaga.
Susila memandangi Pembela, seperti ingin menyapa. Tapi Pembela segera
melengos, pura-pura tidak mengenal Susila. Pembela terlihat gelisah, apalagi
ketika Susila seperti hendak memangil nama Pembela…Untunglah Hakim segera
memulai sidang…
HAKIM: Saudara Pesakitan… Harap perhatikan kemari!
Apakah benar, nama Saudara adalah Susila Parna?
SUSILA: Dalem, Pak Hakim…
HAKIM: Apakah Saudara Pesakitan dalam keadaan sehat?
SUSILA: Dalem, Pak Hakim… Syukur alhamdulillah, saya sehat jasmani dan rohani. Ya, cuman
agak sedikit mengalami gangguan ejakulasi dini… Burung saya, Pak Hakim… (Bersin) Hachi…
Hakim dan semua yang hadir di ruang sidang itu langsung menutup hidung
mereka.
SUSILA: Burung saya… (Kembali bersin) Hachi… sedikit flu…
HAKIM: (Membentak, mengetuk palu
keras) Saudara Pesakitan jangan berbelit-belit…
SUSILA: (Kaget, dan latah) Eh silit.. eh sembelit… Iya, Pak Hakim… Silit saya sakit…. maksud saya
berbelit-belit… Eh, silit kok berbelit-belit…
HAKIM: (Membentak lebih keras) Mohon Saudara Pesakitan menjaga ucapan! Dilarang ngomong jorok di
persidangan!
SUSILA: (Makin kaget, makin latah) Eh jorok jorok keprok… Dalem,
Pak Hakim… (bersin) Burung kok jorok… (bersin) Burung saya, eh, saya cuma pingin ngen…
HAKIM: (Memotong) Cuk… (dan langsung bersin, seakan
ketularan Susila) Haicih……
SUSILA: Bukan ngencuk, Bapak Hakim tapi ngen…
HAKIM: (Kembali memotong) Cuk… Haicih… Cuk…kup, masud saya. Cukup!
SUSILA: (Latah) Eh iya cukup, cukup…Cukup ngencuknya, Bapak Hakim… Tapi saya tidak mau ngen…ngen…cuk,
kok Bapak Hakim…Saya cuma mau ngen…ngen…tut…
Lalu terdengar kentut yang panjang. Semua menutup hidung. Susila terlihat
sangat lega.Hakim sibuk membersihkan hidungnya yang mendadak bersin-bersin… Dan
selama Jaksa dan Pembela berbicara beikut ini, Hakim terus sibuk membersihkan
hidungnya dengan sapu tangan atau tissue.
JAKSA: Lihat sendiri, Bapak Hakim… Kita benar-benar
menghadapi Pesakitan yang tidak saja berbahaya, tapi juga tidak punya etika.
Dia telah dengan sengaja mengganggu jalannya sidang…
PEMBELA: Klien saya hanya sedikit sakit perut, Bapak
Hakim!
SUSILA: Saya tidak sakit perut kok… Cuma… (bersin) hacih… flu…
PEMBELA: Sama saja! Tidak penting sakit perut atau sakit
flu, intinya adalah sakit. Klien saya sedang sakit! Maka sidang ini tidak bisa
dilanjutkan!
SUSILA: Ee, tidak apa-apa kok, Nduk…
PEMBELA: (Langsung membentak cepat) Diam! (Lalu kepada Hakim) Klien saya mengatakan ia terkena flu… Dalam hal ini burungnya yang terkena
flu…
Hakim menyodorkan tissue yang baru di pakainya kepada Jaksa, Jaksa menerima
kemudian membuang tissue itu, sementara Pembela terus berbicara…
PEMBELA: Artinya, ia dan burungnya terkena serangan dari
dua arah sekaligus. Seorang lelaki dan burungnya yang terkena flu, hampir sama
artinya dengan seorang ibu dan bayi yang disusuinya terkena flu.
Hakim kembali menyodorkan tissue yang dipakainya kepada Jaksa, tapi kali
ini Jaksa tidak membuangnya, namun tissue itu malah dipakainya buat
membersihkan hidunynya sendiri, kemudian tissue itu dikembalikan laki kepada
Hakim yang segera memakainya lagi buat membersihkan hidungnya yang gatal,
sementara Pembela terus berbicara,
PEMBELA: Artinya, ia dan burungnya tidak dalam keadaan
sehat untuk mengikuti persidangan! Maksud saya mungkin burungnya yang telah
membuatnya terkena flu. Kita tahu flu cepat menular, dan sudah pasti klien saya
sedang terkena flu karena itu tidak mungkin meneruskan persidangan ini.
JAKSA: (Bertepuk tangan, bergaya
memuji) Sungguh argumentasi hukum yang benar-benar luar biasa…bodoh!
Kemudian mulai di sini, dialog ini dibawakan dengan gaya dinyanyikan,
mungkin bergaya parikan seperti dalam ludrukan, mungkin dengan campuran irama
blues atau ndangdutan…
JAKSA: Saya harap, Sodara Pembela tidak mengaburkan
persoalan. Terlalu sering alasan sakit digunakan untuk menghindari persidangan.
Bagaimana pun sidang harus dilanjutkan, demi keadilan…
PEMBELA: (Dinyanyikan) Tidak bisa! Justru demi keadilan sidang harus dihentikan…
JAKSA: (Dinyanyikan) Keadilan tak bisa dihentikan. Keadilan harus tetap ditegakkan. Karena itu
tuntutan harus tetap dibacakan…
Musik terus mengalun. Hakim mengetuk palu, sambil sibuk dengan hidungnya
yang gatal.
HAKIM: Baiklah. Sidang tetap diteruskan. Lanjut, Mang…!
Musik terus mengalun.
JAKSA: (Dinyanyikan) Terimakasih, Bapak Hakim… (Sambil bergaya membacakan dakwaaan, terus dinyanyikan) Sodara Pesakitan telah terbukti melanggar Undang-undang Susila. Ia
melakukan perbuatan pornoaksi. Mempertontonkan susunya di muka umum…
SUSILA: (Menyanyi, menimpali, sambil
memegangi meremas-remas susunya) Oo, susuku yang malang…
JAKSA: (Dinyanyikan) Sebagaimana dalam Pasal 4 Undang-undang Susila. Dilarang mempertontonkan
bagian tubuh tertentu yang sensual…atau yang dianggap sensual. Seperti alat
kelamin, payudara, pusar, paha, pinggul, pantat…
SUSILA: (Menimpali, dengan nyanyian) Pundak lutut kaki lutut kaki, daun telinga mata hidung dan pipi…
JAKSA: (Dinyanyian) Karna itu pesakitan mesti dihukum seberat-beratnya. Karena dia telah
mengganggu keamanan dan stabilitas moral bangsa…
PEMBELA: (Memotong, berteriak tinggi,
bicara biasa) Keberatan, Bapak Hakim!
Musik dan nyanyian berhenti. Kembali dialog biasa. Sementara Pembela dan
Jaksa berdebat, Susila terlihat mulai kepanasan, sumuk, dan mulai membuka
kancing bajunya dan kipas-kipas dengan tangannya.
PEMBELA: Dalam penjelasan Pasal 4 tersebut dinyatakan
bahwa bagian tubuh tertentu yang sensual adalah antara lain payudara perempuan.
Terdakwa adalah seorang laki-laki. Bukan perempuan. Karena itu tuntutan Jaksa
absurd dan tak berdasar.
JAKSA: Hukum tidak berjenis kelamin, Sodara Pembela!
Prinsip hukum itu seperti slogan Keluarga Berencana: laki-laki atau perempuan
sama saja! Karena itulah semua orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum…
kecuali, tentu saja, Ketua Mahkamah Agung…
HAKIM: Harap Saudara Jaksa tidak keluar dari
fakta-fakta persidangan…
PEMBELA: Persoalannya, Bapak Hakim… Saudara Jaksa memang
tidak punya fakta-fakta yang mendukung semua dakwaannya.
JAKSA: Faktanya Pesakitan memang bersikap cabul dan
amoral, karena mempertontonkan bagian tubuhnya yang sensual… Lihat saja sendiri
kelakuannya… Saya yakin dia seorang eksibisionis…
Hakim terlihat bergairah memandangi Susila yang kepanasan dan mulai membuka
kancing-kancing bajunya… Hakim, menelan ludah memandangi payudara Susila.
SUSILA: (Yang makin kelihatan
kesumukan) Lha wong sumuk, je…
JAKSA: Jangan menjawab kalau tidak ditanya! (Kemudian kepada Hakim) Bahkan Pesakitan ini telah
melanggar Undang-undang Susila secara berlapis-lapis, karena memperjualbelikan
barang-barang yang mengandung unsur pornografi….
PEMBELA: Sekali lagi saudara Jaksa menuduh tanpa bukti
dan fakta!
