Puisi
Balada merupakan salah satu jenis puisi baru yang berisi tentang sebuah kisah.
Pengertian dan jenis puisi baru dapat dilihat pada artikel sebelumnya. Puisi
balada ini menggambarkan perilaku seseorang, baik lewat sebuah dialog atau
monolog sehingga menampilkan sebuah gambaran tentang sesuatu hal atau kisah
tertentu.
Di bawah
ini terdapat beberapa contoh puisi balada karya Chairil Anwar.
Balada
Ibu yang dibunuh
Karya:
W.S. Rendra
Ibu musang di lindung pohon tua meliang
Bayinya dua ditinggal mati lakinya.
Bualan sabit terkait malam memberita datangnya
Waktu makan bayi-bayinya mungil sayang.
Matanya berkata pamitan, bertolaklah ia
Dirasukinya dusun-dusun, semak-semak, taruhan
harian atas nyawa.
Burung kolik menyanyikan berita panas dendam
warga desa
Menggetari ujung bulu-bulunya tapi
dikibaskannya juga.
Membubung juga nyanyi kolik sampai mati
tiba-tiba
Oleh lengking pekik yang lebih menggigitkan
pucuk-pucuk daun
Tertangkap musang betina dibunuh esok harinya.
Tiada pulang ia yang mesti rampas rejeki
hariannya
Ibu yang baik, matinya baik, pada bangkainya
gugur pula dedaun tua.
Tiada tahu akan meraplah kolik meratap juga
Dan bayi-bayinya bertanya akan bunda pada
angin tenggara
Lalu satu ketika di pohon tua meliang
Matilah anak-anak musang, mati dua-duanya.
Dan jalannya semua peristiwa
Tanpa dukungan satu dosa, tanpa.
Balada
Terbunuhnya Atmo Karpo
Karya:
WS Rendra
Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi
Bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di
pucuk-pucuk para
Mengepit kuat-kuat lutut menunggang perampok
yang diburu
Surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang
Segenap warga desa mengepung hutan itu
Dalam satu pusaran pulang balik Atmo Karpo
Mengutuki bulan betina dan nasibnya yang
malang
Berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri
Satu demi satu yang maju terhadap darahnya
Penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka.
Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang
papa.
Majulah Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah ia kerna padanya seorang kukandung
dosa.
Anak panah empat arah dan musuh tiga silang
Atmo Karpo tegak, luka tujuh liang.
Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Bedah perutnya tapi masih setan ia
Menggertak kuda, di tiap ayun menungging
kepala
Joko Pandan! Di manakah ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan
Segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
Ridla dada bagi derunya dendam yang tiba.
Pada langkah pertama keduanya sama baja.
Pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
Panas luka-luka, terbuka daging
kelopak-kelopak angsoka.
Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka
Pesta bulan, sorak sorai, anggur darah.
Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
Ia telah membunuh bapaknya.
Balada
Orang-orang Tercinta
Karya:
W.S. Rendra
Kita bergantian menghirup asam
Batuk dan lemas terceruk
Marah dan terbaret-baret
Cinta membuat kita bertahan
dengan secuil redup harapan
Kita berjalan terseok-seok
Mengira lelah akan hilang
di ujung terowongan yang terang
Namun cinta tidak membawa kita
memahami satu sama lain
Kadang kita merasa beruntung
Namun harusnya kita merenung
Akankah kita sampai di altar
Dengan berlari terpatah-patah
Mengapa cinta tak mengajari kita
Untuk berhenti berpura-pura?
Kita meleleh dan tergerus
Serut-serut sinar matahari
Sementara kita sudah lupa
rasanya mengalir bersama kehidupan
Melupakan hal-hal kecil
yang dulu termaafkan
Mengapa kita saling menyembunyikan
Mengapa marah dengan keadaan?
Mengapa lari ketika sesuatu
membengkak jika dibiarkan?
Kita percaya pada cinta
Yang borok dan tak sederhana
Kita tertangkap jatuh terperangkap
Dalam balada orang-orang tercinta
Balada
Pembungkus Tempe
Karya:
W.S. Rendra
Fermentasi asa
Mengharap sempurna
Bentuk utuh nan konyol
Rasa, karsa tempe
Pembungkus yang berjasa
Penuh kisah bertulis duka lara
Dibuang tanpa dibaca
Pembungkus tempe
Bukan plastik tapi kertas usang tak terpakai
Masihkah ada yang membelai sebelum
membuangnya?
Jante
Arkidam
Karya:
Ajip Rosidi
Sepasang mata biji saga
Tajam tangannya lelancip gobang
Berebahan tubuh-tubuh lalang dia tebang
Arkidam, Jante Arkidam
Dinding tembok hanyalah tabir embun
Lunak besi dilengkungkannya
Tubuhnya lolos di tiap liang sinar
Arkidam, Jante Arkidam
Di penjudian di peralatan
Hanyalah satu jagoan
Arkidam, Jante Arkidam
Malam berudara tuba
Jante merajai kegelapan
Disibaknya ruji besi pegadean
Malam berudara lembut
Jante merajai kalangan ronggeng
Ia menari, ia ketawa
'Mantri polisi lihat kemari!
Bakar meja judi dengan uangku sepenuh saku
Wedana jangan ketawa sendiri!
Tangkaplah satu ronggeng berpantat padat
Bersama Jante Arkidam menari
Telah kusibak ruji besi’
Berpandangan wedana dan mantri polisi
Jante, jante Arkidam!
Telah dibongkarnya pegadaean malam tadi
Dan kini ia menari
'Aku, akulah Jante Arkidam
Siapa berani melangkah kutigas tubuhnya batang pisang
Tajam tanganku lelancip gobang
Telah kulipat rujibesi'
Diam ketakutan seluruh kalangan
Memandang kepada Jante bermata kembang sepatu
'Mengapa kalian memandang begitu?
