Karya B. Sularto
PARA PELAKU
BAPAK : Usia 55 tahun
PEMUDA : Usia 28 tahun
PELAMAR I : Usia 30 tahun
PELAMAR II : Usia 31 tahun
BABAK I
DALAM RUANG TAMU. PERABOTAN
TERDIRI DARI SATU STEL MEJA KURSI TAMU SEDERHANA DENGAN SEBUAH ASBAK. Sebuah bufet, di atasnya terletak sebuah
potret wati ukuran dua kali kartu pos, berbingkai. Di dinding tergantung sebuah
kalender, bulan september 1965. waktu kira-kira jam 11.00. Bapak berdiri
selangkah di hadapan buffet. pandangannya mantap kearah potret. Bapak mengambil
potret, didekatkannya kearah mukanya. BApak senyum sambil mengembalikan potret
ketempatnya semula. Bapak mangut-mangut pandangannya tidak pernah lepas dari
arah potret.
Bapak : Kau, begitu manis Wati. Semanis Almarhumah
bundamu. Tapi kau anakku. Dan kini kau sudah matang untuk menjadi ibu. Lalu
tibalah saatnya kau tinggalkan aku. Ya, kau akan pergi bersama seorang lelaki
tentu.
Bapak melangkah kearah kAlendeR
mendekatkan pandangannya, sambil bergumam
Bapak : September bulan kesembilan, september bulan
penuh kenangan. (memandang potret, lalu sejenak mengelengkan
kepala). Kalau saja kau tahu apa yang terjadi dalam bulan kesembilan
ini, dua puluh tahun yang lalu, Wati. Datanglah pada waktu itu dibulan
september, dua orang pemuda gagah sama melamar ibumu. Heh ya sebagaimana juga
aku, mereka sama tergila-gila pada kemanisan bundamu. Tapi tahu kau Wati;
mengapa justru aku yang bisa menangkan pertandingan dalam merebut ibumu?
Sederhana saja Wati, sederhana, sebab kedua teruna perkasa tadi saling bersaing
dalam memperebutkan bundamu. Mereka pertaruhkan segalanya, termasuk nyawanya.
Akibatnya yang satu mati ditikam saingannya yang satu lagi jadi boronan polisi.
Lelaki-lelaki sial. Dan datanglah aku, lelaki ketiga. Datang untuk melihat dan
menang. (ketawa kecil, lalu melangkah ke
kursi, pandangannnya sejenak kearah kelender) Sekarang bulan kesembilan
bulan penuh kenangan. Bulan penuh kenangan. Dan siang ini akan datang dua
pemuda kemari melamar Wati. Dan keduanya tentu saling bersaing. Akan datang
pulakah lelaki ketiga untuk melihat, menang memboyong Wati pergi? Akan
terulangkah apa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu ? Heh, tapi pasti aku
yang paling merugi, karena Wati musti dibawa pergi laki-laki. Dan aku akan
kehilangan.
TERDENGAR
KETUKAN PADA PINTU LUAR. BAPAK MENULEH KEARAH PINTU SAMBIL BANGKIT DENGAN GERAK
LAMBAN
Bapak : Kalau aku tidak salah duga, tentu ini sang
pahlawan
BAPAK
MELANGKAH KEARAH PINTU LALU MEMBUKANYA, MUNCULAH PELAMAR I MENGENAKAN PAKAIAN
LENGKAP BERDASI MENTERENG. PELAMAR I MENGHORMAT DENGAN MEMBUNGKUKKAN BADAN.
SAMBIL SENYUM MENJABAT SALAM BAPAK DENGAN KEDUA TANGANNYA.
Bapak : Selamat datang.
Pelamar I : maafkan, I oh, aku terlambat tiba sepuluh
menit.
Bapak : Ah, tak mengapa. Silahkan duduk. Yang penting
anak hari ini telah datang untuk memenuhi janji. Terlambat sepuluh saja, tak
kuperhitungkan. Karena, aku tak biasa mengikat diri pada perputaran menit dan
detik.
Pelamar I : Terima Kasih. ( duduk dengan sikap hormat
tapi kikuk)
Bapak duduk dihadapannya dengan wajah
angker menyoroti. Pelamar I mencoba menghindari sorotan mata bapak dengan
melirik kearah potret.
Bapak : Bagaimana ?
Pelamar I : Oh, oh Wati sehat-sehat sajakah ?
Bapak :
Kau pasti meindukannya, bukan ? ya, itu
aku dapat mengerti. Ketahuilah nak, Wati kini segar bugar sesegar murai. Dan
tentu ; kini dia berdebar hati dalam menanti lamaran bakal suami. Karenanya,
wati lebih suka tidak menampakkan diri sejak beberapa lama.
PELAMAR I
SENYUM LEBAR SAMBIL MENGELUARKAN SAPU TANGAN WANGI DAN DIUSAP-USAPKANNYA KEPIPI
KANAN KIRI.
Pelamar I : Itu bukti, bahaw Wati seorang wanita yang yahu
harga diri.
Bapak : Itu penilaian bagus, nak. Tapi bagaimana
dengan kemantapan hatimu dalam memilih calon istri ?
Pelamar I : Rasanya pilihan hatiku sekarang sudah teramat
pasti. Tertuju pada seorang wanita semata, yaitu Wati.
Bapak : itu sekarang ya, nak. Dulu bagaimana ?
pernahkah nak mencintai wanita lain sebelum ketemu Wati ?
Pelamar i : Never, eh tidak pernah. Demi Tuhan,
bagiku yang pertama dan yang terakhir adalah Wati.
BAPAK MANGGUT-MANGGUT SAMBIL SENYUM
Bapak : Hem, aku jadi ingat masa lalu. Ya, dulu
seperti ucapanmu itulah, aku pernah bersumpah didepan almarhumah ibu wati.dan
ternyata sumpahku itu berhasil menyakinkan mereka betapa agung kasih cintaku.
Maka, dengan tidak berpikir dua kali dikabulkannyalah lamaranku.
Pelamar I ; Maka jiak bapak berkenan di hati. Ijinkanlah I
eh, aku dengan segala kerendahan hati dan dengan penuh takzim menghadap bapak
untuk melamar Wati. Kan kujadikan istri bahagia sampai akhir hayatku
Bapak : Tunggu dulu ya, nak sebenarnyalah aku ingin ,
untuk lebih dulu mengetahui lebih dekat dengan bakal menantuku. Wati pernah
menceeritakan bahwa kau seorang sarjana ekonomi lulusan perguruan tinggi luar
negri. Punya kedudukan tinggi sebagai direktu perusahaan industri obat-obatan.
Punya rumah gedung betingkat dua. Punya dua mobil sedan , masih bujangan .
itulah yang kuketahui tentang dirimu. Tapi bagaimana cita hidupmu dalam
berkeluarga ?
Pelamar I : Cita hidupku sederhana saja. Yaitu, membina
satu lembaga keluarga sejahtera, lahir batin hidup dalam bahagia.
Bapak : Bagus sekali cita hidupmu, ketahuilah, nak
begitu kira-kira ucapanku dulu dua pulub tahun yang laluketika melamar
almarhumah ibu wati dihadapan orang tuanya.
Pelamar I : Terima kasih, maka kiranya berkenan hati,
komohon bapak akan mengabulkan pinanganku…..
Bapak : Tunggu dulu. Kalau kau sudah berumah tangga ,
apakah menginginkan kehadiran anak?
Pelamar I : itu adalah program keluarga yag vital, urgent.
Tanpa kehadiran anak-anak kehidupan keluarga akan dicekik kesepian yang paling
mengerikan, dan matilah keturunan kami, karena tiada pewaris lagi.
Bapak : Bagus sekali nak, Berapa putra-puti yang anak
idamkan kiranya ?
Pelamar I : well,ya, itu tergabtung dari banyak faktor,
selain faktor kesuburan, Tuhan jua yang menentukan, tapi bagiku ideal sekali
memiliki anak empat –lima.
Bapak : Empat-lima. Hem, dulu akupun mengharapkan anak
sebanyak itu pula. Tapi seperti katamu tadi nak, Tuhanlah yang menentukan. Kami
Cuma dianugrahi seorang putri, si Wati. Dan bagaimana kelak anak Cuma
dianugrahi seorang anak saja ? Apalagi jika seorang dara.
Pelamar I : Pasti aku akan sangat mencintainya
Bapak : Sangat mencintainya ?
Pelamar I : Tapi bagaimanapun kelak bila telah dewasa pasti
akan kulepaskan untuk dipersunting seorang jejaka yang cocok untuk jodohnya.
Bapak : Melepaskannya kalau sudah dewasa ya, nak. Hem
ya
Pelamar I :
Apakah bapak berat hati untuk melepaskan
Wati ?
BAPAK TERSENYUM LALU MENATAP KEARAH POTRET
Bapak : Setiap kali kulihat wati, setiap kali itu pula
kuteringat bundanya. Kelmbutan hatinya, kemanisan wajahnya, kesejukan
pandangannya, seluruhnya menitis pada tubuh Wati.
Pelamar I : Tepatlah lukisan bapak tadi, betapa kenanisan
wati dan keluhuran budinya diwariskan dari ibunya, maka ya bapak, semogalah
bapak akan berkenan di hati untuk mengabulkan lamaranku ?
Bapak : Hem, tapi ketahuilah pelamar Wati tidak Cuma
Satu.
Pelamar I : Ya, memang itu aku tahu. Aku memang mempunyai
saingan disini. Tapi semoga aku tidak terlambat tiba.
Bapak : Syukurlah kalau anak sudah tahu, anak tercatat
sebagai pelamar wati yang pertama, jadi tak usah resah gelisah, tapi aku ahrus
beralku adil, bila untuk wati terdaftar dua orang pelamar resmi ? aku harus
mempertimbangkannya dengan sangat teliti sekali, karena wati hanya seorang dan
hanya seorang lelaki yang mempersuntingnya
Pelamar I : Sikap hati-hati bapak sangat kumengerti, namun
kalau bapak memperkenankan, pada kesempatan kali ini aku menghaturkan jaminan
pribadi. Maaf bukannya aku ingin menilai Wati sebagai benda taruhan atau benda
ekonomis. Aku hanya ingin memamerkan kemampuanku sebagai seprang suiami.
Bapak : Tentu nak, kau berhak berusaha untuk memikat
calon mertuamu dengan segala cara yang bisa menyakinkan hati.
Pelamar I : Tidaklah berlebihan jika I eh, aku
menghaturkan tiga macam jaminan pribadi. Pertama, kesetiaan, kedua, kehidupan
makmur mewah sampai hari tua dan yang ketiga warisan harta benda yang berlimpah
untuk keturunan kami nanti.
Bapak : Hem, ya tapi nak, tentang kesetiaanmu apakah
nanti bisa menjadi jaminan karena itu baru berupa pernyataan kesangguipan.
Belum menjadi kenyataan Apa yang terjadi nanti sulit ditebak bukan? Tentang
kehidupan makmur mewah itu nisbi, karena sepeti katamu tadi. Tuhanlah yang
menentukan. Nasibmu sekarang baik tapi entah suatu saat nanti, takdir memaksa
roda hidupmu berputar kebawah. Dan tentang janji warisan melimpah, apalah
gunanya nanti jika kau tidak mempunyai anak? Atau jika kau mempunyai anak
tetapi takdir menentukan anak-anakmu lebih dulu meninggal, tapi nak diatas
segalanya memang jaminan-jaminanmu itu cukup mengapit hati setiap calon bapak
mertua.
Pelamar I : Terima kasi untuk wawasan bapak yang kritis
itu. Dan perkenankanlah seiring dengan ini secara resmi aku mengajukan lamaran
untuk dalam waktu dekat ini mempersunting Wati sepanjang hayatnya.
Bapak : Ya..ya dengan resmi pula lamaran nak kuterima
dengan baik sekali
Pelamar : Terima kasih…terima kasih. Dan semoga bapak
secara resmi mengabulkannya
Bapak : Sabarlah dulu calon menantuku, ingat masih ada
pelamar kedua yang akan datang,kau dan sainganmu masih harus kuberikan
penilaian yang menentukan, jadi kuharap nak akan pula berkenan bersabar dalam
menunggu.
TERDENGAR KLAKSON MOBIL BAPAK DAN PELAMAR I SERENTAK
KEPINTU LUAR
Bapak : Tentulah iu dia yang datang, untuk memenuhi
kesanggupannya.
Pelamar : Sainganku maksud bapak?
Bapak : Ya, jejaka pelamar kedua. (BAPAK BANGKIT)
Berbesar hatilah, nak. Aku tidak akan pilih kasih untuk menentukannya. Aku
sudah puas mengenalmu dari dekat. Dan dalam beberapa hal kau cukup berhasil
menarik perhatianku. (PELAMAR I KELUAR DIIKUTI BAPAK)
Pelamar I : Terima kasih. Perkenankanlah I, eh… aku
mohon diri dengan menyebut bapak mertuaku.
Bapak : Sabar itu subur, nak. Untuk sementara aku
masih menyebut dirimu calon menantu sampai tiba saatnya nanti. Jadi sekali lagi
sabar dalam menunggu. Dan selamat siang. Selamat jalan, calon menantuku.
Pelamar I : Terima kasih. Jika Bapak atau Wati memerlukan
sesuatu kumohon jangan ragu segera menghubungi aku, oke? Pasti aku akan
membantu.
Bapak : Tawaran manis, nak. Asalkan tidak dimaksud
sebagai persekot atau suapan.
Pelamar I :
Oh, sama sekali tidak. Antara kita tidak ada kalkulasi dagang. Semua itu cuma
sekedar jasa-jasa baik yang dengan tulus ikhlas ditawarkan.
Bapak : Selamat jalan, calon menantu dermawan.
(PELAMAR I KELUAR)
Bapak : Nah, apa katamu tentang pelamarmu yang pertama
tadi, Wati? (SAMBIL MELIHAT PHOTO) Betapa sombong dia banggakan harta
kekayaannya. Uh.. dikira aku dapat dipikat dengan itu. Aku juga dulu pedagang
besar pernah mengenyam hidup mewah. Kalau sekarang aku miskin itu di luar
kemauanku. Tapi kau lihat sendiri, aku sama sekali tidak takut hidup miskin.
Karena aku memang tidak pernah mengikat hidup dengan duit atau harta. Tapi coba
perhatikan calon suamimu tadi, Wati. Lihatlah kepribadiaannya, lihat cxara
bicaranya yang sok, sikap hidupnya, cara hidupnya yang kebarat-baratan, kenes,
cengeng, sok dermawan lagi… (TERDENGAR KETUKAN PADA LUAR PINTU) Nah, pelamar
kedua kini telah datang, Wati.
PELAMAR II
DATANG MENGENAKAN PAKAIAN LENGKAP TAPI TANPA DASI, MEMAKAI KACAMATA HITAM. IA
TERSENYUM LEBAR TANPA MEMBUNGKUKKAN BADAN, TAPI TERUS MENJABAT SALAM DAN
MENGGONCANG-GONCANGKANNYA.
Pelamar II : Apa kabar, kawan? Eh, Bapak mertua.
Bapak : Oh, baik-baik saja, calon menantu. Dan
sebaiknya dilarat dulu, bukan bapak mertua tapi calon bapak mertua.
Pelamar II : (TERTAWA SAMBIL MELEPASKAN PEGANGAN TANGAN) Korek!
Dengan ini kuralat kesalahanku, ya kawan, eh calon bapak mertua.
Bapak : Nah, begitu. Selamat datang dan silahkan
duduk, calon menantu.
PELAMAR II
DUDUK SAMBIL MENUMPANGKAN KAKI KANAN DI ATAS KAKI KIRI. PANDANGANNYA CEPAT
MENGARAH KEPOTRET TANPA MENGINDAHKAN SOROTAN MATA BAPAK YANG MEMPERHATIKAN
GERAK-GERIKNYA DENGAN WAJAH ANGKER
Pelamar II : Lho, mana dik Wati-ku?
Bapak : Menurut adat timur, tentu saja Wati tidak
boleh menampakkan diri saat lelaki pelamarnya datang. Cukuplah berurusan dengan
aku.
Pelamar II : Oh, soal adat timur aku sih setuju-setuju
saja. Cuma terus terang aku sudah kelewat rindu pada Wati. Sudah sebulan aku
tidak pernah berhasil menemuinya. Bahkan berkabar lewat suratpun tidak pernah.
Kuhitung-hitung ada selusin surat yang kulayangkan ke alamat ini. apa Wati-ku
sakit barangkali?
Bapak : Kerinduanmu dapat kupahami. Jangan cemas. Wati
sekarang seorang perawan pingitan. Dan kalau wati tidak pernah membalas
suratmu, kukira bukan dia tidak mau memperhatikanmu, nak. Tetapi semata-mata
menjaga kemungkinan terjadinya salah tafsir. Sebab kau tahu yang merindukan
Wati bukan nak sendiri, bukan?
Pelamar II : Penjelasan kawan, eh bapak, dapat kusetujui
tanpa reserve, korek, dan logis. Salut untuk sikap Wati dan Bapak.
Memang Wati banyak yang mengincar, namun aku yakin bahwa kasihku padanya dapat
diterima dengan baik sekali. Dan aku yakin Wati cukup progresif dalam berpikir
dan menentukan pilihannya. Akulah pilihan, karena kami serasi dalam segala
bidang. Bidang ideologi…
Bapak : Baiklah, nak. Kau boleh yakin, tapi mari kita
bicarakan masalah pokok yang kau hadapi, nak, tentang lamaranmu itu.
Pelamar II : Korekt! Memang khusus untuk pinangan,
aku kini menghadap kawan, eh bapak, jadi sekarang boleh aku mengajukan
lamaranku?
Bapak : Tunggu dulu. Aku ingin mengenal secara dekat
calon suami Wati.
Pelamar II : Itu aku setuju.
Bapak : Wati pernah bilang padaku, anda masih
bujangan?
Pelamar II : Tepat. Aku masih bujangan seratus persen,
dalam arti belum pernah dengan resmi bertunangan, apalagi kawin dengan wanita
lain.
Bapak : Wati pernah bilang bahwa anda pernah belajar
tiga tahun di luar negri, ya?
Pelamar II : Betul. Dengan keterangan tambahan bahwa aku
studi ilmu politik di universitas sosiali. Catat: bukan di negara kapitalis.
Aku bukan belajar ilmu politik kaum imperialis, akan tetapi ilmu politik
sosialis sejati.
Bapak : Ditambahkan juga oleh Wati, bahwa nak punya
kedudukan tinggi di sini?
Pelamar II : Betul. Aku adalah wakil pemuda dalam parlemen.
Pangkatku sebagai pegawai tinggi adalah F4, dalam skala PGPN. Jabatanku asisten
ahli dalam bidang sosial politik kabinet.
Bapak : Hem. Wati juga bilang bahwa sekiranya kelak
dia jadi isterimu, nak akan membimbingnya dalam pengetahuan politik? Dan akan
menempatkannya dalam pimpinan pergerakan kewanitaan?
Pelamar II : Begitulah. Dengan catatan bahwa dia harus
tergolong wanita maju. Tinggal saja kutingkatkan pengetahuan politiknya.
Intelektual yang berpikiran progresif, yang kumaksud adalah politik kaum
sosialis bukannya politik kaum kapitalis imperialis, politik yang berpihak
kepada kepentingan rakyat, bukan yang memihak pada kepentingan kaum komprador,
kaum kapitalis imperialis. Dia akan kugembleng sedemikian rupa untuk menduduki
pimpinan pergerakan wanita, bukan pergerakan wanita borjuis, akan tetapi
pergerakan wanita rakyat progresif yang revolusioner. Dengan bimbinganku, aku
yakin isteriku kelak akan menjadi tokoh srikandi yang akan dibanggakan kaum
wanita, bukan saja di sini, akan tetapi di seluruh dunia. Namanya akan lestari
semerbak wangi sepanjang jaman.
Bapak : Sudah?
Pelamar II : Jika bapak memperbolehkan, ingin kuberikan
lagi sekedar penjelasan tambahan.
Bapak : Kalau anak masih menganggap belum jelas,
silahkan saja.
Pelamar II : Kalau sudah jadi isteriku, tidak akan dia
kuperlakukan sekedar sebagai benada pemuas seksual belaka. Tidak akan kujadikan
berhala hidup yang dikurung dalam sangkar madu, yang sekali tempo dia
diperlukan didandani sebagai peragawati yang dapat dijadikan sebagai pameran
kebanggaan lelaki. Tidak juga kuperlakukan sebagai ibu rumah tangga yang cuma
bertugas memproduksi anak-anak. Tidak. Sikap demikian adalah sikap kaum
borjuis. Apalagi memperlakukan isteri tidak lebih sebagai sapi perahan, budak
belian sebagai seperti dilakukan kaum feodalis. Itu semua sikap dekaden, sikap
imoral yang dikutuk keras oleh kami kaum sosialis. Sebagai seorang sosialis,
Wati-ku akan sangat kuhargai dan kuperlakukan sebagai kawan seperjuangan
seidiologi, yang sama hak dan derajatnya dengan si suami. Dan kami akan
melangkah berdampingan menuju ke arah satu tujuan, satu cita-cita, pahit sama
kami derita, manis sama kami nikmati. Itu semua menjamin kebahagiaan kami lahir
batin. Jadi kawan, eh bapak, jangan khawatir dengan kebahagiaan dan masa
depannya kelak bila menjadi isteriku. Percayalah, masa depan kami gilang
gemilang. Baik sebagai suami isteri, ataupun sebagai pasangan pejuang-pejuang
politik dalam memperjuangkan masyarakat negara sosialis yang menjadi cita-cita
revolusi.
Bapak : Sudah tercurah semua?
Pelamar : Ya. Semoga bapak sudah mengetahui diriku luar
dalam, tentang sikapku sebagai suami, cita-cita hidupku dalam berkeluarga.
Bapak : Ya. Sekarang semuanya sudah jelas,
penjelasanmu dengan segala catatan tambahannya sudah cukup memuaskan.
Pelamar II : Jadi, bila aku dengan resmi mengajukan
pinangan, bapak akan mengabulkannya, bukan? (BERDIRI SIKAP TEGAK) Dengan resmi
aku ajukan lamaranku untuk mohon berkenan memperistri putri bapak.
Bapak : Lamaran dengan resmi kuterima.
Pelamar II : (TERSENYUM DAN MENJABAT TANGAN) Marilah kita
tetapkan hari pernikahannya secepatnya saja, dalam bulan september ini juga.
Bapak : (MELEPASKAN TANGAN) Tunggu dulu. Yang kuterima
lamarannya. Jadi, baru lamaran. Masih banyak yang harus kupertimbangkan.
Pelamar II : Oh, begitu. Apa pula yang bapak pertimbangkan?
Kehidupan dari segi sosial ekonomi barangkali? Jangan cemas, aku cukup memiliki
kemampuan berumah tangga, kondisi yang baik sekali, kondisi elit yang tidak
kalah dengan kehidupan dalam borjuis kaya. Setidak-tidaknya aku mempunyai
sebuah sedan milik pribadi di samping sebuah FIAT milik negara. Sebuah rumah
lengkap dengan segala perabotannya seperti radio, lemari es, televisi. Semua
itu milikku pribadi, di samping sebuah rumah dinas milik negara. Dan sebagai
anak rakyat, aku punya sawah beberapa hektar yang sangat subur dan kalau panen
menghasilkan beras beberapa kwintal. Penghasilanku sebagai pegawai tinggi cukup
lumayan. Masih ditambah honorarium dalam jumlah yang cukup banyak sebagai
anggota parlemen, pengurus Font Nasional, dan…
Bapak : Ya, ya, itu semua sudah kuperoleh
keterangannya dari Wati. Aku percaya bahwa penghasilanmu cukup besar nak, cukup
untuk memberi nafkah seorang isteri dan selusin anak. Tapi janganlah salah
paham ya nak, apa yang masih harus kupertimbangkan adalah soal lain. karena
selain kau nak, masih ada jejaka lain lagi yang menjadi pelamar resmi Wati.
Itulah yang masih harus kupertimbangkan dengan teliti.
Pelamar II : Berapa orang saingan yang mesti kuhadapi?
Bapak : Hanya seorang lelaki.
Pelamar II : Jika tidak keliru, sainganku adalah itu
sarjana ekonomi “Made in USA”.
Bapak : Dugaanmu tidak keliru lagi. Apakah kalian
tidak berpapasan tadi?
Pelamar II : Ya. Jadi, apakah tadi dia sudah lebih dulu
majukan lamaran? (BAPAK MENGANGGUK) Kawan, eh bapak, sudah memberikan jawaban?
(BAPAK MENGANGGUK) Apakah jawaban itu sudah merupakan keputusan sidang, eh
keputusan resmi? (BAPAK MENGANGGUK) Keputusan bapak, berupa persetujuan atau
penolakan?
Bapak : Penerimaan lamaran.
Pelamar II : Waduh, sudah bapak terima lamarannya?!?
Bapak : Penerimaan lamaran untuk lebih jauh
kupertimbangkan.
Pelamar II : Oh, begitu?!?
Bapak : Tak mungkin aku mengambil keputusan, sebelum
aku menilai kedua calon menantuku
Pelamar II : Bagus kalau begitu, sekarang kedua pelamar
Wati sudah menghadap bapak, tentulah bapak sekarang sudah dapat memberi
penilaian konkrit,dan bagaimana penilaian bapak terhadap sarjana borjois itu ?
Bapak : Dalam beberapa hal ada kesamaan dengan kau
nak, misalnya, kalian masih sama jejaka, sama tinggi pangkat dan tingkat
kehidupannya, sama berpendidikan tinggi di luar negri….
Pelamar II : Dengan catatan, bahwa dia adalah hasil didikan
negara kapitalis, sedang aku sosialis, dia anak borjuis, aku anak rakyat sejati
sebagaimana halnya dengan bapak dan Wati. Dia pendukung paham imperialis, aku
paham sosialis, dan…
Bapak : Ya-ya tentu antara kalian ada
perbedaan-perbedaan.
Pelamar II ; Perbedaaan yang prinsipil dalam watak dan
pandangan hidup, dia sangat sesuai dengan kelasnya, berwatak opotunis,
reaksioner, aku sesuai dengan kelasku, berwatak progresif, revolusioner, dalam
hal ini perbedaan ini memang sangat penting untuk kawan, eh bapak jadikan
landasan dalam memberikan penilaian dan titik tolak dalam menentukan pilihan.
Bapak : Penilaianku dalam hal ini adalah perbedaan
dalam watak-watak pribadi, umpamanya…ini hanya sebuah umpama saja ya… satunya
berwatak sabar, pemurah, peramah, satunya lagi berwatak pemarah, kepala batu,
bakil, kurang ajar, yang lain pengecut dan satunya lagi pemberani.
Pelamar II : Oh, begitu. Tapi kuharap kelainan watak dari
segi pandangan insan politik, hendaknya dapat bapak jadikan bahan pertimbangan
yang prinsipil. Karena aku percaya bahwa bapak sebagai anak rakyat yang
progresif revolusioner pasti memiliki kesadaran politik. Tentunya bapak akan
sependapat dengan aku bahwa kita adalah masyarakat sosialis, tidak semata-mata
untuk berkembang biak, akan tetapi kita mempunyai kewajiban politik untuk senantiasa
memperjuangkan martabat dan hak asasi rakyat, untuk senantiasa menantang “I”
exploitation de I’homme per I’homme, penindasan rakyat yang dilakukan oleh
kaum kapitalis imperialis dan kaum borjuis komprador macam itu sarjana “Made
ini USA”. Dan…
Bapak : Ya, ya. Di atas segalanya aku sudah memperoleh
bahan yang jauh lebih lengkap tentang dirimu, calon menantuku.
Pelamar II :
Jangan ragu menentukan menantu. Bapak
akan berjasa besar sekali, bahkan lebih dari itu bapak telah membantu secara
aktif agar di kelak kemudian hari, Wati tumbuh menjadi sosok tokoh wanita
sosialis yang progresif revolusioner yang namanya akan abadi, terpahat dalam
lembaran keemasan sejarah pergerakan kewanitaan bangsa kita. Sekali lagi jangan
ragu memilih diriku.
Bapak : Baik, baik. Tapi sabar sebentar. Aku perlu
waktu untuk mengambil keputusan terakhir. Hendaknya nak suka bersabar menunggu.
PELAMAR II
HENDAK ANGKAT BICARA TAPI TERDENGAR SUARA KLAKSON SKUTER DARI LUAR. SERENTAK
BAPAK DAN PELAMAR II MENOLEH.
Bapak : Ada yang datang bertamu.
Pelamar II :
Siapa dia?
Bapak : Pasti bukan sainganmu, nak. Kau pasti telah
mengenalnya, karena dia sering mengawal Wati. Dia anak pungut mendiangan
adikku. Hubungannya dengan Wati sudah seperti saudara kandung. Kalau berkunjung
kemari selalu dibunyikan skuternya seperti barusan tadi. Tak perlu cemas.
Pelamar I : Ya. Pemuda ganteng itu sudah kukenal. Kukira
dulu kakak kandung Wati, malah aku pernah mencurigainya, jangan-jangan dia
pacar Wati yang berlagak pura-pura sebagai saudara sendiri. Baiklah, kawan, eh
bapak, jika bapak menghendaki aku menunggu dengan sabar, aku akan patuh pada
komando bapak.
Bapak : Selamat siang, nak. Selamat jalan.
Pelamar II : Mudah-mudahan bapak tidak ragu dalam
memilihku.
Bapak : Bersabarlah, calon menantuku. (BAPAK DAN
PELAMAR II BERSALAMAN)
Pelamar II :
Selamat siang. Sampai jumpa, bapak
mertua.
Bapak : Masih calon bapak mertua. Jangan lupa.
PELAMAR II
MENGANGGUK SAMBIL TERSENYUM LEBAR, TERUS KELUAR. BAPAK MEMBALIK DENGAN
MENGIKATKAN KEDUA TANGANNYA DI PUNGGUNG. MELANGKAH BERHENTI DI HADAPAN POTRET,
MENGHEMBUS NAFAS LALU MENCIBIR.
Bapak : Lihatlah, Wati. Betapa keterlaluan pelamar
kedua tadi. Dianggapnya aku kawannya sendiri. Sembrono. Kurang tahu tata krama.
Perhatikanlah gaya yang sok besar. Betapa keranjingannya dalam politik,
semuanya serba politik, urusan keluargapun dipolitikkan. Dan kalau kau sampai
jadi isterinya, sudah pasti kau akan dijadikan alat politiknya, kau akan
dijadikan budak politik, Wati. Uh… berabe kalau begitu. Tidak, Wati. Lelaki
macam begitu tidak cocok menjadi suamimu.
TERDENGAR SUARA KETUKAN PINTU. BAPAK SEDIKIT MENOLEH
KE ARAH PINTU.
Bapak : Ya, ya, terus masuk saja.
PEMUDA
MUNCUL. SENYUM MENGHORMAT BAPAK, TETAPI BAPAK TIDAK MEMBALASNYA.
Pemuda : Sudah selesai rupanya.
Bapak : Apa yang selesai?
Pemuda : Pertemuan bapak dengan kedua pelamar Wati.
Bapak : Kau memata-matai rupanya.
Pemuda : Ah, tidak. Aku hanya menonton dari kejauhan
saja.
Bapak : Bagaimana kau tahu hari ini mereka datang?
Pemuda : Wati sendiri yang melayangkan kabar. Dan aku
hanya datang melihat untuk membuktikannya. Apa bapak dihadapkan kesulitan dalam
menentukan pilihan?
Bapak : Memang. Serba sulit keadaannya.
Pemuda : Tapi bapak harus menentukan pilihan.
Bapak : Itulah yang menyusahkan. Keduanya dalam
penilaianku tidak memuaskan. Yang satu mata duitan, gila harta, kenes,
kebanci-bancian. Satunya lagi gila politik, budak ideologi, kasar, kurang ajar.
Ya, serba berabe keduanya.
Pemuda : Dan penilaian Wati sendiri bagaimana?
Bapak : Wati telah menyerahkan kepadaku.
Pemuda : Jadi Wati tidak hadir?
Bapak : Itu kurang sopan menurut adat, tetapi nak
kurasa itu bukan urusanmu.
Pemuda : Maafkan. Aku bukan mau turut campur urusan
bapak. Aku hanya heran kenapa Wati tidak pernah tampak selama ini. kupikir
mungkin menurut adat kebiasaan yang berlaku pada wanita pingitan. Meski
demikian, seharusnya Wati mempunyai kebebasan untuk sekali-kali muncul di
hadapan umum, atau mungkin bapak sudah melarangnya, aku tidak tahu.
Bapak : Nak, nak, ini bukan urusanmu.
Pemuda : Maklumilah, aku tidak hendakm mencampuri
urusan bapak. Kedatanganku seperti biasanya, hanya ingin bertemu dan mengobrol
dengan Wati seperti dulu.
Bapak : Wati untuk sementara ini tidak boleh bertemu
dengan siapapun, termasuk kau. Pulang sajalah, aku lagi pusing sekarang.
BAPAK
BANGKIT, MELANGKAH TAPI MENDADAK MENGHENTIKAN LANGKAH, MENOLEH KEARAH PEMUDA
DENGAN PANDANGAN TAJAM.
Bapak : Kau harus tahu bahwa bila terjadi kegagalan
dengan kedua pelamar Wati, aku akan pergi dari sini untuk selamanya.
Pemuda : Mau pindah kemana?
Bapak : Kemana saja kami kehendaki.
Pemuda : Tapi, apakah itu juga kehendak Wati?
BAPAK CEPAT
MASUK KEDALAM RUANG DALAM. PEMUDA MEMPERHATIKAN DENGAN HERAN. PEMUDA DIKAGETKAN
KETUKAN PADA PINTU. KEMUDIAN MEMBUKANYA, MUNCUL PELAMAR I DENGAN GUGUP, KAGET BERHADAPAN
DENGAN PEMUDA. PELAMAR I SENYUM SAMBIL MENGELUARKAN SAPU TANGAN WANGI DAN
MENGUSAP-USAPKAN PADA WAJAHNYA.
Pelamar I : Ah, kukiranya you. Kukira siapa. Lama
tidak jumpa, ya. Tapi kebetulan sekali you ada di sini. Bagaimana
keadaan Wati?
Pemuda : Aku sendiri sudah sebulan tidak ketemu.
Rupanya sedang dipingit. Bapaknya melarang Wati keluar dan bertemu laki-laki,
termasuk aku. Malahan barusan bapak dengan keras melarangku untuk menemui Wati.
Pelamar I : Well, I kira larangan itu tak
ada buruknya, dan di mana bapak?
Pemuda : Baru saja masuk. Katanya lagi pusing.
Pelamar I :
Tapi I harus ketemu bapak segera. Ada yang I mau tanyakan
Pemuda : Kukira sekarang bapak tidak mau digangu, tapi
jika memang sangat perlu silahkan menemuinya sendiri.
Pelamar I : I kuatir nanti ia akan penasaran, O ya
apa tadi you melihat sainganku menghadap bapak?
Pemuda : Tidak, aku hanya melihat kepergiannya.
Pelamar I : Mungkin bapak menceritakan pada you tentang
diriku dan sainganku ?
Pemuda : Ooo ..tentang lamaran kalian ?
Pelamar I : Ya..apa bapak berkomentar ? apa beliau bicara
tentang persetujuan ?
Pemuda : maksudnya, siapa yang disetujui ?
Pelamar I ; Ya, siapa yang diterima ?
Pemuda : Tak ada kudengar bapak menyatakan siapa
diantara kalian yang diterima atau ditolak.
Pelamar I : Well, kalau begitu masih merupakan suatu
teka-teki yang menegangkan. But eh tapi mungkin Wati pernah menceritakan secara
pribadi pada you. Siapa diantara kami yang akan menjadi pilihannya ?
Pemuda : Kenapa tidak langsung bung tanyakan sendiri
Pelamar I :
Tentang hal itu wati selalu menjawab no
comment
TERDENGAR
KETUKAN, PEMUDA DATANG MENGHAMPIRI PELAMAR II, PELAMAR I DAN II SALING
BERTATAPAN DENGAN KEBENCIAN . PELAMAR I DENGAN ACUH TAK ACUH MENGAMBIL SAPU
TANGAN DAN MENUTUP HIDUNGNYA.
Pelamar II : Wah, untung bung ada disini sekarang, aku
perlu bertemu bapak. Tolong panggilkan.
Pemuda : Menyesal sekali aku tak berani
Pelamar II : Tapi bung, aku ada urusan penting sekali
dengan bapak. Penting sekali bung
Pemuda : Semuanya juga punya keperluan yang sama, tapi
akupun tak berani memangilkan bapak, jika bung suka, silahkan tunggu saja dulu
disini
Pelamar II : Begini saja bung, kalau bapak lagi capek biar
saja. Tolong bung panggilkan watiku…
MENDADAK
PELAMAR I TERTAWA LALU MENUTUPI MULUTNYA DENGAN SAPUTANGAN
Pelamar II : Aneh, udara dalam ruangan ini berbau apek
Pelamar I : Mengherankan, hawa tiba-tiba berbau tengik.
Pelamar II : Apek!
Pelamar I :
Tengik!
Pelamar II :
Ya, apek, ya tengik. Sebab disini ada
manusia borjuis komprador nekolim, ketawalah ngakak tapi ingat sebentar lagi
rasakan pembalasan rakyat !
PELAMAR I MENGHAMPIRI PEMUDA LEBIH DEKAT LAGI
Pelamar II : Bung tahu penderitaan rakyat kita sekarang ini
akibat rongrongan kaum nekolim yang melancarkan subversi ekonomi dengan bantuan
antek-anteknya disini. Kaum borjuis kapitalis cekokan Wall street, sekarang
sedang giat melancarkan aksinya untuk merongrong revolusi kita. Merekalah yang
lebih dulu akan kita ganyang, bila saatnya tiba kaum progresif-revolusioner
bangkit dari lembah penderitaan. Saatnya akan tiba rakyat akan menjadi hakim.
Dan pasti manusia borjuis komprador nekolim yang sekarang akan membeli Wati
akan kita ganyang !
Pelamar I : Kasihan Wati kalau sampai jadi istri seorang
tukang obat picisan.
Pelamar II : Sebagai seorang anggota DPR, anggota pimpinan
front Nasional, aku tak bisa terima penghinanan tuan !
Pelamar I : Ooo, tuan bisa saja mengajukan resolusi
kutukan, tapi I hanya menunjuk pada kenyataan, bahwa ada seorang propagandais
obat picisan yang melamar Wati
Pelamar II : Aku peringatkan tuan……..
PELAMAR II
GERAM AKAN MENGHAMPIRI PELAMAR I YANG BERSIKAP TENAG SAJA, TAPI PEMUDA
MENGHALANGI
Pemuda : Kuminta kalian jangan bikin ribut, tunggu
sebentar, aku panggilkan bapak.
PEMUDA
BURU-BURU MASUK KERUANG DALAM. PELAMAR II DENGAN SIKAP TEGANG TERUS
MEMPERHATIKAN PELAMAR I YANG MASIH BERSIKAP TENANG.
Pelamar II : Catat ini, sebentar lagi rakyat akan bangkit
untuk mengganyang habis komprador kapitalis busuk macam tuan! Rakyat bukan sapi
perahan, rakyat sudah matang kesadaran politiknya, sudah tahu bahwa
kapitalis-kapitalis borjuis macam tuan adalah antek-antek nekolim yang selama
ini memeras keringat rakyat, melaparkan rakyat.
Pelamar I : Sungguh kasian rakyat kita. Mereka terus
menerus dikibuli badut-badut politik yang mengaku juru selamat revolusi dan
kerjanya cuma main komisi, makan suap, manipulasi, korupsi, bikin inflasi,
memproduksi slogan-slogan basi, indoktrinasi-indoktrinasian. Pantas ayam-ayam
mati kelaparan dalam lumbung padi. Pantaa komunis dapat pasaran laris untuk main
agitasi, dengan berlagak sebagai pendekar rakyat yang kelaparan dengan slogan
revolusi berselimutkan baju sosialis.
Pelamar II : Sinis! Itu bukti tuan komunisto-phobi, bukti
tuan anti rakyat, tuan telah menghina rakyat dan pemimpin revolusi, tuan telah
menelanjangi topeng sendiri. Sekarang nampaklah tampang srigala tuan, tampang
manusia kontra revolusi! Satu bukti…
Pelamar I : Satu bukti bahwa tuan seorang badut yang takut
melihat tampangnya sendiri di muka cermin.
Pelamar II : Apa? Coba ucapkan sekali lagi.
Pelamar I : Cukup satu kali. Tuan bukan orang tuli. Dan
tuan tidak perlu main agitasi di sini dengan menunjukkan gigi tuan yang begitu
kuning.
Pelamar II : Bangsat!
BAPAK MUNCUL
DIIKUTI PEMUDA. BAPAK DENGAN PANDANG MARAH MELIHART KE ARAH PELAMAR I DAN II.
BAPAK MENGANGKAT KEDUA TANGANNYA KE ATAS.
Bapak : Ada apa kalian ribut-ribut di sini?
Pelamar II : Bangsa borjuis busuk ini…
Pelamar I : Tuan komunis tengik ini…
Bapak : Diam semua. Kalau mau ribut, perang tanding,
di lapangan sana. Jangan dalam rumahku.
PELAMAR I DAN
II MENURUT DIAM. PELAMAR I BERSIKAP TENANG. PELAMAR II TEGANG.
Bapak : Aku kan sudah bilang. Harap kalian sabar
menanti keputusanku. Sabar! Sekarang ternyata kalian menyerbu kesini bikin
ribut. Mau berkelahi segala. Lantas mau apa kalian kemari lagi tanpa kuundang,
hah?
Pelamar I : Maafkan. Kedatanganku sebenarnya hanya untuk
mencari kehebohan bukan untuk mendesak bapak. Tapi hanya ingin menanyakan
tanggal pasti tentang kabar keputusan bapak.
Bapak : Persoalan ini bukan masalah dagang, nak. Aku
tidak bisa diikat dengan detik, menit, jam dan hari yang pasti. Itu akan
kutetapkan pada saat yang tepat menurut anggapanku sendiri.
Pelamar I : Baik, bapak. Aku akan menanti dengan bersabar
hati. Ijinkan aku mohon diri. (BERSIKAP HORMAT, MEMBERI SALAM DENGAN KEDUA
TANGAN) Maafkan tingkah lakuku yang kurang senonoh, yah. (BAPAK MENGANGGUK
MENJABAT TANGANNYA, LALU MELANGKAH CEPAT KELUAR TANPA MENOLEH KANAN KIRI.
PELAMAR II MENCIBIR LALU MENGHAMPIRI BAPAK)
Pelamar II :
Sekarang kawan, eh bapak, saksikan dengan
mata kepala sendiri. Betapa tengik mentalnya brojuis kapitalis ini.
Bapak : Dan kau nak, apa urusanmu?
Pelamar II : Begini kawan, eh bapak. Aku kurang sabar, tapi
bukan aku mau me-fait accompli bapak, makanya aku memerlukannya kemari. Tapi
ada satu soal yang urgen yang harus kuberitakan kepada bapak, yakni bahwa
kondisi dan situasi politik di tanah air kini sedang sangat gawat. Karena
situasi politik yang mengancam jalannya revolusi kita itulah, aku sebagai
pekerja politik dihadapkan dengan tugas-tugas yang sangat berat, tugas-tugasku
praktis menyita seluruh waktuku. Karena itu aku menyarankan agar bapak bisa
menetapkan waktu pernikahanku secepat mungkin, mengingat situasi sekarang
pernikahan tidak bisa dilangsungkan dengan resepsi besar-besaran tapi itu
gampang, bila kelak situasi mengijinkan pasti kita selenggarakan resepsi massal
yang meriah sekali. Yang paling penting sekarang ini, bapak bisa secara resmi
atau secara pribadi menyetujui lamaranku.
Bapak : Bagiku soal melamar adalah soal keluarga,
bukan soal politik dan tidak ada sangkut pautnya dengan urusan politik. Aku
tidak peduli. Pilihanku bukan perhitungan dagang yang dipengaruhi urusan
politik. Aku tidak bisa memenuhi desakanmu untuk mengambil keputusan sekarang
atau dalam dua tiga hari mendatang. Aku tidak mau didesak-desak dalam hal ini.
kalau mau, nak harus bersabar, tapi kalau tidak, pilihlah wanita lin. Habis
perkara.
Pelamar II : Lho, bukan begitu…
Bapak : Jadi silahkan menunggu saja.
Pelamar II : Tentu aku akan menunggu. Tapi bapak harus
memahami kondisi poltik sekarang ini…
Bapak : Cukup. Jangan sebut-sebut lagi itu politik.
Dalam hal ini aku tidak mau dagang sapi dan tidak ada tawar menawar lagi. nak
mau menunggu atau tidak itu terserah.
Pelamar II : Ya, apa boleh buat, kalau begitu. Demi masa
depan Wati, aku patuh pada kehendak Bapak. Hanya saja…
Bapak : Tidak pakai hanya saja. Aku sudah cukup jelas:
mau menunggu atau tidak. Kalau tidak, lamarlah perawan lain saja. Mengerti?
Pelamar II : Baiklah, aku mengalah. Aku akan menunggu. Sekarang
pamit dulu.
TANPA
MEMBERIKAN SALAM HORMAT PADA BAPAK, PELAMAR II CEPAT MELANGKAH KELUAR. BAPAK
MENGHEMBUSKAN NAFAS PANJANG DAN DENGAN LESU DUDUK DI KURSI.
Bapak : Berabe. Konyol semua!
Pemuda : Bagaimanapun juga bapak harus memilih di
antaranya.
Bapak : Aku bilang mereka konyol semua.
Pemuda : Apa itu berarti bapak menolak kedua-duanya?
Bapak : Ya. Sekarang ini aku bilang pasti. Keduanya
kutolak semua. Dan segera akan kuberitakan lewat surat, agar mereka tidak lagi
muncul kesini. Aku muak melihat tampang mereka.
Pemuda : Beruntunglah Wati. Karena dia pernah
menyatakan tidak seorangpun di anatara keduanya yang menjadi pilihan hatinya.
Dan sekarang rasanya terbuka baginya untuk menentukan pilihannya sendiri.
Bapak : (TAJAM MELIHAT PEMUDA) Apa maksudmu?
Pemuda : Tentunya sekarang bapak akan menyerahkan pada
Wati kembali. Siapa kiranya lelaki yang dipilih untuk menjadi suaminya.
Bapak : Tidak. Aku tidak akan membicarakan lagi soal
lamaran lelaki.
Pemuda : Tapi bagaimanapun juga Wati harus bapak lepaskan.
Bapak : Tidak. Wati tidak akan kulepaskan.
Pemuda : AKu tidak mengerti jalan pikiran bapak.
Bapak : Jelas sudah. Wati tidak akan kulepaskan.
Pemuda : Aku yakin itu bertentangan dengan keinginan
Wati pribadi.
Bapak : Itu aku tidak peduli.
Pemuda : Dia bukan seorang biarawati yang bisa hidup
tanpa cinta lelaki. Dia tidak akan bisa hidup dicekik kesepian cinta, untuk
mati sia-sia sebagai perawan tua. Dia mutlak merindukan cinta lelaki. Dia
memerlukan seorang suami.
Bapak : Jangan berkhotbah ya. Di dunia akulah yang
mengenalnya dari siapapun.
Pemuda : Tapi bapak mengenalnya sebagai anak kandung
sendiri, bukan sebagai jejaka yang secara fitrah tahu arti gairah birahi
perawan. Dan kalau memang mengenalnya lebih dari siapapun juga di dunia ini,
tentunya bapak tahu kerinduan hati perawan Wati. Mengapa pula bapak hendak
mengekang kodrat hidupnya? Bukan bapak yang akhirnya memikul tanggung jawab
hidupnya, melainkan Wati pribadi.
Bapak : (MELOTOT. MAJU SELANGKAH. TANGAN KANANNYA
DIACUNGKAN KE ARAH WAJAH PEMUDA) Mulutmu kelewat lancang, anak muda.
Pemuda : Mengapa bapak tidak menanyakannya sendiri
kepada Wati secara terbuka? Dia selalu mengeluh padaku, bahwa bapak kian lama
kian mengekang keinginan hidupnya. Seolah-olah hendak menguasainya. Ya.
Seolah-olah bapak hendak menebus kesepian hidup bapak sejak kematian ibu Wati,
dengan jalan mengurung Wati sebagai hidup. Dapatkah bapak membantah kebenaran
ini?!
Bapak : (TANGGANNYA GEMETAR. KAKINYA DIHENTAKKAN)
Tutup mulutmu.
Pemuda : Bapak takut melihat bayangan hitam bapak
sendiri.
Bapak : Setan! Kau mau memfitnah aku ya?
Pemuda : Sama sekali tidak. Sekarang ini dapat kita
buktikan. Coba hadapkan Wati kemari. Beri kesempatan padanya secara terbuka
untuk mencurahkan isi hatinya.
Bapak : Sekarang kau menganggap aku sebagai terdakwa
ya?!
Pemuda : Aku cuma mau menunjuk kepada kebenaran dan
kuncinya ada pada Wati, bukan pada bapak, bukan pula pada diriku.
Bapak : Kau kelewat kurang ajar sekarang. Kau sudah
terlalu jauh ikut campur persoalan keluarga. Cukup sampai di sini, pergi. Dan
jangan coba-coba menghubungi Wati.
Pemuda : Baik. Aku akan pergi. Tapi dalam satu hal
bapak pasti akan gagal. Bagaimanapun juga bapak tidak akan mampu menguasai hati
perawannya. Dia pasti akan membangkang dengan caranya sendiri, dan aku akan
senantiasa berdiri di pihaknya apapun yang terjadi.
Bapak : Diam! Pergi, setan! Pergi!
PEMUDA CEPAT KELUAR.
Bapak : Setan! Kiranya dia lelaki ketiga. Dan itu
berarti bencana bagiku. Bencana. Tapi aku tidak sudi sejarah berulang kembali.
Biarpun setan-setan menghalang, aku tidak akan melepaskan Wati. Tidak akan!
(MEMANDANG POTRET WATI) Wati, apa kau diam-diam bersekongkol dengan dia? Atau,
apa kau diam-diam bercintaan dengan dia di belakangku selama ini? Diakah lelaki
pilihan hatimu? Terkutuklah kalau begitu. Tapi biar serbu setan menghalang
tidak akan kubiarkan lelaki merenggutmu dari tanganku. (MENGHAMPIRI LEBIH
DEKAT) Wati sayang, kau adalah pengganti ibumu dalam hidupku. Kau adalah
pengisi sisa hidupku di alam fana ini. aku akan mati dicekik kesepian bila kau
pergi. Wati sayang, jangan tinggalkan aku, jangan tinggalkan aku.
DI RUANG
DALAM MENDADAK TERDENGAR SUARA MENJERIT. MULA-MULA TERDENGAR KERAS, MERINTIH
MENGULANG KATA)
Suara Wanita : Ibu……! Ibu… ibu… !
BAPAK TERSENTAK
KAGET. PANDANGANNYA MENGARAH KERUANG DALAM. WAJAHNYA MENJADI CEMAS DAN
KETAKUTAN.
Bapak : Wati, apa yang terjadi?
BABAK II
Bapak : Kenapa kau menyeru ibumu wati . kenapa tidak
menyeru aku. Kenapa kau begitu tega tinggalkan aku, seperti juga ibumu dulu
tega mendahului kealam baka. Dan kini kau telah lari pergi malapetaka sisi hari
tua. Tak ada lagi kedamaian. Sekarang semua gelap. Aku dimakan gerhana…Ooo,
bencana jahanam!
TERDENGAR KETUKAN
KERAS DARI PIMTU LUAR. BAPAK MEMBALIK DENAGN GERAM
Bapak : Aku tidak teriam tamu. Pergi !
PINTU DIDORONG
DARI LUAR, MUNCUL PELAMAR II, HENTI DIAMBANG DENGAN TEGANG
Bapak : Kau….kau mau apa lagi ha ! Aku tidak teriam
tamu…pergi !
Pelamar II : Aku kemari bukan untuk bertemu denganmu. Aku
kemari ingin bertemu watiku, jadi tidak perduli apakah kawan, eh bapak terima
tamu atau tidak, karena bapak harus maklum situasi politik di tanah air sedang
kritis, komplotan nekolim dengan dibantu antek-anteknya disini dengan dukungan
dewan jendral reaksioner mau lancarka kudeta, perebutan kekuasaan negara,
tetapi kaum kami sedang mati-matian berjuang untuk menyelamatkan revolusi, tapi
sayang keadan kami sedang terdesak, namun kami akan terus berjuang dengan
segala cara, dengan aksi massa dan perang gerilya, karena itulah sekarang aku
memaksa diri sekarang untuk bertemu Watiku, harap bapak maklum.
Bapak : persetan dengan apa yang terjadi. Persetan
dengan segala dalihmu . aku tidak bisa terima tamu. Pergi!
Pelamar II :
Sudah kukatakan tadi bahwa aku kemari
hanya untuk bertemu Watiku , dan keadan darurat begini, aku sebagai bakal suami
Wati berhak penuh untuk bertemu dengannya dan membawa pergi ketempat yang lebih
aman.
Bapak : Apa!?! Kau mau menculik Wati?
Pelamar II :
Jangan salah tafsir, aku bukan mau menculiknya, aku Cuma ingin mengamankannya,
dia akan aman dibawah perlindunganku dan kawan-kawan lain.
Bapak : Sebelum kamu lebih nekad lagi anak muda,
dengan ini kunyatakan lamaranmu kutolak, nah sekarang tidak ada alasan lagi aku
bertemu dengan Wati.
PELAMAR II DENGAN BERANG MENGHAMPIRI BAPAK
Pelamar II : Kau tolak lamaranku !?! Tapi persetan dengan
penolakan itu. Diteriam atau ditolak itu hanya soal pro forma kuno. Aku tidak
peduli. Pokoknya aku sekarang harus membawanya demgam atau tanpa persetujuanmu.
Urusan belakang !
Bapak :
Kau akan kecewa sekali karena wati telah
pergi
Pelamar II :
(DENGAN GERAM) Pergi!?!?! Ayo tunjukan
dimana dia berada, tunjukan !!!
BAPAK DENGA
SIKAP ACUH TAK ACUH MELANGKAH KEKURSI DAN DUDUK DENGAN LESU
Pelamar II : Tunjukan , atau barangkali sudah dijual pada
borjuis tengik itu ya ?!?
Bapak : Ia telah pergi dengan kemauannya sendiri. Ia
tidak akan kuserahkan pada sainganmu dan tidak padamu. Tidak pada lelaki
manapun di dunia ini. dia pergi atas kemauannya sendiri. Bunga layu itu tak
akan bisa lagi dipersunting tangan lelaki.
MENDADAK DI
LUAR TERDENGAR BUNYI KLAKSON MOBIL BEBERAPA KALI. PELAMAR II KAGET, WAJAHNYA
MENEGANG.
Pelamar II : Tanda bahaya. Sompret!! (MELANGKAH KE PINTU
LUAR DAN BERHENTI DI AMBANG, TANGAN KANANNYA DIACUNGKAN KE ARAH BAPAK) Awas
kalau ternyata kelak kau cuma main sandiwara, nanti aku kemari lagi untuk
memboyong Wati-ku, tak peduli apapun katamu. Tapi kalau kelak ternyata kau
terbukti kongkalingkong dengan borjuis tengik itu dan menjual Wati kepadanya,
kau akan menyesal sekali. Tapi baik. Mulai sekarang kuperingatkan, apabila kami
telah kembali membawa kemenangan, aku akan memboyong Wati-ku tak peduli kau
tolak. Tak peduli sudah diperisteri borjuis busuk itu sekalipun. (KELUAR SAMBIL
MEMBANTING PINTU)
Bapak : Untung Wati-ku sudah pergi, kalu tidak pasti
dia diculik, diperkosanya, diperbudak olehnya. (MEMANDANG POTRET) Ya. Untung
kau sudah pergi. Kalau tidak, ada lelaki nekat yang akan merenggutmu.
(TERDENGAR KETIKAN) Pergi setan yang satu, datang setan yang satu pula. Tapi
mengapa aku harus takut. Jahanam demi jahanam akan aku hadapi. (MEMBALIK KE
ARAH PINTU LUAR) Masuk. Pintu tidak dikunci.
Pemuda : Sekiranya bapak berkenan memafkan kedatanganku
yang tidak dikehendaki.
Bapak : Sekiranya sekarang kau mau angkat kaki dari
sini.
Pemuda : Ya. Aku akan segera pergi. Tapi ijinkan, aku
bertemu dengan Wati. Aku mendapat firasat buruk sekali setelah kuterima
suratnya yang terakhir lewat pos bertanggal akhir september yang lalu.
Bapak : Apa? Wati mengirim surat padamu?
Pemuda : Ya. Dalam cengkeraman ketakutannya, secara sembunyi
ia berhasil mengirim suratnya padaku sampai suratnya yang terakhir ini.
(MENGELUARKAN SAMPUL SURAT. DIKELUARKAN ISINYA DAN DIPERLIHATKAN)
Bapak : Apa yang diberitakannya? Apa?
Pemuda : Bapak akan dapat mendengarnya secara terbuka.
PEMUDA MEMBACAKAN SURAT DENGAN NYARING
Pemuda : …… Bacalah kembali apa yang tersurat dan
tersirat dalam surat-suratku yang lampau. Kau akan dapat merasakan betapa
menderita batinku dari waktu ke waktu. Selalu kutahan diri akan tetapi aku
semakin rapuh dari hari ke hari. Tembok-tembok kamarku semakin lama semakin
kian menyempit, kian aku merasa tercekik. Celakanya, tak dapat kulihat jalan
keluar. Kurasakan di manapun aku berada, di sanalah mata bapak menguasaiku, dan
bapak kandungku, mas, bapak kandungku seolah seorang hantu. Tingkahnya,
sikapnya, semakin terasa aneh. Oh, mas, kasih sayangnya padaku memang tak
kuragukan, akan tetapi yang kurasakan ngeri adalah cinta kasihnya yang begitu
berlebihan kepadaku. Sekarang aku baru sadar, bahwa cinta kasihku sangat tidak
wajar. Bukan lagi cinta kasih seorang bapak kepada anak kandungnya sendiri. Aku
sudah berusaha menginsyafkannya, tetapi beliau menerimanya dengan kemarahan.
Sejak bulan agustus aku dikurung dalam kamar, jadi tawanan bapak kandungku
sendiri. Kata bapak: Aku dipingit, karena pada bulan september ada dua orang
lelaki akan melamarku. Aku tahu siapa mereka. terus terang aku tidak suka
keduanya. Aku mohon pada bapak untuk diperkenan memilih jodoh sendiri. Tapi
bapak menolak mentah-mentah, meski setuju bahwa aku tidak usah menerima lamaran
keduanya. Sejak itu timbul perasaan aneh dalam hatiku. Setiap kulihat bapak,
aku seperti melihat hantu jahat. Dia menguasai hidupku, aku benci padanya.
Sekali pernah kucoba lari, tapi bapak berhasil mencegatku. Aku disiksa dengan
kejam, dilempar dalam ruangan terkunci. Ya. Bapak berusaha menghiburku dengan
belalian sayang. Tapi aku muak. Dia membelaiku tidak sebagai anak kandung
sendiri, tetapi sebagai wanita. Aku menolak, bahkan memberontak dengan segala
daya. Dan kini aku seolah-olah semakin tercekik dalam kengerian. Mas, aku tak
tahan lagi. demi Tuhan, tolong aku. Selamatkan dari hantu jahat ini. atau aku
akan terpaksa menyelamatkan diriku sendiri dengan caraku sendiri. Itu terpaksa
kutempuh. Bila aku sudah tidak bisa bertahan lagi menghadapi si hantu……
(MENDADAK BAPAK MELONCAT MEREBUT SURAT. MEROBEK-ROBEKNYA DENGAN GERAM)
Bapak : Anak celaka! Anak durhaka!
Pemuda : Bukan Wati, tapi kau. Kau bapak celaka! Bapak
gila! Bapak setan!
Bapak : Setan! Kau pengkhianat nista. Ternyata selama
ini kau main gila dengan Wati-ku di belakang punggungku. Bagus betul, ya. Dan
sekarang kau merasa jadi pahlawan juru selamat Wati, ya.
Pemuda : Aku hanya mau menyelamatkan dari rongrongan
kejammu dan kegilaanmu. Untuk itu aku sekarang kemari. Jangan kau halangi.
Bapak : Benarlah, rasa kuatirku selama ini. Kaulah
lelaki ketiga yang datang untuk melihat dan menang. Tapi sayang, kau akan
kecewa sekali, pahlawan. Karena apapun yang akan perbuat. Kau tidak akan
bertemu dengannya. Karena Wati sudah pergi.
Pemuda : Wati sudah pergi? Tidak! Dia tidak akan lolos
dari cengkeraman bapak. Wati pasti masih ada di sini.
Bapak : Kau lelaki ketiga. Sayang kau akan gigit jari.
Karena ia sudah pergi.
PEMUDA TIDAK MENGHIRAUKAN BAPAK, TERUS
MENGHAMBUR LARI MASUK RUANG DALAM. BAPAK MENGIKUTI DENGAN BERJALAN DUA LANGKAH, PANDANGANNYA
TERARAH KE RUANG DALAM.
Bapak : Sekarang terbuka semua rahasia. Rumah ini
menganga lebar untuk menelan bencana demi bencana, kutukan demi kutukan, laknat
demi laknat. Dan segera semua akan pergi. (MENOLEH KE ARAH POTRET) Sekarang aku
tahu mengapa kau pergi dengan menyebut ibu bukan bapak, karena kau sudah kutuki
aku, menjahanamkan aku, sihantu jahat. Dan kini kau tuntut pembalasan. Itu dia
pahlawanmu sudah datang, tapi terlambat. Dia datang bukan untuk menang, tapi
untuk menelan kekalahan, menggigit kekecewaan. Atau kau mengharap dia untuk
membunuhku?
PEMUDA MUNCUL
DENGAN NAFAS TERENGAH-ENGAH, TANGAN KANANNYA MENGGENGGAM SEBUAH BUKU CATATAN.
MATANYA BERKACA BASAH, TETAPI TAJAM PANDANGANNYA TERARAH PADA BAPAK.
Bapak : Sudah kau saksikan sendiri kenyataannya,
bukan? Kau sudah buktikan sendiri kebenaran ucapanku, bahwa kau akan kecewa
sekali? Ya. Kau lelaki ketiga, tapi sayang kau tidak akan bisa memboyong Wati.
Kau lihat sendiri. Wati sudah pergi.
Pemuda : Pembunuh! (MENCEKIK. MENDORONG BAPAK KE
BELAKANG. BAPAK DENGAN GEMETAR MENUDING PEMUDA)
Bapak : Pengecut! Kau pengecut! Tentu kau bisa
membunuh aku yang sudah tua bangka ini. kau akan memenangkan perkelahian, sebab
aku tidak akan melawan. Tidak akan. Kalau kau mau bunuh, silahkan. Tapi sebelum
mati, aku akan tertawakan kau sebagai pengecut.
Pemuda : (MUNDUR SELANGKAH) Haram kulumuri diriku
dengan darah jahanam macam kau bapak celaka! Kau bapak jahanam yang membantai
anak perawannya sendiri!
Bapak : Setan! Kau tuduh aku membunuh Wati. Buka
matamu. Kau tidak buta tuli, kan? Baca buku hariannya dan tadi kau lihat
jenasahnya. Adakah tanda Wati diperkosa, atau dibunuh?
Pemuda : Kesintinganmu-lah yang telah membunuhnya. Kau
bertanggung jawab penuh atas kematiannya.
Bapak : Tidak! Aku sama sekali tidak menghendaki
kematiannya. Dan sekarang tidak ada seorang yang lebih menderita dengan
kepergian Wati, kecuali aku. Sekarang aku telah kehilangan segala yang paling
kusayang, sekarang aku kehilangan hidupku sendiri.
Pemuda : Kau telah memperkosa hati cinta perawan Wati.
Kau telah membantai hak hidup perawan Wati. Itulah yang mengakibatkan
kematiannya. Disitulah letak kesintinganmu, disitu pulalah letak tanggung
jawabmu, bapak celaka. Kau merasa diri paling merugi dengan kematian Wati?
Tidak! Akulah yang paling merasakan kengerian ini. sebab padaku-lah Wati telah
menyerahkan seluruh hati kasihnya. Dan aku pulalah yang telah menyerahkan hati
cinta padanya.
Bapak : (GEMETAR MENGANGKAT KEDUA TANGAN DENGAN
TERKEPAL) Cinta khianat!
Pemuda : Terkutuk kau, bapak yang telah memperkosa hati
cinta anak perawannya sendiri. Kaulah bapak yang khianat.
Bapak : (MUNDUR SELANGKAH. MENUTUPI WAJAH)
Tenggelamlah aku kini dalam kegelapan jahanam. Gelap – gelap!
BAPAK TERUS
MASUK KE RUANG DALAM. PEMUDA SEJENAK MEMPERHATIKANNYA, LALU MENGHEMBUS NAFAS
PANJANG. DAN DENGAN LESU MENGHAMPIRI MEJA. DIAMBILNYA BUKU-BUKU WATI YANG
TERGELETAK. PEMUDA DIKAGETKAN KETUKAN DARI LUAR. PELAMAR I MASUK)
Pelamar I : Hallo. Well, sekali lagi ketemu you di sini. Kebetulan sekali I membawa
berita penting. You boleh dengar. Pasti you sudah dengar
kehebohan kemarin yang melanda negara kita. Satu kudeta, pengkhianatan.
Sekarang jelas yang mendalanginya orang-orang komunis. Tapi beribu syukur, kup
mereka abortif, eh gugur, gagal. Kalau mereka berhasil sudah pasti sainganku
itu komunis busuk menyeretku ke sumur maut. Nah, yang paling penting ialah
berita yang barusan aku terima. Ternyata salah seorang tokoh pemimpin politik
pemuda komunis yang ikut memimpin pemberontakan adalah sainganku sendiri. Dan I
yakin bahwa bapak Wati tidak akan menerima seorang pengkhianat bangsa.
Dengan sendirinya gugurlah haknya untukmelamar Wati, bukan begitu? Dan I harap
persoalan pinanganku bisa dibikin clear sekarang. Pesta nikah sudah I
siapkan. Sekarang dapatkah you menolongku untuk bertemu bapak dan
Wati sekarang.
Pemuda : Sayang bung terlambat.
Pelamar I : Kenapa? Apa bapak sudah menetapkan sainganku
jadi menantunya? (PEMUDA MENGGELENGKAN KEPALA) Atau Wati sudah diculik
gerombolan sainganku barangkali? (PEMUDA GELENG KEPALA) Lalu apa yang terjadi?
Apa I terlambat datang, atau Wati diserobot lelaki lain?
Pemuda : Wati ada di sini, tapi kau terlambat tiba.
Pelamar I : I jadi bingung. Apa maksud you sebenarnya?
Pemuda : Wati sudah mati.
Pelamar I : Mati? Wati mati? Apa yang terjadi di sini?
Bagaimana dia bisa mati?
Pemuda : Pergilah kekamar. Pintu-pintu di sini sekarang
sudah tidak ada yang terkunci lagi. lihatlah sendiri jenasah Wati masih
terbaring damai di ranjangnya.
Pelamar I : Astaga. Tapi bagaimana itu bisa terjadi?
Pemuda : Terjadilah apa yang terjadi.
Pelamar I : Tapi bagaimana Wati bisa mati?
Pemuda : Bung akan dapat segera mengetahuinya sendiri.
Bacalah halaman terakhir buku harian Wati ini yang bertanggal 30 september.
Bung akan tahu apa yang terjadi.
PELAMAR I MEMBACA AGAK NYARING.
Pelamar I : Demi Tuhan, ikhlas kuterima takdir malangku
selama ini. tapi aku sudah terlalu rapuh untuk bertahan lebih lama. Jiwaku
sudah dilumpuhkan dera siksa batin yang berkepanjangan. Tak ada matahari dalam
hidupku. Semuanya kelam mengerikan. Dan wajah bunda kandung kian datang dari
alam barzah sana. Padanya ingin aku adukan tingkah gila bapak. Tidak, aku tidak
bisa lebih lama hadir di alam fana ini sebagai pemuas nafsu gila bapak. Aku
akan segera bertemu bunda, aku mau segera mengadu padanya. Di tanganku kini
kugenggam dua kapsul racun yang kubawa semasa studi farmasiku dulu. Benda ini
akan mengantar kepergianku ke alamat bunda beberapa menittanpa rasa sakit……
Semoga Tuhan Yang Maha Pengampun melimpahkan belas kasihan padaku, mengampuni
dosaku, kelancanganku. Aku terpaksa, Tuhan Maha Tahu. Karena aku tidak sudi
diperlakukan isteri oleh bapak kandungku sendiri. Ya Allah, terimalah rohku,
hamba-Mu yang teramat malang ini…… (SUARANYA TERSENDAT. GONTAI MELANGKAH KE
KURSI SAMBIL DUDUK DILETAKKAN BUKU HARIAN YANG MASIH TERBUKA DI ATAS MEJA)
Semoga, kabul doa dan harapannya. Terkutuklah si bapak gila. Di mana dia
sekarang?
Pemuda : Di ranjang mati sana.
Pelamar I : Bersama mayat wati? ia membiarkan mayat wati
selama beberapa hari
Pemuda : Silahkan bung lihat sendiri , wajah wati
begitu damai disana, meski jasad matinya sudah mulai berbau. Tapi, si tua
sinting masih juga enggan melepaskannya. Dan sekarang mungkin dia masih terus
membelainya dan meratapinya.
Pelamar I : Astaga, itu harus segera dicegah . apa yang
ahrus kulakukan sekarang?
Pemuda : Terserah apa saja maumu.
Pelamar I : Aku akan menderita kerugian total sekarang.
Tapi pada siapa aku akan menuntut rugi ini, Wati Cuma satu, takan ada lagi
penggantinya. Dan terhadap bapak gial itu I tidak bisa berbuat apa-apa
selain kutukan dan makian, dan I tidak bisa mengambil tindakan terhadapnya,
tetapi bagaimana dengan mayat Wati, apakah akan kita biarkan membusuk dan terus
dibelai-belai oleh si gila itu? Apakah you tidak bisa mengambil tindakan?
Setidak-tidaknya you harus menyeret si gila itu dari kamar celaka itu.
Pemuda : Biarkan untuk sementara ia memuaskan
kesintingannya.
PEMUDA
MENDADAK TERSENTAK PANDANGANNYA NYALANG KE RUANG DALAM. PELAMAR I CEPAT BANGKIT
DENGAN KAGET DAN MENGIKUTI PANDANGAN PEMUDA KE RUANG DALAM.
Pemuda : Bau kain terbakar.
Pelamar I : Celaka, jangan-jangan dia bakar mayat Wati dan
rumah ini.
PEMUDA CEKATAN LARI MENGHAMBUR KE RUANG DALAM.
PELAMAR I MEMPERHATIKAN DENGAN CEMAS BINGUNG.
Pelamar I : Sialan! Duwit, kekasih ideal segalanya hilang.
Dan sekarang harus terlibat dengan urusan mayat dan orang gila segala. Sialan!
MENDADAK DARI DALAM TERDENGAR BAPAK BERTERIAK-TERIAK
NYARING.
Bapak : Pergi kau jahanam, pergi kau setan! Pergi!
Pelamar I : (MAJU SELANGKAH, PANDANGANNYA NYALANG KE RUANG
DALAM) Celaka, sekarang apa lagi yang terjadi di sana. Jangan-jangan mereka
duel. Dan kalau rumah ini sampai terbakar, lebih celaka lagi. sebaiknya aku
cepat-cepat angkat kaki saja.
PELAMAR I CEPAT
MEMBALIK DAN BURU-BURU MELANGKAH KE PINTU LUAR. TAPI SEGERA BERHENTI KETIKA
MENDENGAR SUARA NAFAS TERENGAH-EN MENDADAK PELAMAR I TERSENTAK KAGET
MENGALIHKAN PANDANGAN PADA BAPAK YANG MUNCUL DARI RUANG DALAM. BAPAK MENUTUPI
WAJAHNYA DENGAN KEDUA TELAPAK TANGAN YANG MENGGENGGAM SECARIK KAIN BEKAS
TERBAKAR API. TANGAN DAN BAJUNYA KOTOR BERLUMURAN ABU. BAPAK MELANGKAH AGAK
SEMPOYONGAN MENUJU KE TENGAH RUANGAN. PEMUDA JUGA TERSENTAK KAGET MELIHAT
KEHADIRAN BAPAK. BAIK PELAMAR I MAUPUN PEMUDA SAMA MELANGKAH MUNDUR SEDIKIT.
KEDUA ORANG ITU MENOROTI BAPAK YANG SUDAH BERADA DI TENGAH RUANGAN, DENGAN
PERASAAN TEGANG.
GAH PEMUDA
MUNCUL DARI DALAM; PELAMAR I BERDIRI DI AMBANG PINTU, SEDANG PEMUDA BERDIRI
DEKAT BUFET SAMBIL MEMBERSIHKAN LENGAN TANGANNYA YANG BERLUMURAN ABU.
Pelamar I : Bagaimana? Apa yang terjadi? Betul orang tua
gila itu membakar mayat Wati dan rumah ini?
Pemuda : Tidak. Dia hanya membakar wajahnya sendiri
dengan mencelupkan mukanya pada kobaran api. dia bakar wajahnya dengan tumpukan
pakaian Wati. Tadi sudah kucoba mencegahnya. Tapi sia-sia. Dan terjadilah apa
yang terjadi.
Pelamar I : Betul-betul sudah gila dia sekarang. Tapi itu
urusan pribadi, biar dia menggantung diri. Apa peduliku. Ayo, kita segera
angkat kaki dari sini sebelum kita langsung berurusan dengan orang gila. Bisa
nanti kita berurusan dengan polisi dalam peristiwa ini. bukan saja kita harus
jadi saksi, malah bisa kita dituduh berkomplot membunuh Wati.
Pemuda : Kita tak perlu takut menghadapi kenyataan.
Kita wajib menjadi saksi-saksi hidup di samping kesaksian celaka Wati dalam
buku hariannya itu.
Pelamar I : Ooo, no! Sudah kelewat rugi dalam
urusan Wati. I tidak mau menjadi lebih susah lagi. I tidak mau
terlibat lebih jauh lagi. nanti saja kalau sudahberes, I akan urus
segala keperluan, segala ongkos penguburan Wati. Mulai dari ongkos visum
dokter, karangan bunga, peti mati, nisan, seluruhnya I bayar. Sekarang,
biar I pergi. You saja yang tunggu di sini. Kalau perlu, you segera
saja panggil polisi. Siapa tahu orang tua gila itu semakin kalap, akibatnya you
bisa mendapat susah sendiri. Okay?
Pemuda : Kalau bung mau pergi, silahkan, pergilah. Tapi
bung tidak akan bisa lari dari kesaksian peristiwa malang ini.
Pelamar I : Jangan I di-fait accomli!
MENDADAK PELAMAR
I TERSENTAK KAGET MENGALIHKAN PANDANGAN PADA BAPAK YANG MUNCUL DARI RUANG
DALAM. BAPAK MENUTUPI WAJAHNYA DENGAN KEDUA TELAPAK TANGAN YANG MENGGENGGAM
SECARIK KAIN BEKAS TERBAKAR API. TANGAN DAN BAJUNYA KOTOR BERLUMURAN ABU. BAPAK
MELANGKAH AGAK SEMPOYONGAN MENUJU KE TENGAH RUANGAN. PEMUDA JUGA TERSENTAK
KAGET MELIHAT KEHADIRAN BAPAK. BAIK PELAMAR I MAUPUN PEMUDA SAMA MELANGKAH
MUNDUR SEDIKIT. KEDUA ORANG ITU MENOROTI BAPAK YANG SUDAH BERADA DI TENGAH
RUANGAN, DENGAN PERASAAN TEGANG.
Bapak : Aku dengar suara lelaki-lelaki di sini. Pasti yang
satu suara si pengkhianat jahanam. Satunya lagi? ya, aku ingat. Pasti itu,
sijuragan yang tergila-gila pada Wati. Si kenes, si banci apa yang yang mau kau
cari di sini? Sudah kau dengar kabar bencana? Sudahkah kau saksikan sendiri?
(BATUK-BATUK. MELANGKAH KE ARAH BUFET) Kalian lelaki-lelaki konyol! Kalian mau
memboyong Wati ha! Tidak bisa, tidak bisa! Wati adalah milikku pribadi, Wati
sekarang sudah pergi……(KETAWA. MELANGKAH LEBIH DEKAT KE BUFET) Tidak ada
seorangpun di antara kalian yang memenangkan pertandingan. Tidak juga lelaki
ketiga yang jahanam. Tidak ada seorang lelakipun di dunia ini yang bisa
memiliki Wati, kecuali aku. Tapi sekarang Wati sudah pergi. Aku ditinggalkannya
dalam kegelapan…… (MERABA DENGAN TANGAN KIRINYA PINGGIRAN BUFET SAMPAI MENYENTUH
POTRET) Wati sayang, kani kau sudah bebas dari incaran lelaki-lelaki lajang.
Tak ada lagi yang akan menyedihkan hatimu dengan lamaran-lamaran. Tak ada lagi
yang akan merayu, menyentuh-nyentuh jasadmu dengan berahi berapi. (TANGAN
KIRINYA MERABA, MENGUSAP-USAP POTRET. PELAMAR I DAN PEMUDA TERUS MEMPERHATIKAN
TINGKAH LAKU BAPAK DENGAN WAJAH-WAJAH TEGANG) Kini kau damai dalam abadi,
bukan? Ooo jangan, jangan kau mencibir bibir begitu. Apa Wati, kau bilang apa?
Aku jahanam tua bangka, katamu? Apa? Aku hantu jahat? Jangan manis, jangan kau
sakiti hatiku begitu rupa. Aku satu-satunya lelaki yang menyayangimu lebih dari
siapapun di dunia ini. Ooo hentikan cibiranmu itu Wati, hentikan! (TANGAN
KIRINYA MENYENTAK, DAN POTRET JATUH PECAH BERANTAKAN DI LANTAI. DENGAN GEMETAR,
TANGAN KIRI NYA DIANGKAT TEPAT DI HADAPAN WAJAHNYA, YANG MASIH DITUTUPI DENGAN
BEKAS BAKARAN KAIN DENGAN TANGAN KANAN NYA) Wati kau cuma sejangkauan di
hadapanku, kemarilah Wati. Kemarilah. Jangan bimbing aku dalam kekelaman
jahanam. Wati, bimbinglah aku bersamamu. Wati kemana kau? Kemana? Wati tunggu,
jangan tinggalkan aku. Tunggu – tunggu! (DENGAN TANGAN MENGGAPAI-GAPAI,
MELANGKAH KE ARAH PINTU LUAR)
Bapak : Tunggu Wati! Jangan tinggalkan aku dalam
kegelapan jahanam, jangan! Wati tumggu aku, tunggu!
BAPAK SEMPOYONGAN
MELANGKAH SAMPAI DIAMBANG PINTU LUAR, TANGAN KIRINYA BERHASIL MEMBUKA PINTU,
TERUS KELUAR SAMBIL BERSERU-SERU.
Bapak : Tunggu Wati, tunggu! Gelap-gelap!
PELAMAR I
MEMBURU KEARAH PINTU LUAR, BERDIRI DIANTARA DAUN PINTU YANG AGAK TERBUKA.
PELAMAR I MENGAWASI LANGKAH BAPAK, LALU CEPAT KEMBALI KEARAH PEMUDA YANG HANYA
MENGGELENG-GELENGKAN KEPALA
Pelamar I : Astaga, dia jalan begitu cepat ke jalan raya
aku kwatir….
Pelamar : Dia sudah diburu bayangan dosanya sendiri. Dan
kalau terjadi sesuatu atas dirinya, maka itu kehendak takdir. Biarkanlah dia
pergi dalam cekikan gelap yang dibukanya sendiri. Biarkan dia pergi bikin
perhitungan atas kesintingannya sendiri.
Pelamar I : I tidak mengerti apa yang ucapkan itu.
Now, cepat saja kita laporkan kepolisi segala kejadian ini. Eh biarlah I sendiri
yang pergi. You tinggal disini
saja mengurus mayat orang bunuh diri. Apalagi mayat kekasih idealku. Tolong
bung, you bereskan ya. Dengan sedanku, I dalam sepuluh menit
sudah tiba dikantor polisi.
PELAMAR I
BURU-BURU KELUAR. PEMUDA MENGHENBUSKAN NAFAS PANJANG. PANDANGANNNYA DIARAHKAN
KE POTRET YANG PECAH BERANTAKAN DI LANTAI. DENGAN GERAK TENANG PEMUDA MELANGKAH
MEMUNGUTI PECAHAN KACA POTRET , DAN DITATAP DENGAN PANDANGAN SAYU. KEMUDIAN
POTRET TERSEBUT DIUSAP-USAPKAN KE DADANYA SAMBIL BANGKIT PERLAHAN-LAHAN
Pemuda : Firasat burukku, jadi kenyataan, maafkan wati,
aku terlambat tiba.(MELANGKAH KEMEJA,POTRET DILETAKKAN DIATAS BUKU HARIAN) Tapi
akhirnya takdir juga yang menentukan segala cerita manusia. Takdir atas diri
perawan malang, atas diri lelaki-lelaki malang. Semuanya, insan-insan malang (MENUTUPI WAJAH DENGAN KEDUA
TELAPAK TANGAN)
TIBA-TIBA MUNCUL PELAMAR I DENGAN TERENGAH-ENGAH
Pemuda : Bung begitu cepat kembali.
Pelamar I : Aku tidak jadi ke polisi.
Pemuda : Mengapa?
Pelamar I : Mengerikan sekali bung, dia terkapar dibawah
roda truk, kurang lebih seratus meter dari jalan besar muka sana, rupanya dia
tertabrak waktu hendak menyebrang
dipersimpangan.tanpa mengjiraukan keramaian lalu lintas, sekarang dia terkapar
disana jadi tontonan orang banyak, Mengerikan sekali
Pemuda : tunai sudah dia menebus kesintingannya. Semoga
Tuhan mengampuninya. Sekarang semuanya sudah berlalu, ibu, bapak dan anak
berlalu sudah, takdir hitam. Berlalu sudah, segala bencana.
Pelamar I : Ya, tapi bagaimana dengan kita. Tidak cukup
kita berkabung, dan pasang iklan belasungkawa atas kematian bapak dan Wati yang
malang. Di sini, kita masih harus berurusan dengan mayat Wati. Di sana, nanti
kita masih harus berurusan dengan polisi jadi saksi.
Pemuda : Beruntunglah kita jadi saksi atas lakon
insan-insan malang ini. beruntunglah kita ikut merasakan kepedihan hakikat
cinta. Kalau saja kita mau mengerti, sekarang kita tambah dewasa dalam
menghayati lingkaran kehidupan fana. (DIHAMPIRI PELAMAR I)
Pelamar I : You benar sobat. Hidup – cinta, bahagia –
bencana tidak bisa kita hayati dengan logika eksakta belaka. Untung rugi
kehidupan, tidak bisa kita perkirakan menurut perhitungan dagang semata. Dari
kemalangan yang sama kita alami, dan kita saksikan bersama ini, I sadar
bahwa hidup kita dikitari misteri, dikuasai takdir Ilahi.
Pemuda : (MELEMPAR SENYUM. DIBALAS OLEH PELAMAR I) Kita
kubur yang mati bersama deritanya dan masa lalu. Besok, kita naik saksi untuk
yang lampau dalam meniti langkah kita menatap matahari.
*** Selesai ***
Post a Comment
Post a Comment