OLEH:
Putu Wijaya
SEBUAH BANGKU. BEBERAPA ORANG TUA
DUDUK-DUDUK DIBANGKU ITU BERJEMUR SEPERTI MENUNGGU GILIRANNYA UNTUK MATI.
KEDEKAT ORANG–ORANG ITU, MUNCUL SESEORANG MEMEGANG BUNTALAN PANJANG. IA
MEMPERHATIKAN ORANG-ORANG TUA ITU. ORANG-ORANG TUA ITU MENYISIHKAN SEDIKIT
TEMPAT. ORANG ITU LALU DUDUK. IA MELETAKKAN DI PANGGKUANNYA BARANG YANG
TERBALUT KORAN ITU. IA NAMPAK SAKIT-SAKITAN TAPI SEDANG BERSIAP UNTUK
MELAKSANKAN TUGASNYA. KEMUDIAN IA MULAI BICARA KEPADA ORANG-ORANG TUA ITU,
SEAKAN – AKAN ITU SUDAH SERING DILAKUKANNYA. ORANG –ORANG TUA ITU MULA-MULA
ACUH TAK ACUH DAN DINGIN TETAPI LAMA-LAMA PENUH PERHATIAN MENDENGARKAN.
Seperti setiap orang miskin yang lain aku
punya cita-cita. Seperti yang dianjurkan oleh Bung Karno, aku gantungkan
cita-cita setinggi langit. Aku panggil dalam mimpi. Aku gunjingkan setiap kali.
Kemudian aku kejar. Aku kejar sampai babak-belur, jatuh bangun, nafasku sering
tercekik. Tapi apa lacur, tanganku tidak memegang apa-apa. Bahkan menyentunya
pun tak sempat.
Seperti kebanyakan orang lemah yang
lain, aku bingung ketika sampai dipinggir kali besar yang deras dan terjal,
karena tak ada jembatan. Apa daya tidak ada alat penyeberangan. Sementara aku
tak punya keberanian untuk meloncat untung-untungan karena tenagaku terbatas, aku
tidak percaya aku mampu sebab aku tidak bisa berenang.
Seperti puluhan juta orang lain yang
gagal, aku membuat keputusan yang tidak aku sukai. Aku angkat tangan dan
melambai kepada cita-cita yang tak mampu aku wujudkan itu. Air mataku lepas
dari kelopak sambung-menyambung seperti kerikil. Kakiku luka-luka. Di dalam
bathinku ada borok yang membuat aku amat malu.
Seperti orang-orang kalah yang lain,
aku berbalik. Pulang kembali kerumah tapi dirumah rasanya amat kosong, miskin
dan hina. Setiap kali mata aku tutupkan, hatiku hancur. Hidup sudah berakhir,
tapi aku mesti melanjutkannya. Dalam keadaan yang tak berdaya itu, aku jadi
menyerah. Pasrah karena tidak ada lagi jalan lain. seperti sepotong pecahan
kayu aku ikuti aliran sungai yang membawaku ke tepi laut.
Aku membunuh cita-citaku lalu menjadi
satpam dalam pabrik-pabrik milik seorang bangsat besar. Gajiku besar. Setiap
hari aku memakai pakaian seragam. Membawa tugas-tugas yang tidak boleh
dipertanyakan. Melaksanakan seluruh kebijaksanaan yang sudah digariskan.
Menjadi seekor anjing pengawal yang harus menggonggong apa saja yang
merongrong. Dan memegang sebuah senjata, untuk mengamankan seeluruh tugas-tugas
tersebut. Aku diperintahkan menembak, membunuh sungguh-sungguh bukan sekedar
menakut-nakuti.
Ketika anakku lahir, cita-cita yang
sudah aku kubur itu kembali lagi. Kata orang, anak menjadi perpanjangan usia
kita. Dengan anak, kita memiliki sebuah galah, untuk menjangkau buah ranum.
Dengan anak ditangan aku tumbuh lagi. Nyawaku ditarik untuk melindungi, membesarkannya
dan menjadikannya manusia berguna. Cita-cita yang menggoda kembali itu tidak
kubiarkan menjamahku. Aku persilahkan dia datang untuk anakku. Anak itu aku
persiapkan baik-baik. Makanannya diatur. Pendidikannya diluruskan.
Lingkungannya diperbaiki. Masa depannya dipersiapkan. Tidak sebagaimana orang
tuaku dulu, yang tidak membantu mempersiapkanku mencapai cita-cita karena tidak
mampu. Aku latih anakku, bukan saja untuk menggantunngkan cita-citanya lebih
tinggi dari langit, teapi juga untuk meloncat, menerkam dan merebut cita-cita
itu. Ia harus garang melompati sungai yang tak berhasil kusebrangi. Dia harus
menjadi manusia yang sukses
Aku tuturkan kepadanya dongeng –dongeng
kejayaan orang besar. Baaimana Hannibal menaklukkan pucak Alpen. Bagaimana gajah
mada mempersatukan nusantara. Bagaimana Oom Lim Sioe Liong bisa berhasil
menjadi orang kaya raya. Bagaimana pak habibie menjadi orang terkemuka dengan
puluhan jabatan. Bagaimana pak Harmoko menjabat menteri penerangan sampai tiga
kali sekaligus merangkap ketua umum Golkar.
