Naskah Gempa (B. Sularto)

3 comments
Berikut ini contoh naskah Gempa karya B Sularto.


PARA PELAKU


Letnan             : Wanita usia 27 tahun, Komandan Kompi “BANTENG”

Mayor              : Pria usia 35 tahun, Komandan Batalyon 013 “LASKAR GABUNGAN”

Kapten             : Pria usia 30 tahun, Komandan Kompi “GARUDA HITAM”

Kopral              : Pria usia 29 tahun, Ajudan Komandan Kompi “BANTENG”

SUATU WAKTU SEMASA
BABAK REVOLUSI BERSENJATA

TENGAH BERGELORA


BABAK I


WAKTU PAGI CERAH. DALAM RUANG PERTEMUAN YANG DIDIRIKAN SECARA DARURAT. RUANG YANG SANGAT SEDERHANA ITU BERISIKAN SEBUAH MEJA, DUA BUAH KURSI SEDERHANA.
MASUKLAH MAYOR. WAJAHNYA GAGAH DISERAMI RAMBUT GONDRONG DAN KUMIS JENGGOT MENEBAL. PADA IKAT PINGGANGNYA TERGANTUNG SEPUCUK VICKERS, DAN SEBILAH BELATI MENGHIAS PADA SISI LAIN. IA DIIRINGI KOPRAL, YANG DENGAN SIKAP HORMAT MENYILAHKAN DUDUK. KOPRAL BERPAKAIAN SERAGAM KUMAL, BERSENJATAKAN SEBILAH BAYONET.

Mayor        :  Berapa lama lagi aku musti menunggu.
Kopral        :  Sabarlah sedikit pak.
Mayor        :  Jangan ditawar lagi.
Kopral        :  Apanya pak?
Mayor        :  Kesabarannya! Sabar itu prinsip. Tidak bisa ditawar-tawar. Ngerti?!
Kopral        :  Kalau begitu kuralat ucapanku tadi. Sabarlah, titik-habis.
Mayor        :  Ya. Tapi pertanyaanku belum bung jawab.
Kopral        :  Setepat hitungan ilmu pasti tentu tidak dapat pak. Jadi, sabarlah. (SERAYA MAU PERGI)
Mayor        :  He, tunggu dulu! Bung jadi ajudannya sudah berapa lama?
Kopral        :  Sejak dia diangkat jadi komandan Kompi Banteng.
Mayor        :  Hem. Siapa yang mengusulkan pada Markas Besar Tentara untuk mengangkatnya jadi komandan dengan pangkat letnan?
Kopral        :  Kami sendiri, seluruh anak buah kesatuan.
Mayor        :  Kalian?! Astaga, kalian jantan-jantan yang berotot banteng mengusulkan seorang betina untuk menjadi komandan kesatuan kalian. Lucu sekali! (LEDAK TERTAWANYA)

KOPRAL SESAAT NAMPAK JENGKEL, TAPI MENDADAK PULA LEDAK TAWANYA, HINGGA MAYOR CEPAT MENGHENTIKAN TAWANYA. DAN DENGAN KURANG MENGERTI, MENATAP KOPRAL.
Mayor        :  He, apa yang bung tertawakan ha!
Kopral        :  Lelucon itu.
Mayor        :  Wah celaka. Jadi bung tidak merasa ya.
Kopral        :  Justru karena saya merasa sekali.
Mayor        :  Apa yang bung rasakan ha!
Kopral        :  Kelucuan bapak.
Mayor        :  Apanya yang lucu.
Kopral        :  Itulah! Bapak menganggap orang lain badut. Padahal orang yang bapak anggap badut itu justru menganggap bahwa yang badut adalah bapak. (MAYOR MENGHENTAKKAN KAKI KANAN TANDA MARAH) Sabarlah pak. (TERUS CEPAT-CEPAT KELUAR)
Mayor        :  Setan! Jika saja kau bawahanku, rasakan!

MAYOR MENGHANTAM TINJUNYA KE MEJA. DENGAN SIKAP DONGKOL IA TERUS DUDUK DI TEPI MEJA. TANGANNYA MEROGOH SAKU CELANA. DIKELUARKANNYA SELEMBAR KERTAS TERLIPAT. SESAAT DIBACA, LALU DIREMAS-REMASNYA DALAM GENGGAMAN, SAMBIL MENGGERUTU GEMAS.

Mayor        :  Tidak bisa. Ini tidak bisa terjadi! Dengan alasan apa pun juga kita tidak bisa menerima pengangkatan seorang betina menjadi komandan kompi. Terlebih pula dengan jabatan komandan sektor. Aku komandan sektor, tidak bisa terima penghinaan total ini!

KOPRAL MUNCUL LAGI DIIRINGI KAPTEN KOMANDAN KOMPI “GARUDA HITAM”. KAPTEN YANG BERWAJAH CAKAP DENGAN KUMIS MANIS ITU, SENYUM-SENYUM, SAMBIL MENYEKA RAMBUTNYA YANG SUDAH LICIN TERSISIR RAPI. PAKAIAN SERAGAMNYA NAMPAK MASIH BARU BERSIH. PADA DADA KIRI  TERSEMAT LENCANA BERGAMBAR GARUDA WARNA HITAM. DAN SEHELAI SAPU TANGAN HITAM POLOS, NAMPAK TERATUR TERKALUNGKAN PADA LEHERNYA. PADA IKAT PINGGANGNYA YANG DIHIASI RANTAIAN PELURU PISTOL, SEPUCUK CLOT SMITH, TERGANTUNG MANIS DENGAN GAYA COWBOY. MELIHAT KEDATANGAN MEREKA ITU MAYOR NAMPAK TAMBAH DONGKOL. CEPAT IA BANGKIT BERTOLAK PINGGANG, MATANYA MENYOROTKAN KEMARAHAN PADA KOPRAL.

Mayor        :  Jangan main-main ya! Bukan dia yang kunantikan.
Kopral        :  Sabarlah pak. Memang bukan beliau, eh, bukan bapak kapten ini. Beliau seperti bapak juga keperluannya.
Mayor        :  Aku mau ketemu dan bicara dengan komandan bung, berempat mata saja, tahu !
Kopral        :  Tentu pak, tentu. Saya jamin pasti berempat mata saja. Eh, bergilir dengan bapak kapten ini. bapak giliran pertama.
Mayor        :  Jadi apa perlunya bung kapten ini dibawa masuk.
Kopral        :  Tentu saja nanti bapak kapten akan keluar bila bapak sedang berunding dengan komandan kami.

MAYOR MAU BICARA LAGI, TAPI BERHENTI KARENA PERHATIANNYA MENDADAK TERTUJU KEPADA KAPTEN YANG MENYELA TEPAT PADA WAKTUNYA DENGAN DEHAM-DEHAM. KAPTEN MNEGHORMAT DENGAN SEDIKIT MEMBONGKOKKAN BADAN, SAMBIL TERSENYUM RAMAH.

Kapten       :  Rasanya akan lebih baik sekiranya kita berkenalan, bukan begitu?
Kopral        :  Usul yang simpatik. Eh kenalkan pak. Beliau, mayor, Komandan Batalyon 013 “Laskar Gabungan”.

KAPTEN DENGAN TERTIB MEMBERI HORMAT SECARA MILITER. MAYOR MEMBALAS DENGAN ANGGUKAN KECIL.

Kopral        :  Dan beliau, kapten. Komandan kompi “Garuda Hitam”.
Kapten       :  Suatu kehormatan bisa berkenalan dengan mayor komandan batalyon yang begitu kenamaan. Secara pribadi, saya merasa mendapat kehormatan besar untuk bisa berkenalan dengan pribadi bapak, yang dikelilingi cerita dan warta tentang kepahlawanan bapak yang mengagumkan.
Mayor        :  Hem. Kapten dan kesatuan bung juga sudah banyak kukenal dalam berita.
Kopral        :  Nah selamat berkenalan.

KOPRAL TERUS KELUAR. KAPTEN MEROGOH SAKU MENGELUARKAN SEBUNGKUS ROKOK, RAMAH MENAWARKAN PADA MAYOR, YANG MENERIMANYA DENGAN MENARIK SEBATANG, SAMBIL MENGAMATI ROKOK YANG SUDAH TERSELIP ANTARA JARI-JARINYA.