JAKSA: (Berteriak kepada petugas) Ambil barang bukti itu!
Seorang Petugas segera membawa masuk barang dagangan Susila. Melihat itu
Susila langsung bangkit, dan dengan riang menghambur ke arah dagangannya,
seperti menyambut kekasih yang dirindukannya.
SUSILA: Daganganku… Oh, mainanku… Sayangku…
Semua langsung beringsut mundur menghindari Susila. Sementara Susila terus
memeluk dan menciumi mainan-dagangan itu… Hakim segera mengatasi keadaan,
memukulkan palu sidangnya.
HAKIM: Saudara Pesakitan harap kembali duduk!
SUSILA: Mainanku… Oh mainanku….
HAKIM: (Lebih keras) Duduk!!
SUSILA: (Kaget, latah) Eh kontol duduk… Welah kok kontol bisa duduk…
HAKIM: Du…duk!!!
SUSILA: Dalem, Pak Hakim…
Susila pun kembali duduk…
JAKSA: Sodara Pesakitan, benarkah barang-barang ini
milik saudara?!
SUSILA: Dalem, Bu Jaksa… Iya… itu dagangan saya…
JAKSA: Jadi jelas, Pesakitan ini telah mengakui
berdagang barang-barang porno ini!
SUSILA: Lho, itu mainan kok, Bu Jaksa… Mainan anak-anak…
JAKSA: Mainan anak-anak hanyalah kamuflase untuk
menutupi unsur-unsur pornografi dalam barang-barang ini.
SUSILA: Apanya yang porno? Masak mainan gitu dibilang
porno…. (Berdiri dan mendekati
dagangannya) Coba, mana yang porno? Mana? Apa mata Bu Jaksa picek, gini dibilang porno? (Mengambil
dua balon) Apa yang kayak ini porno, Bu Jaksa?
JAKSA: Itu barang cabul, Sodara Pesakitan! Coba Sodara
taruh di dada Saudara…
Dengan bingung dan tak ngerti, Susila menempelkan dua balon itu ke dadanya
– hingga mirip payudara…
JAKSA: Lihat saja sendiri fungsi pornografis barang
itu, yang membuat orang akan berfikiran mesum karena mengingatkan pada
payudara…
PEMBELA: Payudara tidaklah cabul. Sesuatu yang sensual
dan indah tidak berarti cabul. Anak-anak yang masih polos bisa melihat
keindahan payudara tanpa membuatnya jadi dosa. Kitalah, orang dewasa, yang
membuat payudara menjadi cabul, baik dengan mengeksploitasinya habis-habisan,
maupun dengan menutupinya habis-habisan…
SUSILA: (Menambahi) Plus selalu menghisapnya habis-habisan…Wong saya juga doyan kok…
JAKSA: Itu melanggar Undang-undang Susila!
SUSILA: Masa jualan balon melanggar susila? (Sambil masih menempelkan kedua balon itu di dadanya) Kalau balon kayak gini dianggap mirip payudara, lha ya payudaranya siapa?
Payudaranya Dolly Parton saja nggak segede ini kok… Kalau gede kayak gini bukan
payudara Bu Jaksa, tapi tumor… Aneh-aneh saja lho Bu Jaksa ini… Lalu gimana
kalau balon ini saya letakkan di tempat lain? Apa ya masih porno? Misalnya
begini…
Susila meletakkan dua balon itu di selangkangannya.
SUSILA: Gimana kalau begini… Apa begini ini kayak biji
salaknya raksasa… Eh, maksud saya biji salak raksasa?! Lha kalau bijinya segede
ini, lalu segede apa batangnya?… Batang pohonnya maksud saya… Apa ya begini
porno? Kan tergantung pikiran orang yang melihat…
Susila mengambil mainan lainnya, balon yang panjang.
SUSILA: Apa ini juga porno?
Susila memperlihatkan pada yang hadir, tetapi selalu setiapkali Susila
mendekat, mereka beringsut menjauhi Susila…
SUSILA: Mainan ini membuat anak-anak bisa berfantasi…
Berkhayal… Tapi kan tergantung fantasinya. Tidak mesti yang saru-saru…. (Meletakkan balon panjang itu di atas kepalanya) dengan begini anak-anak berkhayal seperti rusa bertanduk… (Meletakkan balon itu di keningnya) Berkhayal jadi unicorn atau punya cula seperti badak… (Meletakkan balon itu di hidungnya) punya hidung
mirip Pinokio… (Meletakkan balon itu di
perutnya) Punya wudel bodong… (Meletakkan balon itu di
selangkangannya) dan begini… punya ekor memanjang di bagian
depan…
Susila bisa mengembangkan mengambil mainan-mainan yang lain, kemudian
mengolahnya. Setiap kali Susila mendekat, selalu yang didekati beringsut
mundur…
SUSILA: (Sampai akhirnya bertanya pada
Pembela) Mainan kayak gini kan ya nggak porno toh, nduk? Bener kan nduk omongan saya?
PEMBELA: Maaf, Anda tak udah usah sok akrab pada saya!
SUSILA: Lho piye toh kowe, nduk…
PEMBELA: Saya membela Saudara hanya sebatas hubungan
profesi! Dan itu bukan berarti saya setuju dengan moral saudara… (Langsung menghidar dengan berkata pada Hakim) Bapak Hakim,
kita tak bisa mengatakan sesuatu porno hanya berdasarkan asumsi, seperti
dikatakan Saudara Jaksa tadi.
JAKSA: Bagaimana mungkin Sodara Pembela mengatakan
semua bukti ini hanya asumsi? Beruntung sekali kita berhasil menyita
bukti-bukti ini! Bagaimana kalau barang-barang itu beredar luas? Anak-anak kita
akan dijejali mainan-mainan porno! Mainan ini adalah cara untuk meracuni
pikiran anak-anak kita, Sodara-sodara! Bagaimana nasib masa depan anak-anak
kita, Sodara-sodara…bila sejak dini mereka telah dijejali dengan segala macam
bentuk mainan pornografi, Sodara-sodara… Puji Tuhan! Ini tidak bisa kita
biarkan, Sodara-sodara!
Bersamaan nada bicara Jaksa yang mulai meninggi, terdengar derap musik yang
menggambarkan serombongan demonstran yang mendekat dan mulai menderap…
JAKSA: (memandang ke arah luar ruang
sidang) Lihatlah sodara-sodara kita yang berbaris berbondong-bondong menghadiri
sidang ini!
Musik makin meninggi, sementara sayup nyanyian mulai terdengar…
JAKSA: Anda lihat sendiri, Sodara Pembela… Semua rakyat
berbaris dibelakang kita, agar kita bertindak tegas menghukum pesakitan ini…
Mereka ingin penjahat moral ini dihukum seberat-beratnya… Hukum adalah suara
rakyat… Suara rakyat adalah suara Tuhan…
Lalu terdengar teriakan dan
yel-yel para demonstran yang makin mendekat…
JAKSA: Dengarlah suara mereka… Suara Tuhan yang akan mengazab para pendosa yang tak bermoral!
Kemudian teriakan-teriakan itu makin menjadi jelas, dan muncul serombongan
demontran yang membawa poster yang ternyata berisi tunttutan agar Susila
dibebaskan. Jaksa langsung bingung melihat situasi yang tak diduganya. Ia
meyangka yang datang adalah demonstran yang mendukung Undang-Undang Susila.
Ternyata mereka adalah gerombolan yang penentang Undang-undang Susila yang
menuntut pembebasan Susila Parna. Para demosntran itu bernyanyi:
Jangan diam
jangan mau dibungkam
Kita
bergerak untuk perjuangan
Keragaman jangan
dimatikan
Proyek moral
haruslah dilawan
Yang
menindas suara kebenaran…
Bebaskan
Susila… Bebaskan Pikiran
Bebaskah
Susila… Bebaskan kehidupan
Bebaskan
Susila… Bebaskan Susila…
Bebaskan
Susila… Bebaskan Susila…
Begitu seterusnya diulang-ulang “bebaskan Susila… bebaskan Susila…”.
Kepanikan juga melanda Hakim. Pembela tampak bingung. Jaksa gemetar menahan
amarah. Semua menatap barisan demosntran yang menderap keluar, exit.
Saat itulah muncul Petugas Kepala, panik dan gugup,
PETUGAS KEPALA: Maaf, Bapak Hakim… Ini
benar-benar diluar perhitungan kita… Mereka menuntut pembebasan Pesakitan kita…
Teriakan dan nyanyian demonstran it uterus terdengar. Petugas Kepala dengan
cepat segera mengamankan Hakim dan Jaksa. Beberapa Petugas langsung menggiring
Susila di bawah ancaman senapan. Musik makin meninggi. Panggung menggelap.
Terdengar teriakan-teriakan itu: “Bebaskan Susila!… Hidup Susila!….”
Post a Comment
Post a Comment