Pembelajaran bahasa di Indonesia, khususnya
pembelajaran bahasa (dan sastra) Indonesia, tidak lepas dari pengaruh
pembelajaran bahasa yang berlangsung di dunia. Berbagai metode dan pendekatan
pembelajaran bahasa yang berkembang di dunia luar diadopsi ke dalam
pembelajaran bahasa Indonesia. Secara garis besar Purwo (1984) membagi dua pola
penataan materi pembelajaran bahasa di dunia yang ikut mewarnai materi
pembelajaran bahasa di Indonesia, yaitu pembelajaran dengan fokus utamanya pada
bentuk (form) bahasa dan pembelajaran dengan fokus utama pada fungsi (function)
bahasa. Apabila pada pembelajaran dengan penekanan pada bentuk bahasa lebih
difokuskan pada penguasaan struktur (tata bahasa), pada pembelajaran dengan
penekanan pada fungsi bahasa lebih difokuskan pada penguasaan penggunaan
bahasa. Di dalam penggunaan bahasa terdapat kaidah penggunaan bahasa yang tanpa
itu kaidah-kaidah tata bahasa tidak ada manfaatnya. Belajar bahasa lebih dari
sekadar mempersoalkan kegramatikalan karena yang lebih penting adalah kecocokan
penggunaan suatu tuturan pada konteks sosiokulturalnya. Pembelajaran dengan
penekanan pada bentuk bahasa telah berlangsung cukup lama yaitu sepanjang
periode 1880 s.d. 1970-an, sedangkan pembelajaran dengan penekanan pada fungsi
bahasa telah berlangsung mulai 1980-an.
Selanjutnya, Purwo (1984) menyatakan bahwa secara
metodologis, pembelajaran bahasa dengan penekanan pada bentuk telah menjadi
bahan utama bagi pendekatan pembelajaran bahasa melalui metode Grammar
Translation Method, Direct Method, Audiolingual Method, Cognitive Learning
Theory, dan Communikative Approach. Namun, perbedaan di antara keempat metode
tersebut terletak pada prosedur penyajian materinya. Pendekatan Grammar
Translation Method dan Cognitive Learning Theory penyajian materi didahului
dengan materi tata bahasanya lalu diikuti struktur bahasanya (induktif), pada
pendekatan Direct Method dan Audiolingual Method yang didahulukan adalah
struktur bahasanya baru diikuti uraian tata bahasanya (deduktif). Adapun
penekanan pada materi penguasaan penggunaan bahasa menjadi pusat perhatian
pembelajaran bahasa melalui metode Communicative Approach atau sering disebut
pula dengan metode Functional/ Notional Approach.
Untuk pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah,
penyajian materi yang ditekankan pada kemampuan penguasaan bentuk bahasa (tata
bahasa) telah mewarnai kegiatan pembelajaran bahasa sepanjang era awal
kemerdekaan sampai awal tahun 1984. Sepanjang periode itu telah muncul
buku-buku tata bahasa Indonesia yang telah menjadi buku pegangan utama
pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah. Buku tata bahasa yang sangat
kuat pengaruhnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia adalah karangan Sutan
Takdir Alisyahbana (1949). Buku ini sangat luas dan panjang masa beredarnya.
Pada tahun 1981 jilid pertamanya telah mengalami cetak ulang sebanyak 43 kali
dan pada tahun 1980 jilid keduanya mengalami cetak ulang sebanyak 30 kali.
Disusul kemudian oleh buku tata bahasa karangan Gorys Keraf, yang diterbitkan
1970 dan mengalami cetak ulang sebanyak 10 kali pada tahun 1984 (Purwo, 1984).
Dengan Kurikulum 1984, pembelajaran bahasa Indonesia di
Indonesia memasuki era baru, yaitu pembelajarannya tidak lagi ditekankan pada
penguasaan pada bentuk bahasa tetapi pada fungsi bahasa. Kurikulum 1984 tidak
hanya menjadikan pragmatik sebagai pendekatan dalam pembelajaran bahasa, tetapi
pragmatik dijadikan materi pembelajaran bahasa itu sendiri. Dalam pembelajaran
bahasa yang menjadikan pragmatik sebagai materi sekaligus pendekatan dalam
pembelajaran bahasa siswa lebih dituntut untuk menguasai penggunaan bahasa
bukan pada penguasaan kaidah-kaidah bahasa. Belajar bahasa bukan belajar
tentang bahasa, melainkan belajar berbahasa (menggunakan bahasa).
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang
berbasis pada kompetensi terdapat ruang baru bagi penguatan pola penataan
materi dan metode pembelajaran bahasa Indonesia dengan tujuan penguasaan bahasa
secara baik dan benar. Namun, sayangnya KTSP yang dikembangkan tidak juga
menyebabkan prestasi belajar bahasa Indonesia siswa menggembirakan. Hal ini
dapat dibuktikan dengan rendahnya hasil ujian nasional (UN) siswa untuk mata
pelajaran bahasa Indonesia. Selain itu, suatu hal yang menyedihkan bahwa
berdasarkan berbagai studi yang dilakukan organisasi internasional, seperti
studi yang dilakukan TIMMS sebagian besar (95%) siswa Indonesia hanya mampu
menjawab persoalan sampai level menengah. Artinya, 5% siswa Indonesia hanya
mampu memecahkan soal yang memerlukan pemikiran. Persoalannya, mengapa
pelajaran bahasa Indonesia belum juga mampu membangun cara berpikir siswa,
padahal fungsi utama bahasa selain sebagai sarana komunikasi juga merupakan
sarana pembentuk pikiran. Ada apa dengan pelajaran bahasa Indonesia kita di sekolah-sekolah?
Apabila dilihat dari segi kandungan materi, satuan
bahasa yang mengandung makna, pikiran, gagasan yang menjadi materi pembelajaran
bahasa Indonesia hanya sampai satuan paragraf. Itu sebabnya, tidak mengherankan
jika dalam proses pembelajaran siswa diminta fokus memahami paragraf seperti
pengembangan paragraf dari sebuah kalimat (ide) utama, lalu disuruh menyusun
kalimat penjelasnya atau disuruh mencari ide utama pada paragraf tertentu,
serta dapat juga siswa diminta membuat paragraf dengan kalimat utama yang sudah
ditentukan oleh guru. Tidak jelas paragraf jenis apa yang hendak dikembangkan.
Padahal, jika dilihat dari kelengkapan makna, pikiran, gagasan yang dikandung
maka satuan bahasa yang berupa tekslah yang sepantasnya menjadi basis pembelajaran.
Dalam konteks itulah, Kurikulum 2013, khusus untuk materi pembelajaran bahasa
Indonesia, lebih ditekankan pada pembelajaran yang berbasis teks.
Post a Comment
Post a Comment