Hatiku
teduh. Dia kelihatan tenang. Cuma matanya saja yang terus memandangiku dengan
ganjil. Seakan aku ini siapa, bukan istrinya. Tadi, sambil duduk berdampingan
menjuntaikan kaki di tubir tempat tidur, perlahan kupotongi kuku-kukunya yang panjang,
hitam berdaki. Dari tangan sampai kaki. Gemertak pemotong kuku meningkahi angin
pagi yang deras dan dingin memukuli jendela.
Tanpa
menatapku barang sekejap pun, seperti berbisik pada dedaunan di luar, lagi-lagi
dia mengulangi igauan yang saban pagi, menjelang matahari terbit, diucapkannya
seperti merapal mantra. Atau pesan yang aku tak tahu kepada siapa. “Setengah
jam lagi. Begitu matahari terbit, mereka akan datang membebaskan kita,”
desisnya dengan mata yang tetap saja liar, dan sepertinya aku entah di mana,
tidak berada di seberang bahunya. Siapa yang akan membebaskannya? Aku tak tahu.
Dan aku tak pernah mau bertanya. Tetapi, yang jelas janji akan pembebasan
selepas subuh itulah yang kelihatan membuat penderitaannya lebih dalam.
Aku sama
sekali tak tahu bagaimana awal kesengsaraan yang kini membelenggunya, membuat
dia tidak berada dalam tubuhnya sendiri, sebagaimana dia yang kukenal sejak
lebih setengah abad lalu. Dari seorang wartawan olahraga koran sore yang
terpandang. Yang katanya sering mengintipku dari gerbang Tjandra Naja, dekat
Jakarta Kota, saat aku pulang sekolah naik sepeda. Laki-laki peranakan yang
bermata tidak sesipit mataku, tapi hatinya sungguh lapang. Dan aku merasa
tersanjung, juga bingung, ketika dalam surat pertama yang dia selipkan ke dalam
tasku, memuji betisku setengah mati.
Sekarang,
di tempat tidur ini, dari seorang manusia, kini dia tinggal menjalani sisa
hidup hanya sebagai seonggok daging tak berjiwa. Hampa. Aku tak tahu apa yang
menjadi pencetus penyakitnya ini. Yang membuat matanya terkadang garang.
Teramat garang. Memerah. Seperti hendak pecah. Kalau sudah begini, dia
menghindar dari tatapanku, bagaimanapun manisnya aku tersenyum, dan melemparkan
pandang ke luar jendela. Yang tetap bertahan adalah pernyataan kasih sayangnya
sejak dulu: kalau bangkit dia tak pernah lupa membelai lututku, persis di atas
betis yang katanya membuat dia kesengsem, dulu.
Dari
kawan-kawannya sesama pelarian, yang tak bisa pulang karena paspor mereka
dirampas penguasa baru di tanah yang kutinggalkan, kudengar dia merasa sangat
bersalah. Mengutuki dirinya sebagai seorang ayah yang keji, karena tidak
membesarkan, apalagi menyekolahkan, anak tunggal kami. Tak sekali-dua-kali
kawan-kawannya di Tiongkok, sebelum mereka mendamparkan diri ke Amsterdam sini,
memergokinya sedang membisikkan nama anaknya berulang kali, dan
membentur-benturkan kepalanya ke meja makan. Juga ke tembok. Kawannya sekamar
sering mendengar desis sebuah nama dan gedebuk berulang-ulang di dinding batu
sementara dia masih berada di toilet.
Menurut
cerita kawan-kawannya itu pula, ketika Revolusi Kebudayaan membanjir di seluruh
daratan Tiongkok, dia acapkali termenung, tak percaya akan apa yang dia
saksikan. Dia dengar di seluruh negeri itu seorang manusia sedang dipuja
melebihi dewi Kwan Im. Suatu pagi dia terperanjat. Gemetar melihat puluhan
pemuda dan tentara bertopi segi-lima, syal merah, yang sedang konferensi di
satu hotel bertingkat, semuanya berdiri di beranda hotel di tingkat ke sekian,
menghadap ke timur. Mereka bukannya memuja matahari, melainkan memuliakan sang
penyelamat yang sedang duduk entah di mana. Lewat pengeras suara, mereka
bersenandung, seperti hendak menggelontorkan matahari:
“di langit tiada dewa
di bumi tiada raja
gunung-gunung menyingkirlah
aku datang ...”
Dia bersama
ratusan kawan senasib disingkirkan ke sebuah kota kecil, jauh dari Peking.
Alasannya demi keamanan. Supaya tak jadi sasaran mereka yang datang dengan
senjata “Buku Merah”. Dia merasa benar-benar dikucilkan, disingkirkan, dari
dunia yang wajar. Dilarang keluar dari kompleks perumahan. Dari seorang yang
terlatih menulis, dia menjadi pengangkut kotoran manusia untuk pupuk tanaman.
Perasaannya tambah tertekan. Apalagi muncul perpecahan di kalangan mereka yang
tak bisa pulang ke Tanah Air itu. Ratusan jumlahnya. Mereka bertengkar, seperti
hendak berbunuh-bunuhan, karena beda pilihan keyakinan politik, antara Moskow
dan Peking.
Beberapa
tahun kemudian, aku menerima sepucuk surat. Melihat titimangsanya, surat itu
terlambat empat bulan. Melalui perbatasan sejumlah negara Eropa, diposkan di
Amsterdam. Hanya secarik kertas. Dia membujukku menjual apa saja untuk ongkos
dan bertolak dari Jakarta supaya bisa berjumpa di Macao atau Kanton. Waktu itu,
pekerjaan sebagai tukang jahit dan pembuat kue sudah kutinggalkan. Aku sudah
memiliki beberapa bajaj dan berangan-angan menjadi pengusaha taksi supaya bisa
memilih perguruan yang baik untuk anakku.
Di stasiun
kereta api Kanton aku menjumpainya sedang duduk di sebuah bangku panjang. Duduk
berpangku tangan. Dari rona matanya, sepertinya dia kehilangan sesuatu yang
sangat berharga. Aku memanggil namanya. “Ini aku…,” sapaku. Dia berdiri,
memelukku erat-erat seperti hendak meremukkan tulang rusukku. Orang hilir-mudik
tak dia hiraukan.
Malam
pertama, dia bercerita tentang rencananya berangkat ke Belgia, yang tak lama
lagi akan membuka hubungan diplomatik dengan Tiongkok. Sehingga visa tinggal di
negara itu diperkirakan akan mudah diperoleh. Dari negara itu, katanya, dia
akan melompat ke Belanda, di mana beberapa orang temannya senasib sudah siap
menampung. Aku hanya meletakkan kupingku dengan baik-baik di bahunya.
Mengiyakan apa saja yang dia rencanakan. Malam kedua, ulu hatiku terasa seperti
dia tonjok, ketika dia katakan ada kabar yang sampai ke kupingnya, bahwa aku
sering pergi dengan lelaki. Lantas dia keluarkan sebuah buntalan kecil dari
saku celananya. Dibalut kain putih, di dalamnya segumpal tanah merah yang
kering.
“Ciumlah …
Ini tanah Indonesia. Apa pun yang akan terjadi dia akan mempertautkan kita,”
katanya lamat-lamat seraya memegangi tanganku, merebahkan kepala di bahuku.
Semacam permintaan maaf atas tuduhan yang baru saja dia timpakan padaku.
Katanya, tanah itu dia bawa ketika meninggalkan Jakarta menuju Kairo dan kandas
di Peking.
Tak sampai
lima tahun setelah pertemuan di Kanton itu. Begitulah, kalau tak salah
ingatanku. Bajajku sudah selusin dan taksiku lima. Dengan bantuan pengarahan
dari gereja, aku bisa menyekolahkan anakku di Australia. Dia studi teknologi
informasi, keinginannya satu-satunya.
Setelah
beberapa lama bermukim di Belanda, suamiku berkirim surat. Layaknya pecandu
sepakbola yang ingin lawannya kalah habis-habisan, dia berteriak melalui
baris-baris suratnya: “Juallah semuanya, jangan tinggalkan sepeser pun di
negeri yang dikuasai fasis itu. Terbanglah kemari! Tanahmu. Tanahku, walau
segenggam, menunggu di sini .!”
Tak
terlalu sulit untuk memenuhi keinginannya. Ada orang-orang gereja yang siap
membantu mencarikan pembeli. Juga sanak-saudara, sekalipun mereka harus
mendekatiku dengan hati-hati. Cecunguk di mana-mana. Tiba-tiba, datang lagi
surat dari dia. Singkat. Memerintah: jangan berangkat dulu! Keadaan tidak aman.
Maksudnya apa, aku tak tahu. Tunggu kabar selanjutnya, katanya. Padahal rumah
sudah terjual. Terpaksa aku mengontrak rumah selama setahun. Kabar susulan dari
dia belum juga muncul selama setahun.
Aku
berniat baik, ingin berbuat kebajikan kepada suami yang kucintai. Orang yang
sayangnya pada anakku membuat dia dikungkung ketegangan karena merasa bersalah
tidak ikut membesarkannya. Tetangga, sanak-famili boleh acuh-tak-acuh, karena
takut, namun gereja membukakan pintu untukku. Walau hanya bubungan gereja
kecil. Di situlah aku tinggal sambil menunggu aba-aba keberangkatan yang akan
datang dari daratan impian.
Derita tak
usah berpanjang-panjang. Sementara keteguhan tak boleh padam. Singkat cerita,
aku mendarat di Schiphol. Dia menyambutku di pintu ke luar. Dada sesak oleh
kebahagiaan. Aku dirangkulnya berlama-lama. Lantas mendorong barang bawaanku
menuju kereta api.
Rumahnya
agak di tepi Amsterdam. Masyarakatnya terdiri dari berbagai ras. Orang Suriname
yang paling banyak. Ruang tamunya cukup lega, dua kamar tidur, lengkap dengan
dapur dan kamar mandi yang memadai. Terletak di lantai delapan. Dari
kawan-kawan terdekatnya, terutama peranakan, kuperoleh keterangan bahwa
kesengsaraan, berupa stres yang dia tanggungkan, bertambah buruk. Apa pun aku
akan dan harus menemaninya. Sebagaimana aku harus membesarkan anakku, maka aku
juga harus mendampinginya walau ajal menanti.
Dia sering
merenung. Matanya acapkali menerawang kosong ke luar jendela. Jarang sekali dia
memulai percakapan. Hatiku melambung bahagia ketika anakku liburan dan
mengunjungi kami. Ketika dia masih duduk di sekolah dasar, dengan susah-payah
aku melerai kemarahannya terhadap ayah yang dia tuduh tidak bertanggung jawab,
meninggalkannya. Menyia-nyiakan ibunya. Bersenang-senang di luar negeri sana.
Di meja
makan. Menjelang tidur. Terkadang saat sedang belajar, kalau momennya kena,
kukatakan bahwa ayahnya tidak bersalah. Tak bisa pulang membesarkan dan
menyekolahkannya bukan pilihannya. Susah-payah aku menjelaskan kepadanya, bahwa
ada kekuasaan yang begitu buruk rupanya, sehingga sampai hati memisahkan
seorang anak tunggal dari ayahnya.
Han,
sekarang sudah terbebas dari siksa di masa kecilnya. Selain penjelasan
berulang-ulang yang kusampaikan, dia juga menjadi matang dengan jalan yang dia
temukan sendiri. Terutama oleh dunia yang bisa dia arungi lewat Google.
Bagaimanapun kekuasaan mencoba berbohong dan menutupi kejahatannya terbongkar
juga di dunia maya.
Han
membuat dadaku mongkok. Setelah dewasa, dia berubah dalam bersikap terhadap
papinya. Suamiku yang tetap tumpul. Terkungkung dalam jiwa yang remuk. Setelah
putra tunggal kami itu kembali ke Australia, ketegangan yang dialami suamiku
bukannya mengendur. Bercakap-cakap di taman, di meja makan, di tempat tidur,
dia tak habis-habisnya mengutuk dirinya sendiri. Karena ucapan anaknya yang
masih kecil, bahwa dia bukan seorang ayah yang bertanggung jawab.
“Sudahlah
. Dengarlah baik-baik. Tuduhan anakmu itu ‘kan kau dengar dari kawan-kawamu di
Tiongkok ‘kan? Sama seperti kau juga dengar bahwa aku menjual diri kepada
lelaki lain. Aku tak mempedulikan omong-kosong orang. Kalau kumasukkan ke dalam
hati, aku bisa gila. Dengarlah baik-baik. Selama Han bersama kita di sini, dia
memanggilmu Papi. Papi…! Kau ingat ‘kan? Tidakkah kau bisa menafsirkan
sebutannya padamu itu sebagai tanda permintaan maaf. Bahwa kau adalah ayahnya
yang baik. Bahwa kau tak pulang-pulang bukan lantaran kehendakmu.”
Tapi, dia
cuma membatu. Tak bergetar. Apa yang berkecamuk di dalam hatinya, aku tak tahu.
Matanya tetap nanar menatapku.
***
Hatiku
terasa teduh. Dan dia kelihatan lebih tenang. Cuma matanya yang terus
memandangiku dengan ganjil. Seakan-akan aku bukan istrinya. Sebentar-sebentar dia
melongok ke jendela.
“Sudah
potong kuku. Sudah mandi. Sudah sarapan. Kita tinggal tunggu. Nanti dokter akan
datang,” bujukku. Saya pamit mau membuang sampah, menyiram tanaman di beranda,
mencuci piring, dan merapikan ruang tamu.
Di beranda
aku merawat taman kami yang mungil, sekitar setengah kali dua meter. Di situ
kutanam rose, juga dua pohon pisang, agar Indonesia tidak terlalu jauh dari
kami.
Telepon
berdering. “Saya psikiater yang akan mengunjungi suami Nyonya. Apakah dia
baik-baik saja?” kata yang menelepon.
“Dia baik.
Baik, Dokter,” sahutku.
“Tunggu
ya.”
Aku
membersihkan kamar mandi. Menggosok toilet. Ketika menjinjing vacuum cleaner ke
kamar tidur, aku disentak gordin yang berkibar sejadi-jadinya disapu angin.
Jendela ternganga. Tempat tidur melompong. Aku berteriak memanggilinya. Tak ada
jawaban. Aku lari ke kamar mandi. Dia tak ada di situ. Toilet kosong. Secepat
petir pikiranku terbang. Suara orang yang menelepon, yang mengaku psikiater,
tadi kayaknya mirip suaranya. Kudorongkan kepalaku keluar jendela.
Memanggil-manggil namanya ke samping, ke bawah. “Di mana kau… Di mana…?!”
Kukunci
seluruh ruangan. Cepat aku melangkah ke lift. Kupencet angka nol di panel.
Begitu keluar dari lift, kudengar jeritan ambulans yang merapat di ujung
apartemen. Beberapa orang terlihat mengerubung di sekitar jasad yang ditutup
selimut. Aku tak tahu sekuat apa aku menjerit. Sebesar apa mulutku terkuak
menyerukan namanya: “Ang …! Aaaang …!” Aku terjerembab di sampingnya.
Jari-jemarinya masih mengepal tanah merah berbalut kain putih. Di dekatnya ada
secarik kertas yang berkata: Tanah Air Indonesia. Kalau terjadi apa-apa tolong
hubungi istriku, An Sui. Ini nomor teleponnya. (*)
Martin Aleida, Lahir
1943 di Tanjung Balai, Sumatera Utara, menghabiskan lebih dari lima puluh tahun
usianya di Jakarta, sebagai mahasiswa, wartawan, penulis lepas. Awal 2016,
selama tiga bulan, dengan dukungan sejumlah tokoh, mengadakan riset tentang
kehidupan eksil Indonesia di lima negara Eropa.
Post a Comment
Post a Comment