Saudara-saudara
yang baik hati, suatu ketika saya melihat beberapa orang siswa asyik berjalan
di depan sebuah kelas dengan langkahnya yang cukup membuat orang di sekitarnya
merasa bising. Terdengar percakapan di antara mereka yang kira-kira begini,
“Punya gua kemarin hilang.” Terdengar
pula sahutan salah seorang mereka, “Lho,
kalau punya gua, sama elu kemanain?” Tak menyangka, salah
seorang siswa di samping saya juga memperhatikan percakapan mereka. Ia kemudian
nyeletuk, “Gua apa: Gua Selarong atau Gua Jepang?” Beberapa siswa yang
mendengarnya tertawa kecil. Di antara mereka ada yang berbisik, “Serasa di Terminal
Kampung Rambutan, ye…?”
Peristiwa
tersebut menggambarkan bahwa ada dua kelompok siswa yang memiliki sikap
berbahasa yang berbeda di sekolah tersebut. Kelompok pertama adalah mereka yang
kurang memiliki kepedulian terhadap penggunaan bahasa yang baik dan benar. Hal
ini tampak pada ragam bahasa yang mereka gunakan yang menurut sindiran siswa
kelompok kedua sebagai ragam bahasa Kampung Rambutan. Bahasanya orang-orang
Betawi. Dari komentar-komentarnya, kelompok siswa kedua memiliki sikap kritis
terhadap kaidah penggunaan bahasa temannya. Mereka mengetahui makna gua yang benar dalam bahasa Indonesia
adalah ‘lubang besar pada kaki gunung’. Dengan makna tersebut, kata gua seharusnya ditujukan untuk
penyebutan nama tempat, seperti Gua
Selarong, Gua Jepang, Gua Pamijahan, dan seterusnya; dan bukannya pengganti
orang (persona).
Sangat
beruntung, sekolah saya itu masih memiliki kelompok siswa yang perduli terhadap
penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Padahal kebanyakan sekolah,
penggunaan bahasa para siswanya cenderung lebih tidak terkontrol. Yang dominan
adalah ragam bahasa pasar atau bahasa gaul. Yang banyak terdengar adalah
pilihan kata seperti elu-gua.
Bapak-bapak
dan Ibu-ibu, prasangka baik saya waktu itu bukannya mereka tidak memahami akan
perlunya ketertiban berbahasa di lingkungan sekolah. Saya berkeyakinan bahwa
doktrin tentang “berbahasa Indonesialah dengan baik dan benar” telah mereka
peroleh jauh-jauh sebelumnya, sejak SMP atau sejak mereka SD. Saya melihat
ketidakberesan mereka berbahasa, antara lain, disebabkan oleh kekurangwibawaan
bahasa Indonesia itu sendiri di mata mereka.
Ragam
bahasa Indonesia ragam baku mereka anggap kurang “asyik” dibandingkan dengan
bahasa gaul, lebih-lebih dengan bahasa asing, baik itu dalam pergaulan ataupun
ketika mereka sudah masuk dunia kerja. Tuntutan kehidupan modern telah
membelokkan apresiasi para siswa itu terhadap bahasanya sendiri. Bahasa asing
berkesan lebih bergengsi. Pelajaran bahasa Indonesia tak jarang ditanggapi
dengan sikap sinis. Mereka merasa lebih asyik dengan mengikuti pelajaran bahasa
Inggris atau mata kuliah lainnya.
Dalam
kehidupan masyarakat umum pun, kinerja bahasa Indonesia memang menunjukkan
kondisi yang semakin tidak menggembirakan. Setelah Badan Bahasa tidak lagi
menunjukkan peran aktifnya, bahasa Indonesia menunjukkan perkembangan ironis.
Bahasa Indonesia digunakan seenaknya sendiri; tidak hanya oleh kalangan
terpelajar, tetapi juga oleh para pejabat dan wakil rakyat.
Seorang
pejabat negara berkata dalam sebuah wawancara televisi, “Content undang-undang tersebut nggak
begitu, kok. Ada dua item yang harus kita perhatikan di dalamnya.” Pejabat
tersebut tampaknya merasa dirinya lebih hebat dengan menggunakan kata content daripada kata isi atau kata item
daripada kata bagian atau hal.
Penggunaan
bahasa yang acak-acakan juga banyak dipelopori oleh kalangan pebisnis. Badan
usaha, pemilik toko, dan pemasang iklan kian pandai menggunakan bahasa asing.
Seorang pengusaha salon lebih merasa bergaya dengan nama usahanya yang berlabel
Susi Salon daripada Salon Susi atau pengusaha kue lebih
percaya diri dengan tokonya yang bernama Lutfita
Cake daripada Toko Kue Lutfita.
Akan terasa aneh terdengarnya apabila kemudian PT Jasa Marga ikut-ikutan
menamai jalan-jalan di Bandung dan di kota-kota lainnya, misalnya, menjadi Sudirman Jalan, Kartini Jalan,
Soekarno-Hatta Jalan.
Hadirin
yang berbahagia, kalangan terpelajar dengan julukan hebatnya sebagai “tulang
punggung negara, harapan masa depan bangsa” seharusnya tidak larut dengan
kebiasaan seperti itu. Para siswa justru harus menunjukkan kelas tersendiri
dalam hal berbahasa. Intensitas para siswa dalam memahami literatur-literatur ilmiah
sesungguhnya merupakan sarana efektif dalam mengakrabi ragam bahasa baku. Dari
literatur-literatur tersebut mereka dapat mencontoh tentang cara berfikir,
berasa, dan berkomunikasi dengan bahasa yang lebih logis dan tertata.
Namun,
lain lagi ceritanya kalau yang dikonsumsi itu berupa majalah hiburan yang penuh
gosip. Forum gaulnya berupa komunitas dugem;
literatur utamanya koran-koran kuning, jadinya ya…, gitu deh…. Ragam bahasa elu-gue, oh-yes… oh-no.... yang bisa jadi
akan lebih banyak mewarnai.
Post a Comment
Post a Comment