Tapi tidak hanya itu. Aku juga
berterus-terang menceritakan kegagalan-kegagalanku sendiri. Kenapa aku sampai
tumbang, padahal cita-cita sudah tergantung begitu tinggi.
Setiap hari aku ajarkan kepadanya bahwa
kerja, kerja, kerja adalah nomor satu. Bahwa belajar, belajar, belajar, juga
nomor satu. Semua yang bagus-bagus nomor satu. Meskipun nasib juga nomor satu.
Anak itu tidak boleh bernasib seperti aku, bapaknya. Dia harus menembus nasib.
Dia harus melesat meninggalkan rumah kami yang kumuh dan hina. Dia harus
menjadi seorang pahlawan.
Setiap malam kalau sudah sepi dan anak
itu tidur pulas, aku dan istriku memandanginya dengan takjub. Memang benar,
anak itu adalah harta karun. Ia telah membuat aku bersemangat lagi bekerja
meskipun usia sudah menjadi manula. Dia seperti matahari di dalam rumah kami.
Barangkali sebenarnya anak itu tidak
terlalu bodoh. Tidak terlalu ringkih, seperti aku, bapaknya. Ia mungkin hanya
tidak sanggup untuk menanggung semua mimpi-mimpi yang terlalu besar itu untuk
menjadi kenyataan. Karena ia sendiri memiliki mimpi. Dan mungkin sekali
mimpinya itu amat berbeda bahkan bertentangan dengan mimpiku. Aku tidak tahu,
sebab aku tidak pernah menanyakannya. Ia juga tidak pernah mengatakannya. Ia
hanya memandang kepada aku, dengan mata kosong, acuh-tak acuh dan mungkin
sekali benci atau jijik.
Ketika ia rontok dari sekolah,
seharusnya aku mulai sadar bahwa ia bukan seorang pahlawan. Tetapi waktu itu,
aku lebih banyak menyalahkan guru. Aku anggap bukan anak itu yang bodoh, tetapi
gurunya yang malas. Sistem pendidikannya yang buruk sehingga sehingga membuat
seorang jenius sudah mati kutu. Lalu aku datangi sekolah itu. Guru-gurunya aku
sumpahi habis-habisan. Demi keselamatan anakku, aku cabut dia dari sekolah itu
lalu aku didik sendiri di rumah.
Tetapi apa yang terjadi kemudian,
payah. Jabatanku yang terus bertambah, tanggungjawabku yang makin njelimet,
waktuku yang selalu habis dalam tugas, membuatku juga jadi orang yang tidak
mampu. Meskipun aku bisa membebaskan anak itu dari sekolah, aku tidak berhasil
mengisinya dengan pengetahuan. Aku terlalu sibuk. Akhirnya anak itu dididik
oleh lingkungannya. Oleh kawan-kawanya sendiri.
Aku masih ingat sekali, seperti baru
kemaren sore, pada suatu pagi, aku dijemput ke tempat pekerjaan oleh istriku.
Ia menangis tersedu-sedu. Lalu melaporkan bahwa anak itu, sudah menjadi haram
jadah. Ia berguru kepada bandit-bandit mantan penghuni penjara Nusa Kambangan.
Ia menjadi bandit bandar obat terlarang. Tak segan-segan merampok, membunuh,
dan memperkosa.
Aku langsung diam disarangnya. Aku
menceritakan kepadanya bahwa tidak semua pekerjaan adalah pekerjaan, pekerjaan
yang membawa keruntuhan moral, kebejatan akhlak, dan kematian orang lain,
adalah kejahatan. Dan semua bentuk kejahatan bukanlah pekerjaan, tetapi dosa.
Anak itu hanya tertawa. Ia sudah sakit.
Jiwanya sudah terganggu. Semakin diberi nasihat, ia semakin sesat.
Aku marah lagi kepada guru-guru. Kepada
sekolah yang sudah tak berhasil mendidik anakku. Aku datangi sekolah itu dan
menunjukan kepada semua orang, bahwa itulah akibat dari satu sistem pendidikan
yang ngawur. Meskipun diam-diam didalam hati, aku membantah sendiri apa yang
sudah aku katakan. Karena seandainya aku tidak memasukan anakku kesekolah itu,
mungkin ia sudah lebih awal bejat.
Aku frustasi. Kini anakku bukan lagi
harapan, tetapi hukuman. Aku sudah dikhianati oleh cita-citaku sendiri. Aku
dimakan dari dalam sedikit demi sedikit. Aku tidak boleh membiarkan semua itu.
Aku tidak boleh melepaskan cita-cita yang tiba-tiba menghampiri sendiri setelah
lenyap. Aku tidak boleh membiarkan anak itu menjadi kecoa, karena aku bapaknya.
Sebagai orang tua aku bertanggungjawab untuk menjadikannya pahlawan. Aku harus
menjadi juru selamatnya.
Aku ingin kamu menjadi orang bukan
binatang. Jadilah sekali ini saja seorang yang bisa kubanggakan dalam hidupku.
Sesudah itu, terserah apa yang ingin kamu lakukan, karena hidupmu adalah
milikmu. Aku tidak minta kamu kembali kesekolah. Aku tidak minta kamu pergi ke
psikiater lagi. Aku tidak akan minta kamu menuruti semua kata pak guru. Aku
hanya minta besok, kamu datang kedepan pabrik tempat untuk kerja. Berdiri
didepan kantor bersama buruh-buruh yang lain. besok akan terjadi sebuah
demonstrasi besar-besaran, untuk menentang upah dibawah upah minimum yang
selama ini sudah dipraktekan perusahaan.
Datanglah kesana. Ikutlah bersorak
bersama orang-orang itu, untuk menuntut kebijaksanaan baru. Teriakan apa saja
yang mereka teriakan, walaupun kamu tidak mengerti. Serukan keadialan
bersama-sama mereka disitu, lebih keras dari mereka, walaupun kamu tidak tahu
apa itu keadilan. Tunjukan kepada orang lain, bahwa kamu itu berguna. Kamu
mampu menentang bapakmu. Sekali ini saja supaya aku bangga.
Esok paginya ia muncul bersama-sama
orang-orang yang berdemonstrasi untuk menegakan hak-hak azasi itu. Sebenarnya
bukan untuk memenuhi permintaanku, tetapi justru untuk menghinaku. Aku lihat
dari jendela pabrik, ia berdiri didekat tukang rokok tersenyum dan
tertawa-tawa. Ditangannya lintingan ganja yang berkali-kali disedotnya dengan
nikmat. Aku yakin ia sudah dalam keadaan teler berat. Sementara disekitarnya
para buruh pabrik yang sedang memperjuangkan hidup matinya dengan beringas
mengangkat tangan dan menyerukan yel-yel yang memaki-maki kesewenang-wenangan
perusahaan dan pemilik pabrik yang sudah menginjak-injak nasib mereka puluhan
tahun. Dengan garang mereka menentang para petugas yang menghadang dengan
senjata terhunus. Sekali-sekali anakku mengangkat tangan dan meneriakan
kata-kata kotor.
TERDENGAR SORAK SORAI ORANG-ORANG YANG
BERDEMONSTRASI. GEGAP GEMPITA DENGAN YEL-YEL YANG DAHSYAT.
LELAKI TUA ITU MENUNGGU SAMPAI KERAS
BENAR. KEMUDIAN PERLAHAN-LAHAN IA MEMBUKA BUNGKUSAN YANG DIBAWANYA. TERNYATA
SEBUAH SENAPAN. IA MEMASUKAN PELURU KEMUDIAN MEMANDANG. SKALI LAGI BERDOA.
Ya Tuhan, aku minta ampun kepadamu
Tuhan. Aku lakukan semua ini untuk kebaikannya. Aku terima seluruh dosa-dosaku
untuk semua ini. Tetapi izinkanlah aku menjadikan anak itu seorang pahlawan.
YEL ITU SEMAKIN GEGAP GEMPITA. KEMUDIAN
IA MEMBIDIK. SETELAH TEPAT BENAR IA MELEPASKAN TEMBAKAN. DOR. MENDADAK SEMUANYA
SEPI. IA MEMBUNGKUS SENJATANYA LAGI, LALU BERDIRI. SEMUA BENGONG MENATAPNYA. IA
MENARIK NAFAS. SEBELUM PERGI, IA BERBISIK.
Tembakan itu luput, melempas membunuh
tukang rokok. Karena itu aku tidak berhasil menjadi pahlawan seperti yang
diharapkannya.
ORANG ITU PERGI. ORANG-ORANG TUA TIU
MENOLAH SATU SAMA LAIN, SEPERTI MENCOCOKAN PERASAANNYA, TETAPI TIDAK MENGATAKAN
APA-APA, KEMUDIAN MEREKA MEMPERHATIKAN ORANG ITU MENJAUH. DIANTARANYA ADA YANG
MELAMBAI. ADA JUGA YANG MENANGIS, SEAKAN-AKAN BERCERITA TETNTANG USAHANYA YANG
GAGAL.
Jakarta, 17-7-1995
Post a Comment
Post a Comment