Menarilah, malam senyampang lalu!'
Hidup kembali kalangan, hidup kembali perjudian
Jante masih menari berselempang selendang
Diteguknya sloki ke sembilan likur
Waktu mentari bangun, Jante tertidur
Kala terbangun dari mabuknya
Mantri polisi berdiri di sisi kiri:
'Jante, Jante Arkidam, Nusa Kambangan!'
Digisiknya mata yang sidik
'Mantri polisi, tindakanmu betina punya!
Membokong orang yang nyenyak'
Arkidam diam dirante kedua belah tangan
Dendamnya merah lidah ular tanah
Sebelum habis hari pertama
Jante pilin ruji penjara
Tajam tangannya lelancip gobang
Berebahan tubuh-tubuh lalang dia tebang
Arkidam, Jante Arkidam
Dinding tembok hanyalah tabir embun
Lunak besi dilengkungkannya
Tubuhnya lolos di tiap liang sinar
Arkidam, Jante Arkidam
Di penjudian di peralatan
Hanyalah satu jagoan
Arkidam, Jante Arkidam
Malam berudara tuba
Jante merajai kegelapan
Disibaknya ruji besi pegadean
Malam berudara lembut
Jante merajai kalangan ronggeng
Ia menari, ia ketawa
'Mantri polisi lihat kemari!
Bakar meja judi dengan uangku sepenuh saku
Wedana jangan ketawa sendiri!
Tangkaplah satu ronggeng berpantat padat
Bersama Jante Arkidam menari
Telah kusibak ruji besi’
Berpandangan wedana dan mantri polisi
Jante, jante Arkidam!
Telah dibongkarnya pegadaean malam tadi
Dan kini ia menari
'Aku, akulah Jante Arkidam
Siapa berani melangkah kutigas tubuhnya batang pisang
Tajam tanganku lelancip gobang
Telah kulipat rujibesi'
Diam ketakutan seluruh kalangan
Memandang kepada Jante bermata kembang sepatu
'Mengapa kalian memandang begitu?
Menarilah, malam senyampang lalu!'
Hidup kembali kalangan, hidup kembali perjudian
Jante masih menari berselempang selendang
Diteguknya sloki ke sembilan likur
Waktu mentari bangun, Jante tertidur
Kala terbangun dari mabuknya
Mantri polisi berdiri di sisi kiri:
'Jante, Jante Arkidam, Nusa Kambangan!'
Digisiknya mata yang sidik
'Mantri polisi, tindakanmu betina punya!
Membokong orang yang nyenyak'
Arkidam diam dirante kedua belah tangan
Dendamnya merah lidah ular tanah
Sebelum habis hari pertama
Jante pilin ruji penjara
Dia minggat meniti cahya
Sebelum tiba malam pertama
Terbenam tubuh mantri polisi di
dasar kali
'Siapa lelaki menuntut bela?
Datanglah kala aku jaga!'
Teriaknya gaung dilunas malam
Dan Jante di atas jembatan
'Siapa lelaki menuntut bela?
Datanglah kala aku jaga!'
Teriaknya gaung dilunas malam
Dan Jante di atas jembatan
Tak ada orang yang datang
Jante hincit menikam kelam
Janda yang lakinya terbunuh di dasar kali
Jante datang ke pangkuannya
Mulut mana yang tak direguknya
Dada mana tak diperasnya?
Bidang riap berbulu hitam
Ruas tulangnya panjang-panjang
Telah terbenam beratus perempuan
Di wajahnya yang tegap
Betina mana yang tak ditaklukannya?
Mulutnya manis jeruk garut
Lidahnya serbuk kelapa puan
Kumisnya tajam sapu ijuk
Arkidam, Jante Arkidam
Teng tiga di tangsi polisi
Jante terbangun ketiga kali
Diremasnya rambut hitam janda bawahnya
Teng kelima di tangsi polisi
Jante terbangun dari lelapnya
Perempuan berkhianat, tak ada di sisinya
Berdegap langkah mengepung rumah
Didengarnya lelaki menantang:
'Jante, bangun! Kami datang jika kau jaga!'
'Datang saja yang jantan
Kutunggu di atas ranjang'
'Mana Jante yang berani
Hingga tak keluar menemui kami?'
‘Tubuh kalian batang pisang
Tajam tanganku lelancip pedang'
Menembus genteng kaca Jante berdiri di atas atap
Memandang hina pada orang yang banyak
Dipejamkan matanya dan ia sudah berdiri di atas tanah
'He, lelaki mata badak lihatlah yang tegas
Jante Arkidam ada di mana?'
Berpaling seluruh mata ke belakang
Jante Arkidam lolos dari kepungan
Dan masuk ke kebun tebu
‘Kejar jahanam yang lari!'
Jante dikepung lelaki satu kampung
Di lingkung kebun tebu mulai berbunga
Jante sembunyi di lorong dalamnya
'Keluar Jante yang sakti!'
Digelengkannya kepala yang angkuh
Sekejap Jante telah bersanggul
'Alangkah cantik perempuan yang lewat
Adakah ketemu Jante di dalam kebun?'
'Jante? Tak kusua barang seorang
Masih samar dilorong dalam'
'Alangkah eneng bergegas
Adakah yang diburu?'
'Jangan hadang jalanku
Pasar kan segera usai!'
Sesudah jauh Jante dari mereka
Kembali dijelmakan dirinya
'He, lelaki sekampung bermata dadu
Apa kerja kalian mengantuk di situ?'
Berpalingan lelaki ke arah Jante
Ia telah lolos dari kepungan
Kembali Jante diburu
Lari dalam gelap
Meniti muka air kali
Tiba di persembunyiannya
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete