Naskah Drama 'KEMERDEKAAN'

Post a Comment
Oleh:
PUTU WIJAYA


(LEMBAH ITU DIKELILINGI BUKIT BATU YANG TERJAL, BULAN MENGGANTUNG PADA AWAN HITAM YANG BERARAK PELAN. DUA ORANG LELAKI YANG TUA DAN YANG MUDA BERADA DALAM KESIAPAN YANG PENUH MENUNGGU SESUATU. TETAPI SETELAH SEKIAN LAMA DITUNGGU SESUATU ITU TIDAK JUGA DATANG. BAHKAN MUNGKIN TIDAK AKAN DATANG SAMA SEKALI. YANG MUDA MENARIK NAFAS PANJANG, YANG TUA BERJALAN MONDAR MANDIR MELEPASKAN KEGELISAHAN)

YANG TUA   :  Lama sekali kita terkurung di sini. Di sana di puncak bukit dan di mulut lembah, mereka dengan senjata siap ditangan menunggu kita keluar dari sini. Rasanya aku menjadi lebih tua sebelum waktunya.

YANG MUDA  : Bertahun-tahun kita telah mengalami keadaan seperti ini. tapi kenapa kau tiba-tiba jadi pengecut? Bukankah kau dulu selalu mengajarkan keberanian kepadaku?

YANG TUA   :  Terlalu banyak yang kita pikul. Dan teman-teman yang menyelusup kepungan musuh tak seorangpun yang kembali. Kematian mengelilingi kita, sehingga kita sulit membedakan apakah kita masih dapat dikatakan hidup.

YANG MUDA  : Kalau mati yang kita persoalankan, siapa yang tidak takut kepadanya? Tapi bagaimana kita dapat membiarkan mereka memaksakan kehendaknya? Memaksa kita tetap berada di bawah kekuasaannya?

YANG TUA   :  Dibanding dengan keadaan kita di sini, hal semacam itu tidaklah merugikan.

YANG MUDA  : Siapapun juga akan memberikan perlawanan apabila sesuatu dipaksakan kepadanya. Dan lagi mereka ingin merubah apa yang telah menjadi cita-cita kita selama ini.

YANG TUA   :  Dengan mengadu kekuatan terus menerus, apakah dapat dicapai suatu penyelesaian?

YANG MUDA  : Sebagaimana salah satu cara.

YANG TUA   :  Sementara darah teman-teman kita membasahi lembah, kampung dan sungai. Kita ingin mengalahkan mereka, tapi tanpa perhitungan.

YANG MUDA  : Dalam keadaan seperti sekarang, pikiran semacam itu bukanlah semacam pikiran yang waras.

YANG TUA   :  Tapi bagaimana kau dapat membunuh mereka? Ujung-ujung perbukitan telah mereka pagari dengan senjata siap menyebarkan maut. Sebaliknya mungkin kita yang akan terbunuh seperti halnya teman-teman lain, bila kita keluar dari tempat ini.

YANG MUDA  : Di sini kita terkurung, tapi di balik perbukitan itu teman-teman kita yang lain mengurung mereka.

YANG TUA   :  Di balik itu lagi, teman-teman merekapun mengurung teman-teman kita.

YANG MUDA  : Dan di balik itu lagi, teman-teman kitapun mengurung teman-teman mereka. Seperti bukit barisan, teman-teman kita berlapis-lapis mengurung mereka dalam keinginan yang sama, cita-cita yang sama untuk memperoleh kemerdekaan.

YANG TUA   :  Dan tidak akan berakhir pertumpahan darah sampai nanti, sampai aku bertambah tua. Tidak ada lagi waktu untuk tidur bersama istri atau minum kopi di warung-warung sambil bercanda. Aku ingin sesaat dapat istirahat, atau menghindar dari keadaan sulit seperti ini.

YANG MUDA  :       Itu artinya menyerah. Apa kau mau menyerah, sebelum perjuangan ini selesai?

YANG TUA   :  Apa kau tahu, kapan perjuangan ini selesai?

YANG MUDA  : Pasti ada waktu untuk suatu kemerdekaan.

YANG TUA   :  Tapi bagaimana dengan keadaan kita sekarang? Bagaimana mengimbangi kekuatan mereka dengan tenaga kita yang ada? Bila kekuatan tidak seimbang, kemerdekaan yang kita perjuangkan itu tidak akan berhasil. Saat ini, persoalan kemerdekaan ditentukan oleh kekuatan. Ah, aku tidak tahu berapa lama lagi keadaan seperti ini bisa berakhir. Aku tidak tahu berapa sudah jumlah teman-teman kita yang telah tersungkur kebumi di mulut lembah itu. Aku tidak tahu lagi bagaimana bentuknya sebuah pasukan, yang selama ini dibanggakan, diandalkan sebagai suatu kekuatan. Segala apa yang telah dikatakan pemimpin kita, telah kita lakukan. Berjuanglah sampai titik terakhir. Tapi keadaan seperti sekarang belum juga jelas bagaimana akhirnya, sementara aku sudah merasa dekat dengan titik terakhirku. Saat ini aku ingin kedamaian sebuah kampung yang penduduknya hidup tanpa dihantui rasa takut.

YANG MUDA  : Bagiamana kau dapat memperjuangkan kemerdekaan, sementara kau tidak dapat memerdekakan dirimu sendiri dari kesangsian? Ya, ya, barangkali sudah waktumu istirahat.

YANG TUA   :  Apa artinya istirahat dalam beribu ketakutan.

YANG MUDA  : Berbagai akibat memang harus kita pikul karena perjuangan belum selesai.

YANG TUA   :  Tapi apa yang dapat dilakukan di tempat ini? dapatkah kita begitu saja menanggung penderitaan begini? Kita terkurung dalam sebuah lembah yang dipagari bukit batu. Sementara bertatih-tatih di sela-sela ujung peluru mereka, kita tidak tahu apa yang sebenarnya kemerdekaan yang diperjuangkan itu.

YANG MUDA  : Bagaimanapun, sejak dulu kita telah sepakat memperjuangkan kemerdekaan negeri ini, kau dan aku ingin lepas dari tekanan dan ketakutan.

(DARI ARAH MULUT LEMBAH TERDENGAR LAGU KEMERDEKAAN BERKUMANDANG)

YANG TUA   :  Dengar! Lihat sana!            (MENGGOSOK MATANYA BEBERAPA KALI. BEBERAPA KALI KARENA TIDAK PERCAYA PADA PENGLIHATANNYA) Ya, Tuhan. Di bawah purnama anak-anak muda itu menari dan menyanyikan lagu kemerdekaan dengan penuh khidmat. O, mereka berbimbingan tangan. Wah, wah… mereka terpekur mengingat nama Pahlawannya. Ya ampun, mereka berpidato. Berapi-api. Ayo kesana!

YANG MUDA  : Jangan kesana. Jangan!

YANG TUA   :  Apa aku tidak boleh merayakannya bersama mereka?

YANG MUDA  : Yang kau lihat bukanlah kemerdekaan.

YANG TUA   :  Aku tahu apa yang berada di depanku.

YANG MUDA  : Yang berada di depanmu adalah kegelapan mulut lembah.

YANG TUA   :  Tidak. (NYANYIAN TERDENGAR LAGI) Pasti kemerdekaan. Nah kan, jelas sekali kalimatnya. (IA MENGIKUTI NYANYIAN PENUH PERASAAN) Ayo cepat kita kesana, ayolah! Kita jangan sampai terlambat menyanyikannya.

YANG MUDA  : Jangan kataku, jangan! Itu hanya keinginanmu saja.

YANG TUA   :  Semua itu kenyataan, ayolah!

YANG MUDA  : Sampai di sana nanti kau akan kecewa. Kemerdekaan yang kau lihat hanya fatamorgana. Cahaya bulan yang memantul di batu-batu karang, kemudian dihembus angin malam bersama ketakutan masa depanmu.

YANG TUA   :  Pikiran semacam itu nanti saja kau kemukakan setelah kita sampai di sana.

YANG MUDA  : Kenapa pikiranku dibekukan untuk memenuhi keinginanmu?

YANG TUA   :  Semua pikiran harus diarahkan pada kemerdekaan.

YANG MUDA  : Selain keinginan, pikiran juga diperlukan.

YANG TUA   :  Kau harus memaklumi keadaanku. Aku akan ikut menyanyikan lagu kemerdekaan itu bersama teman-teman di sana.

YANG MUDA  : Mulut lembah itu adalah mulut maut.

YANG TUA   :  Tidak. Mulut lembah itu adalah kemerdekaan.

YANG MUDA  : Kau akan mengalami nasib yang sama dengan teman-teman yang lain.

YANG TUA   :  Tidak. Mereka tidak akan kembali karena mereka telah berada dalam kemerdekaan. Lihatlah itu, itu. Mereka berbimbingan tangan dengan wanita-wanita cantik menari dan menari, menyanyi dan menyanyi. Bagaimana? Kau akan tetap bertahan di sini?

YANG MUDA  : Ya!

YANG TUA   :  Tetaplah di sini, aku akan pergi.

YANG MUDA  : Sayang sekali. Yang kau lihat itu tidak lebih hanyalah keinginanmu saja. Tapi, ya benar juga. Siapa yang tidak ingin kemerdekaan. Siapa yang tahan terhadap tekanan, ketakutan, dan kesangsian di lembah ini. tapi percayalah, kau tidak akan menemukan apa-apa di sana.

YANG TUA   :  Ah, kau seperti tahu pasti dimana kemerdekaan itu.

YANG MUDA  : Kenapa tidak. Kalau tidak, aku tidak akan mau bertahan di lembah ini.

YANG TUA   :  Dimana kemerdekaan itu?

YANG MUDA  : Pada suatu tempat, tapi bukan di mulut lembah itu.

YANG TUA   :  Baik, dapatkan kita bahagia seperti mereka?

YANG MUDA  : Kenapa tidak. Kemerdekaan adalah gerbang kemakmuran. Buah-buahan berlimpah, makanan enak-enak dan banyak rumah berukir emas dan tembaga. Tangganya berhias beludru merah muda. Pintu dan jendela terbuat dari kayu cendana, menyebarkan semerbak wewangian. Kita tidur seenak-enaknya dan istri kita datang membawakan bantal dan selimut tebal. Kampung-kampung tersusun rapi, jalan-jalan licin seperti kaca. Sungai mengalir menyusuri kampung. Sejuk airnya dan tak ada buaya. Bila daun-daun ditiup angin, gesekannya laksana nyanyian yang tiada tandingan. (YANG TUA TERTAWA MENGEJEK) Apakah perlu kau tertawa, tidak ada yang lucu?

YANG TUA   :  Bukankah yang kau maksudkan itu hanyalah harapan?

YANG MUDA  : Harapan itulah membuat aku bertahan.

YANG TUA   :  Baiklah, harapan. Nah, berapa lama kita di sana?

YANG MUDA  : Selamanya. Tak ada waktu di sana.

YANG TUA   :  Tentu kita tidak bisa jadi tua.

YANG MUDA  : Kemerdekaan selalu muda.

YANG TUA   :  Dapatkah kita kawin di sana?

YANG MUDA  : Kemerdekaan akan memberikan hak kepada kita untuk kawin. Kita boleh pilih mana yang suka.

YANG TUA   :  Dan dapatkah kita mempunyai anak?

YANG MUDA  : Dua, tiga, lima, sepuluh, seratus bahkan sesanggup istri kita.

YANG TUA   :  Karenanya kau tidak mau menembus kepungan musuh.

YANG MUDA  : Kita tidak boleh mati. Kemerdekaan adalah imbalan yang kita terima dari penderita yang kita derita selama ini.

YANG TUA   :  Apakah mungkin kita mendapatkan kemerdekaan seperti yang kau harapkan itu?

YANG MUDA  : Makanya kita harus berjuang.

YANG TUA   :  Sampai akhirnya kita mati dikurung harapan itu?

YANG MUDA  : Justru kita harus selamat dan dapat keluar dari lembah ini.

YANG TUA   :  Tapi kita bertahun-tahun berada di sini.

YANG MUDA  :       Mereka tidak akan sanggup selamanya mengurung keinginan kita untuk merdeka.

YANG TUA   :  Sayang harapanmu tidak dapat menentramkan kegelisahanmu. Tetaplah kau di sini bersama harapan dan aku akan pergi pada kemerdekaanku.

YANG MUDA  : Kemerdekaan? Di mulut lembah itu? Itu hanya keinginanmu! Berapa kali harus kukatakan? Menjijikan. Seorang tua yang berjuang sudah sekian lama, tiba-tiba dihantui ketakutan.

YANG TUA   :  Kenapa kau keberatan bila aku pergi untuk memenuhi keinginanku? Kemerdekaan yang jelas berada di depan mataku.

YANG MUDA  : Di sana mulut maut! Kemerdekaan bukanlah untuk mati.

YANG TUA   :  Kenapa kau tidak mau memerdekakan diriku untuk memilih?

YANG MUDA  : Aku tidak rela bila kau memilih untuk mati. Satupun tidak dapat dicapai dengan kenekatan.

YANG TUA   :  Mungkin kau takut sekiranya aku aku mati. Tentu kau akan tinggal sendiri dan tidak dapat lagi membedakan apakah kau terkepung untuk berjuang atau untuk kemerdekaan. Benar juga, apa artinya merdeka kalau tidak ada orang lain seperti kita.

YANG MUDA  : Cukup! Di sini kita berjuang. Bila kesana kita akan mati konyol.

YANG TUA   :  Bukankah aku pergi kesana untuk kemerdekaan?

YANG MUDA  : Jangan katakan, jangan. Sekarang kita terkurung. Kau harus sadari hal itu. (NYANYIAN KEMERDEKAAN ITU TERDENGAR LAGI)

YANG TUA   :  Indahnya. Kau dengarkan? Lihat kesana? Lihat! Mereka berbaris-baris. Berpakaian seragam. Senjata di tangan. Wah, wah, wah… lihat kesana lagi. Mereka makan semeja. Lauk pauk yang banyak. Yah, mereka membelah tumpeng. Aduh nikmatnya. Ayo kita kesana. Ayo!

YANG MUDA  : Jangan, jangan. (YANG TUA MENGIKUTI NYANYIAN ITU PENUH SEMANGAT) Cukup! Jangan teruskan. (YANG MUDA MEMUKUL YANG TUA SAMPAI REBAH) Lebih baik kau mati di sini, daripada mati konyol di mulut lembah itu.

YANG TUA   :  (MENCABUT PISTOLNYA) Terpaksa kugunakan senjata ini.

YANG MUDA  :       Bukankah kau telah berjanji sendiri, akan mempergunakan satu-satunya peluru itu untuk musuh.

YANG TUA   :  Tapi kau menghalangi keinginanku. Mencegah aku pergi kesana untuk merayakan kemerdekaan. Kini terpaksa aku memilih lain.

YANG MUDA  : Untuk sebuah keinginan kau gunakan senjatamu?

YANG TUA   :  Tapi untuk sebuah harapan kau gunakan tenagamu untuk mencegah aku memenuhi keinginanku.

YANG MUDA  : Jangan gunakan senjata itu. Kumohon. Bila terdengar tembakan dari sini, mereka pasti akan menyerang kita.

YANG TUA   :  Dan jangan cegah aku pergi kesana.

YANG MUDA  : Percayalah! Di sana hanya mulut lembah.

YANG TUA   :  Bagaimana aku percaya, sementara aku mendengar dan melihat mereka merayakan kemerdekaan. Dengar lagi! Dengar!

YANG MUDA  : Cukup! Cukup!

YANG TUA   :  Merdeka atau……

YANG MUDA  : Dia telah menemukan kemerdekaanya.

 

 BLACK OUT. SELESAI.

Postingan Terkait

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter