EMPAT
Muncul Hakim, Jaksa dan Pembela, ketiganya menyaksikan petugas kepala yang
sedang menyemprotkan semprotan antiseptik ke tubuh Petugas 1. Sementara Susila
sudah terkunci kembali dalam sel. Pada adegan ini, blocking Pembela selalu
berada di belakang, seakan tak ingin ketahuan. Pembela itu terlihat menjaga
jarak, bahkan sering menjauhi Hakim dan Jaksa – seperti ada yang disembunyikan.
Terutama, Pembela selalu menjaga jarak dengan sel dimana Susila terkurung.
Petugas Kepala terkejut dengan kemunculan tiga pejabat itu, yang terkesan
mendadak.
HAKIM: Maaf kami datang mendadak… (Menyerahkan koran kepada petugas kepala, yang segera membacanya) Kita berkejaran dengan waktu. Kasus ini menjadi head line semua media. Pers terus-terusan mem-blow up penangkapan ini. Semua mendesak agar
persidangan dilaksanakan secepatnya.
PETUGAS KEPALA: Kami sedang memprosesnya… Saya
jamin semua akan lancar dan tepat waktu. Cuma tadi ada insiden kecil. Pesakitan
itu menyerang anak buah saya.
Hakim dan Jaksa kaget dan beringsut menjauhi Petugas 1…
PETUGAS KEPALA:enang… Saya sudah
menyemprotkan antiseptik.
JAKSA: Bisa kami melihat pesakitan? Kami hanya ingin
memastikan pesakitan siap menjalani sidang…
PETUGAS KEPALA: Silakan…
Jaksa dan Hakim segera menuju ke sel. Keduanya segera menyorotkan lampu
senter yang dibawanya ke arah Susila yang meringkuk tak berdaya dan kebingungan
dalam sel. Mereka menyenter Susila, seperti tengah meneliti binatang buruan
yang berhasil mereka tangkap. Susila menutupi matanya, silau oleh sorot lampu
senter itu. Hanya pembela yang mengamati dari jarak agak jauh.
HAKIM: (Sambil terus menyorotkan
senter ke Susila) Waduh, waduh… memang porno
banget orang ini… Lihat itu susunya…. (menelan ludah) momplok-momplok montok
banget…
JAKSA: (Batuk-batuk kecil) Eghm… Eghm… Ingat Bapak Hakim… dilarang terangsang di muka umum… Itu
melanggar undang-undang.
HAKIM: Siapa yang terangsang… (Menelan ludah, ekspresinya penuh birahi)… Saya hanya
mengatakan kalau susu pesakitan ini memang gede banget… Susu paling gede yang pernah
saya lihat… Bukankah begitu saudara Pembela? Coba lihat…
PEMBELA: (Kaget, menghindari melihat
Susila secara langsung) Eh, iya… iya… saya kira itu
memang susu paling gede sedunia…
JAKSA: Itu susu paling berbahaya se dunia! Karena
itulah kita menangkapnya. Susu itulah yang menjadi sumber penyakit moral!
HAKIM: Rileks sedikitlah, Bu Jaksa… Kita kan tidak
sedang di ruang sidang…
JAKSA: Maaf, standar moral saya jelas. Di dalam atau di
luar sidang kita mesti menjaga moralitas kita. Ingat, Bapak Hakim, saat ini
kita sudah memasuki Orde Moral. Orde Susila. Orde yang mengatur semua moral dan
susila kita.
HAKIM: Tidak perlu menyeramahi saya soal itu, Bu Jaksa…
Apakah Bu Jaksa meragukan standar moralitas saya?!
Jaksa dan Hakim saling tatap, kemudian Jaksa mendengus membuang muka. Hakim
segera menghampiri Pembela yang terlihat menjauh dan gugup.
HAKIM: Kenapa gugup, Saudara Pembela?
PEMBELA: Bapak hakim tahu… ini kasus pertama yang saya
tangani. Jadi saya masih nervous… Apalagi menurut saya ini perkara yang terbilang
luar biasa…
HAKIM: Apa kamu tidak ingin melihat pesakitan?
PEMBELA: Tentu, Bapak Hakim… Saya ingin berbicara dengan
klien saya. Tapi, biar nanti saja… Ee, mungkin saya perlu minta waktu khusus.
Ee, maksud saya, saya perlu bicara berdua saja dengan klien saya.
HAKIM: (Kepada Petugas Kepala) Bagaimana? Apa kamu bisa jamin soal kemananannya?
PETUGAS KEPALA: Saya bisa tempatkan seorang
petugas untuk berjaga-jaga…
PEMBELA: Terimakasih… Tapi saya hanya ingin berdua dengan
klien saya. Ini untuk kepentingan pembelaan… Percayalah, saya cukup bisa
menjaga diri.
PETUGAS KEPALA: (Setelah
menimbang-nimbang) Baiklah… Tapi ingat, jangat
terlalu dekat dengan pesakitan…
Lalu Hakim, Jaksa, Petugas Kepala dan para petugas, semuanya exit. Tinggal
Pembela dan Susila yang masih merungkuk di selnya.
LIMA
Pelan Pembela mendekati sel Susila, menyorotkan senter ke arah Susila. Lalu
Pembela memanggil Susila dengan pelan dan hati-hati,
PEMBELA: Sstt… Bangun… Bangun… Ayo bangun… Ada yang harus
kita omongkan…
Susila menggeliat…
SUSILA: Saya kok sepertinya kenal kamu, ya?
PEMBELA: Saya yang akan membela kamu… Cepat ke sini…
SUSILA: (Mengingat-ingat) Kok kamu seperti…
PEMBELA: Ssttt… Sudah jangan banyak omong…
Susila mendekati jeruji selnya. Dan ketika mereka sudah berdekatan, lalu
lampu senter itu menyorot juga ke wajah Pembela, Susila segera tahu…
SUSILA: Lho, kamu kan Utami, to? Kamu anaknya Ngadimin…
Masih ingat tidak, saya Pakdemu.. Pakde Sus…
PEMBELA: Iya, Pakde… Saya Utami…
SUSILA: Piye kabarmu, nduk… Ayu bener Utami kowe saiki… Wah wah Utami, Utami…tambah semok
kamu… Wis lulus sekolahmu? Saya denger sekarang kamu jadi pengarang cabul…
PEMBELA: Ssssttt!!! Sudah, nggak usah banyak tanya-tanya…
SUSILA: Walah-walah kok ya wis gede banget toh susumu… Wong dulu waktu kamu saya gendong-gendong, masih
kecil kayak pentil kok…
PEMBELA: Ssttt!!! Pakde ini ndak berubah! Mesum terus.
Pantesan Pakde ditangkap kayak gini!
SUSILA: Masak begitu…
PEMBELA: (Langsung memotong, tegas) Sudah! Pakde dengarin saja apa yang saya katakan… Nanti di persidangan,
saya yang jadi pembela Pakde… Tapi nanti Pakde harus pura-pura tidak kenal
saya… Jangan sampai orang-orang tahu, kalau kita masih ada hubungan darah.
SUSILA: Kamu malu ya seduluran sama Pakde…
PEMBELA: Sudah, toh. Pakde manut saja. Nurut apa yang saya katakan. Ini strategi, Pakde. Biar kita bisa
menang sidang. Kalau nanti ketahuan kita masih famili, saya sendiri yang repot.
Nanti saya malah diserang, dihabisi…
SUSILA: Dihabisi bagaimana?
PEMBELA: Sssttt.. Sudah toh. Saya tidak suka dibantah.
Sudah, jangan ngeyel!
SUSILA: Lho tapi kan kita memang ada hubungan darah…
Kalau tidak, ya sudah lama kamu saya tumpaki…
Terdengar seperti ada langkah-langkah kaki Petugas yang mendekat, membuat
gugup Pembela…
PEMBELA: Kalau ketahuan saya famili Pakde, saya akan
dicap tidak bersih lingkungan! Nanti saya tidak bisa membela Pakde.
Suara langkah itu seperti makin mendekat…
PEMBELA: (Celingukan mendengar
suara-suara itu) Pakde ngerti kan maksud saya? Ini juga buat
kebaikan Pakde sendiri…
Suara langkah kaki itu makin mendekat, membuat Pembela itu ketakutan dan
buru-buru menyelinap pergi…
PEMBELA: (Berhenti
sejenak dan kembali berkata pada Susila) Ingat…,
nanti Pakde harus pura-pura tidak kenal saya.
Panggung perlahan menggelap. Musik transisi, seperti derap langkah kaki itu
lama-kelamaan terdengar seperti menderap menggemuruh, seakan ruangan itu sudah
terkepung ribuang langkah kaki yang menyebar dan menderap ke segenap penjuru…
ENAM
Muncul derap serombongan demonstran, membawa bermacam poster yang menghujat
Susila. “Gantung Susila”, “Hukum Susila Seberat-beratnya”, “Pornografi Antek
Komunis”, “Ganyang Pornografi Pornoaksi”, dan lain-lain. Rombongan demonstran
itu berteriak mengacungkan tangan dan poster-poster yang dibawanya, dan
bernyanyi:
Langit hitam
penuh kemesuman
Kita
bergerak harus meringkusnya
Kebebasan
jadi ancaman
Pikiran
kotor harus dibersihkan
Yang berbeda
harus disingkirkan
Moral Negara
harus ditegakkan
Kita
bergerak untuk ketertiban
Pornografi
telah mengancam
Pikiran
kotor harus dibersihkan
Yang berbeda
harus disingkirkan
Penjarakan
Susila… Penjarakan Pikiran
Penjarakan
Susila… Penjarakan kemesuman
Penjarakan
Susila… Penjarakan Susila…
Penjarakan
Susila… Penjarakan Susila…
Begitu seterusnya diulang-ulang “penjarakan Susila… penjarakan Susila…”,
hingga rombongan itu menderap keluar, exit, dan suara nyanyian itu terdengar
makin menjauh.
Post a Comment
Post a Comment