Alif adalah
tokoh utama dalam novel Negeri 5 Menara. Tokoh alif dijelaskan sebagai seorang anak yang berasal dari keluarga yang sederhana. Ia masih memiliki darah
ulama dari ibunya. Ia adalah putra Minangkabau yang lulus dari sekolah madrasah
tsanawiyah dengan nilai yang cukup membanggakan bagi
keluarganya. Ia menduduki nilai terbaik sepuluh besar. Cita-cita yang tinggi, membuat ia tetap semangat dan berjuang untuk
menggapainya. Ia menginginkan menjadi seseorang yang
berintelektual tinggi seperti Habibie. Ia sangat mengidolakan tokoh tersebut,
sehingga ia sangat menginginkan melanjutkan studinya ke tingkat SMA. Ia ingin
mempelajari dan memperdalam juga ilmu non agama, setelah tiga tahun ia berkecimpung di madrasah
tsanawiyahnya. Alif berniat untuk mempelajari ilmu agama dan ilmu non agama. Akan
tetapi, sang Ibu menginginkan putranya itu meneruskan darah keulamaannya.
Ibunya menyuruhnya agar bersekolah di
pondok saja, untuk lebih mendalami ilmu agama, karena
ia menginginkan putranya menjadi seorang pemimpin agama seperti Buya Hamka.
Pada awalnya Alif menolak keinginan ibunya itu, sampai-sampai ia mengurung diri
di kamarnya untuk beberapa hari. Namun akhirnya ia berpikir percuma saja untuk tidak menuruti orang
tuanya. Ia
memutuskan untuk menyetujui keinginan Ibunya. Ia memilih pondok pesantren Madani sebagai tempatnya menimba ilmu
yang terletak di Jawa. Awalnya ini hanyalah akal-akalannya saja, ia memilih pondok
yang jauh, agar orang tuanya menyetujuinya untuk bersekolah di SMA Minagkabau
bersama teman-temannya. Akan tetapi kedua orang tuanya malah mengiyakannya.
Alif pun ditemani ayahnya mendaftar ke Pondok Madani, dan ternyata ia diterima di sana. Pada awal proses perkenalan di sekolah, ia takjub dengan mantra ampuh yang diyakini ampuh yakni “man jadda wa jadda” yang mempunyai arti “siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil”. Di sekolah barunya ini, ia bertemu dengan beberapa teman yang berasal dari berbagai penjuru Indonesia, mereka adalah Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa. Dari perkenalan pada awal sekolah di Pondok Madani berlangsung, membawa enam putra daerah tersebut menjadi sahabat yang karib. Banyak pengalaman yang mereka lalui bersama-sama, mulai dari dihukum oleh kakak angkatannya dengan jeweran berantai, hingga pengalaman menjadi penjaga malam, karena Pondok Madani di satroni maling.
Mereka biasa menunggu maghrib tiba, dengan menghabiskan waktu di masjid. Tepat di menara masjid para sahabat ini menengadah ke atas, memperhatikan awan, dan membayangkan awan-awan itu menjelma menjadi benua dan Negara impian mereka masing-masing. Dari hal tersebut, mereka disebut sebagai “sohibul menara”. Prinsip mereka, jangan pernah meremehkan impian dan cita-cita meskipun setinggi apapun, karena Tuhan Maha Mendengar. Keyakinan mereka atas kekuasaan Tuhan akhirnya terbukti, mereka mencapai cita citanya untuk ke negeri impian masing-masing. Atang di Kairo, Baso yang akhirnya di Mekah, Raja, Alif dan Said di Washington DC, London.
Post a Comment
Post a Comment