Psikologi sastra merupakan bidang inter-disipliner antara ilmu sastra dan ilmu psikologi. Berbicara psikologi sastra berarti berbicara tentang pendekatan dalam mengapresiasi karya sastra, atau memanfaatkan karya sastra, pengarang, dan pembaca untuk studi psikologi.
Perhatian diarahkan kepada pengarang dan pembaca (sebagai psikologi komunikasi) atau kepada teks sastra itu sendiri. Rene Wellek dan Austin Warren (1962:dalam Melani Buadianta, 1989: 90) menyatakan bahwa istilah psikologi sastra mempunyai empat kemungkman pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga adalah studi tipe hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, dan yang keempat adalah mempelajari dampak sastra pada pembaca atau disebut psikologi pembaca. Psikologi sastra merupakan cabang ilmu sastra dari sudut psikologi.
Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa empat model dalam psikologi sastra meliputi : (1) pengarang, (2) proses kreatif (3) karya sastra, dan (4) pembaca. Psikologi sastra dengan demikian memiliki tiga gejala utama, yaitu pengarang, karya sastra dan pembaca. Fokus psikologi dalam psikologi karya sastra pada pengarang dan karya sastra, dibandingkan dengan pembaca. Untuk memahaminya harus dilihat bahwa pendekatan terhadap pengarang merupakan pemahaman atas ekspresi kesenimannya, karya sastra mengacu pada objektivitas karya, dan pembaca mengacu pada pragmatisme.
Mengapa harus psikologi sastra? Ada pendapat yang menyatakan bahwa “kejeniusan” pengarang sastra selalu mendapatkan sorotan, menjadi bahan perbincangan dan studi, bahkan menjadi suatu gambaran pribadi tersendiri. Sejak zaman Yunani, kejeniusan pujangga atau pengarang sastra dianggap sebagai sebuah “kegilaan” atau “madness” baik dari tingkat neurotic sampai pada psikosis.
Penyair dianggap sebagai seorang yang “kesurupan” atau “possessed” yang berbeda antara orang yang satu dengan orang yang lain. Dunia bawah sadar seorang pengarang yang disampaikan melalui media karya sastra dianggap sebagai hal yang berada di bawah tingkat rasional atau supra rasional. Ia mampu meloncat-loncat di antara ruang dan waktu dan mampu menembus batas-batas factual dan rasional.
Ada pandangan lain bahwa gangguan emosi dan kompensasi membedakan seniman, sastrawan, ilmuwan, dan filosof. Meskipun tidak dapat diterima sebagai sebuah kepastian kebenaran, namun yang jelas seorang pengarang menuliskan kegelisahan dan menganggap kekurangan serta kesengsaraannya sebagai tema-tema karya sastranya.
Apakah seorang pengarang karya sastra mengalami gangguan emosi? Apakah gangguan emosi pengarang ini justru memacu serta membangkitkan motivasi serta pemunculan tema-tema karya sastranya? Batasan antara motivasi dan neurotic tentunya menjadi bahan diskusi yang menarik karena kalau sekedar motivasi, tentunya dialami pula oleh orang lain yang bukan pengarang, sedangkan kalau neurotic, bagaimana karya tersebut dapat sampai pada pemahaman pembaca?
Tokoh-tokoh psikologi yang diperhitungkan dalam psikolgi sastra adalah Sigmund Freud, Jung, Frank, Horney, Fromm, dan Kardiner, yang dalam perkembangannya akan dikoreksi oleh teori marxisme dan teori-teori antropologi.
Post a Comment
Post a Comment