Mayor        :  Hem, ini rokok…
Kapten       :  Ah cuma barang hasil rampasan yang kurang berharga dari saku-saku serdadu-serdadu musuh, yang patrolinya barusan kami cegat dan kami sikat habis.

CEKATAN KAPTEN MENYALAKAN KOREK API, DENGAN SIKAP HORMAT MENYULUTKANNYA PADA ROKOK YANG SUDAH TERJEPIT DI BIBIR MAYOR, KEMUDIAN MENYULUTKANNYA PADA ROKOK YANG DIISAPNYA SENDIRI.

Mayor        :  Terus terang saja bung ya, aku sudah sering dengar tentang kesatuan bung. Cerita yang sangat tidak baik.
Kapten       :  Bahwa kesatuanku lebih cenderung sebagai kesatuan gerombolan liar, gerombolan pengacau. Demikian?
Mayor        :  Ya.
Kapten       :  Bahwa kesatuanku bertindak sebagai penguasa bersenjata yang merupakan satu-satunya penguasa di sektor ini. dan bahwa saya cenderung sebagai penguasa tanpa mahkota yang berpraktek sebagai diktator militer atas sektor, yang begini strategis lagi kondang subur loh jenawi. Demikian?
Mayor        :  Begitulah.

KAPTEN TERTAWA KECIL SAMBIL MENGHEMBUSKAN ASAP ROKOK DENGAN SIKAP KEBANGSAWANAN. LALU SUARANYA MELUNCUR LANCAR.

Kapten       :  Ya begitulah fitnah orang yang menaruh iri dengki. Betapa kan tidak. Sejak kesatuanku berhasil menguasai sektor ini, adalah satu kenyataan bahwa tentara musuh tidak lagi berani mencoba-coba merebut wilayah ini. sedang sebelum itu, tak pernah ada satu kesatuan laskar pejuang ya, bahkan kesatuan tentara resmi yang berhasil menghalau tentara pendudukan dari sektor ini. sekarang sebagai yang mungkin telah bapak dengar sendiri, saya telah berhasil mengkoordinasi sedemikian rupa, sehingga musuh hanya berani menempatkan pos-pos kesatuannya jauh di daerah perbatasan sana. Jadi wajarlah, bila banyak orang yang menaruh iri dengki atas hasil yang saya capai. Dan adalah sangat wajar pula, bila mereka yang iri dengki berusaha memfitnah dengan menyiarkan warta berita dusta.
Mayor        :  Hem, itu yang akan kuselidiki. Dusta dan kebenarannya. Itulah salah satu alasanku untuk menggerakkan batalyon-ku ke sini.
Kapten       :  Satu tindakan yang tepat lagi bijaksana dari bapak. Namun pada kesempatan ini pula saya akan memberikan satu bukti lagi. bukti betapa dusta dan fitnah yang dilancarkan orang terhadap diriku. Sekiranya saja apa yang dikatakan orang mengenai diriku itu benar, maka pastilah……

KAPTEN CEPAT CEKATAN MENCABUT COLTNYA. CEKATAN PULA MEMBUKA KUNCI PISTOL DAN DITODONGKAN KE ARAH DADA MAYOR YANG TERSENTAK KAGET.

Kapten       :  Dalam beberapa detik lagi, bapak sudah tergeletak mati sebelum bapak sempat mencabut Vickers dan meneriakkan pertolongan.

LALU DENGAN LINCAHNYA KAPTEN MEMAINKAN PISTOL DI TANGAN, MENGUNCI KEMBALI. DAN SAMBIL TERSENYUM DENGAN GERAKAN ENAK MEMASUKKAN SENJATA KE TEMPAT SEMULA. TENANG PULA MEMBUANG DAN MENGINJAK API PUNTUNG. MAYOR YANG MASIH NAMPAK KAGET MENGHEMBUSKAN NAFAS PANJANG.

Kapten       :  Dan apa kenyataan yang bapak saksikan?

MAYOR BERUSAHA MENGUASAI RASA KAGETNYA, TERTAWA RINGAN SAMBIL MENGANGGUK-ANGGUK.

Mayor        :  Ya, ya, nyatanya bung tidak tembak aku. Dan itu mendorong sikapku untuk tidak terlalu mempercayai segala cerita buruk tentang diri bung.
Kapten       :  Saya jadi tambah kagum akan kebijaksanaan bapak. Dan untuk tidak mengurangi kebijaksanaan bapak yang kini cenderung mempercayai saya, maka saya akan mengimbangi dengan memberikan satu bukti lagi. yakni sikap kesatuanku untuk dengan segala kemampuan yang ada, memberikan bantuan sebesar-besarnya kepada bapak. Kami yakin bahwa kehadiran batalyon bapak akan lebih memantapkan posisi kami dalam menghadapi tentara musuh.
Mayor        :  Bagus! Bantuan bung pasti sangat kuhargai. Bung harus tahu, tujuan utama gerakan batalyonku ke sektor sini adalah menjadikan wilayah ini sebagai pusat pertahanan kami, untuk kemudian melancarkan serangan umum terhadap musuh yang masih bercokol di perbatasan sana.
Kapten       :  Kami pasti akan merasa bangga untuk bernaung di bawah panji-panji batalyon pimpinan bapak. Selain itu pak, rasanya kita akan dapat lebih mengakrabkan kerjasama kita, dalam menghadapi perintah-perintah Markas Besar Tentara, yang kulihat masih teremas dalam genggaman bapak itu.

MAYOR SESAAT MEMPERHATIKAN REMASAN KERTAS YANG MASIH BELUM TERLEPAS DARI GENGGAMANNYA.

Kapten       :  Khusus untuk menghadapi perintah-perintah yang tertulis pada kertas itulah, saya kemari.
Mayor        :  Maksud bung menolaknya?
Kapten       :  Setepat dugaan bapak. Dan saya kemari ini adalah untuk secara resmi, tegas-tegas menolaknya. Menolak untuk menggabungkan diri pada tentara nasional. Konsekuensinya, menolak kedudukan selaku komandan sektor atas wilayah ini yang oleh Markas Besar Tentara sudah dipercayakan kepada letnan wanita itu, dengan segala wewenangnya.
Mayor        :  Kalau begitu kita sejalan.

MAYOR DENGAN GEMAS MEROBEK-ROBEK REMASAN KERTAS, LALU DILEMPAR KE BAWAH DAN DIINJAKNYA.

Mayor        :  Aku akan pertahankan kedudukan batalyonku sebagai kesatuan laskar pejuan yang bebas. Persetan dengan segala perintah Markas Besar Tentara! Dan khusus terhadap komandan betina itu, akan kutunjukkan padanya nanti, bahwa dialah yang musti mengakui aku sebagai komandan sektor ini.
Kapten       :  Jadi bapak selain mempersetankan segala perintah Markas Besar Tentara itu, juga bermaksud hendak menguasai sektor ini?
Mayor        :  Ya. Bagaimana pendapat bung.
Kapten       :  Ooo, tentu saya dukung, baik secara resmi maupun pribadi. Untuk lebih menguatkan dukungan itu, selain pernyataan-pernyataan saya tadi, dengan ini pula saya selaku komandan kompi “Garuda Hitam” menyatakan kesetiaan kami terhadap bapak. Kami serahkan segala wewenang serta tanggung jawab wilayah ini kepada bapak selaku komandan batalyon 013.
Mayor        :  Bagus – bagus!
Kapten       :  Cuma saja yang menjadi pemikiran saya sekarang ini, adalah konsekuensi pembangkangan kesatuanku terhadap letnan wanita yang telah diberi wewenang dan kedudukan selaku komandan sektor.
Mayor        :  Oho, serahkan soal itu padaku. Aku yang akan ambil alih segala pertanggung jawaban. Tapi bung, terus terang saja aku sendiri merasa dihadapkan kesulitan untuk bertindak secara militer terhadap wanita itu. Sebab dia perempuan. Dan perempuan adalah perempuan. Dan perempuan itu, eh……
Kapten       :  Kabarnya, lumayan juga.
Mayor        :  Ha! Apa?!
Kapten       :  Ah kita ‘kan lelaki pak.

MAYOR TERTAWA RINGAN, DISAMBUT SENYUM KAPTEN.

Mayor        :  Wah, aku sudah terlanjur bicara terus terang sama bung. Jadi apa boleh buat, aku akan selalu bicara begitu, khususnya mengenai dia. Eh, perempuan itu. Dia sudah kukenal lama bung. Jadi bung tentu tahu kenapa aku sulit untuk bertindak tegas secara militer terhadap dia.
Kapten       :  Oo begitu?
Mayor        :  Ya. Soalnya antara aku dan dia ada sejarahnya.
Kapten       :  Sejarah pribadi, bukan begitu pak?
Mayor        :  Ya, tentu. Tentu saja bukan sejarah militer. Meski kenalku dengan dia sejak aku sudah jadi opsir kesatuan laskar. Dan dia mengenal aku sejak dia masih jadi opsir Barisan Srikandi di Laskar Wanita. Waktu itu dia masih eh, masih perawan tentu saja. Masih kembang yang tengah memekar wangi jadi rebutan antara kami, jantan-jantan yang mengelilinginya. Dan eh, aku sendiri termasuk di antara mereka yang ingin mempersuntingnya……
Kapten       :  (BERSIUL PANJANG) Nada suara bapak mulai romantis iramanya.
Mayor        :  Apa itu tadi bung bilang?
Kapten       :  Romantis. Ah semacam ungkapan pernyataan yang serba manis, indah lembut mewangi, yang senantiasa lestari membarai rasa hati insani yang tengah kasmaran dibius kasih berahi.
Mayor        :  Wah, enak didengar itu. Dengan kata lain bung menyatakan bahwa aku ada rasa tertentu terhadap dia ya.
Kapten       :  Itu kan tafsiran bapak. Soalnya bapak sendiri bagaimana. Ada atau tidak.
Mayor        :  Kalau pun ada itu urusanku pribadi.
Kapten       :  Maaf pak, sama sekali saya tidak ingin campuri urusan pribadi bapak. Cuma saja sekiranya bapak benar menyimpan rasa tertentu padanya, dan karena kalian telah lama saling mengenal, rasanya itu akan dapat merentangkan jalan sutera yang memberikan kemungkinan serba baik, lagi manis dalam penyelesaian masalah yang bapak hadapi sekarang. Rasanya secara pribadi saja, bapak akan dapat meyakinkan padanya, bahwa dia sebaiknya menarik kompinya dari wilayah ini. dan tidak layak untuk menjadi komandan sektor.

MAYOR MENGANGGUK-ANGGUK, LALU MONDAR MANDIR SESAAT DENGAN WAJAH SERIUS. DAN SEBUAH SENYUM PADA BIBIRNYA CEPAT MENGUBAH SIKAP WAJAHNYA. IA MENGHAMPIRI KAPTEN YANG MENYAMBUT DENGAN SENYUM. DITEPUK-TEPUKNYA PUNDAK KAPTEN DENGAN SIKAP AKRAB.

Mayor        :  Aku dapat ilham. Untuk menyelesaikan persoalan ini tanpa menggunakan prinsip kekerasan.
Kapten       :  Tanpa mengurangi kepercayaan saya terhadap kewicaksanaan bapak. Namun, bapak akan dihadapkan alternatif yang sangat gawat bila nanti sikap bapak yang begitu simpatik ternyata malah ditolak olehnya.
Mayor        :  He, ya. Tapi kemungkinan kegagalan ajakanku secara baik-baik itu memang sudah termasuk perhitungan. Nah, bila kemungkinan itu jadi kenyataan, apa boleh buat aku bikin perhitungan sendiri terhadapnya. Akan kutunjukkan segala kewibawaan dan kekuatan serta kekuasaanku selaku komandan batalyon. Sedemikian rupa, hingga paling sedikit ia akan mengakui bahwa segala wewenang yang diberikan atasannya, hanya berlaku di atas kertas saja. Dan apa yang akan mampu diperbuatnya, bila kompinya yang kerdil ltu kulucuti ha.
Kapten       :  Satu taktik yang mengagumkan dari bapak.
Mayor        :  Jadi, bung tidak perlu pusing-pusing lagi terhadap dia.
Kapten       :  Benar pak. Seluruhnya saya percayakan pada bapak. Ijinkan saya kembali ke pasukan untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan penyerahan kekuasaan militer sektor ini ke tangan bapak. Dan persiapan penggabungan pasukan ke dalam batalyon bapak.
Mayor        :  Bagus. Tunggu sebentar. Eh, sudah terpikir olehku untuk mempertimbangkan bung menjadi pembantuku yang penting dalam staf komando batalyon.
Kapten       :  Terima kasih untuk kehormatan yang bapak anugerahkan.

KAPTEN MEMBERI HORMAT SECARA MILITER. MAYOR MEMBALAS DENGAN ANGGUKAN PENUH KEBANGGAAN. SELEPAS KAPTEN PERGI, MAYOR KETAWA KECIL SAMBIL BERTOLAK PINGGANG ANGKUH.

Mayor        :  Sepantasnya sudah bila sekarang pangkatku kunaikkan lagi. dari mayor menjadi letnan kolonel.

TAWA MAYOR TERHENTI DENGAN MASUKNYA KOPRAL DIIRINGI LETNAN. WANITA ITU BERPAKAIAN SERAGAM. PADA IKAT PINGGANGNYA TERGANTUNG JENIS SOLT. PANDANG LETNAN LANGSUNG TERTUJU WAJAH MAYOR, YANG MENYAMBUT DENGAN SENYUM LEBAR, TAPI LETNAN BERSIKAP DINGIN. MELIHAT SIKAP LETNAN, MATA MAYOR MENGALIHKAN PANDANGANNYA KE ARAH KOPRAL YANG NAMPAK KAGET KERNA KAPTEN TELAH TIADA.

Mayor        :  Bung tidak perlu cari dia. Kami barusan berunding, segala persoalannya sudah diserahkan kepadaku semua. Dia tidak merasa perlu lagi ketemu komandan bung ini.
Kopral        :  Oh ya, kenalkan……
Mayor        :  Tidak perlu pakai upacara perkenalan lagi. bukan begitu nyonya?

LETNAN TIDAK MEMBALAS, IA MEMBERI ISYARAT KEPADA AJUDANNYA, DAN KELUARLAH KOPRAL. BEGITU KOPRAL PERGI, MAYOR HIDANGKAN SENYUMNYA LAGI. TAJAM PANDANGANNYA MENELITI LETNAN YANG MASIH TEGAK, MULAI DARI SEPATU SAMPAI KEPALA. MAYOR MAJU DUA LANGKAH, SAMBIL TERUS SENYUM-SENYUM.

Mayor        :  Senang ketemu kau kembali, setelah bertahun aku tidak pernah beroleh kesempatan untuk menikmati wajahmu. Hem, wajahmu begitu awet muda. Masih seperti dulu saja……

TANPA MENJAWAB SEPATAH KATA PUN LETNAN MENGHINDAR MENUJU KE BALIK MEJA, PANDANGANNYA DINGIN SAJA. MELIHAT SIKAP LETNAN, CEPAT MAYOR MENGUBAH SIKAPNYA PULA.

Mayor        :  Maafkan, seharusnya aku lebih dahulu menyampaikan bela sungkawa dengan gugurnya suamimu dalam menjalankan tugas. (LETNAN HANYA MEMBALAS DENGAN SEDIKIT MENGANGGUKKAN KEPALA) Oh ya, apakah sudah diperoleh kepastian sebab musabab tewasnya suamimu bersama anak buahnya tatkala menurut berita, sedang bertugas melakukan ekspedisi ke sektor ini.
Letnan        :  Kebetulan aku ditugaslan kemari, kelak akan dapat kuselidiki siapa yang telah menewaskan almarhum bersama anak buahnya. Mungkin ditewaskan patroli musuh, mungkin juga oleh kesatuan bersenjata liar yang banyak berkeliaran di sektor ini. tapi mayor, lepas dari itu semua, ijinkan aku bertanya apa maksud mayor kemari.
Mayor        :  Sebab aku memang bermaksud kemari. Siapa yang akan menghalangi keinginanku bila aku memang bermaksud kemari.
Letnan        :  Memang tidak ada. Tapi ada edaran pengumuman Markas Besar Tentara, aku yakin mayor selaku komandan batalyon 013, tentu sudah mengetahui bahwa sektor ini sekarang sudah resmi berada di bawah pengawasan kekuasaan tentara nasional. Semua kesatuan laskar yang berada di daerah operasi ini, wajib menggabungkan dan meleburkan diri. Atau bila enggan, wajib menarik diri dari sektor ini. dan tidak boleh ada satuan laskar mana pun juga, memasuki teritorial ini tanpa seijin kami yang telah mendapat wewenang selaku komandan sektor.
Mayor        :  Yaa – yaa itu aku sudah tahu. Tapi harus juga kau ketahui bahwa gerakan batalyonku kemari adalah sudah menjadi program kami sendiri. Kami akan bersihkan sektor ini dari gerombolan bersenjata yang bertindak semaunya sendiri, demi nama baik laskar pejuang. Kemudian kami duduki sektor ini, untuk sementara, guna menyiapkan serangan umum terhadap kesatuan-kesatuan musuh yang masih bercokol di perbatasan sana. Jadi jangan salah paham, sama sekali bukan maksud kami menjadikan sektor ini, wilayah kekuasaan kami untuk selamanya. Jika kelak kami sudah bersihkan sektor ini dari gerombolan pengacau, kami berangkat menghantam musuh, silahkan nyonya jadi komandan sektor.
Letnan        :  Secara pribadi, aku dapat mengerti dan menghargai mayor. Tapi mayor agak terlambat. Sektor ini sekarang sudah kami……
Mayor        :  Tadi aku sudah bilang, aku sudah tahu. Tapi sadarlah, siapa nyatanya yang sekarang ini menguasai wilayah ini. kompimu? Atau batalyonku? Dan ingat, batalyonku sejak dilahirkan dari kawah revolusi hingga sekarang senantiasa berdiri sendiri. Tidak pernah kami tunduk perintah panglima teritorium manapun juga yang diangkat oleh tentara nasional. Juga sekarang ini. akulah komandan batalyon, aku pulalah yang menentukan, bukan perintah-perintah dari Markas Besar Tentara. Karenanya dengan sangat menyesal musti kukatakan padamu, bahwa sekarang pada kenyataannya batalyonku-lah yang menguasai ini sektor. Maka aku tidak peduli, kau bilang sudah agak terlambat, atau sudah sangat terlambat. Kenyataannya akulah yang saat ini jadi komandan sektor, sampai atas kemauanku sendiri, aku tinggalkan wilayah ini. baru kau boleh praktekkan jabatan dan segala wewenang seperti yang tercantum di atas kertas pengangkatan namamu.
Letnan        :  Sudah?
Mayor        :  Ya, itulah pernyataanku yang resmi.
Letnan        :  Ada yang tidak bersifat resmi.
Mayor        :  Bersifat pribadi.
Letnan        :  Persoalan perjuangan bukan persoalan pribadi.
Mayor        :  Tentu, itu aku sudah tahu. Tapi kaupun tahu, bahwa banyak masalah dan kesulitan perjuangan yang bisa diatasi dengan memperoleh saling pengertian lewat pembicaraan-pembicaraan secara pribadi.

LETNAN MENUNDUKKAN MUKA, DENGAN PENUH PEMIKIRAN IA BERJALAN BEBERAPA LANGKAH.

Mayor        :  Bagaimana dengan usulku untuk mencari pendekatan pengertian.
Letnan        :  Silahkan.

LETNAN DUDUK, MAYOR SENYUM DENGAN SEBUAH HARAPAN YANG MEMBIAS PADA WAJAHNYA.

Mayor        :  Tentu kau sudah mengenal siapa aku, sejak kau masih pegang Barisan Srikandi dulu. Tentu pula kau masih ingat betapa aku……
Letnan        :  Ah jangan begitu sentimentil.
Mayor        :  Sentimentil? Bukankah sifat itu yang justru menentukan berhasil dan tidaknya sesuatu urusan pribadi. Terlebih buat seorang lelaki yang berusaha menyentuh hati wanita.
Letnan        :  Ini bukan perundingan cinta.
Mayor        :  Tapi, dari dulu sikapku padamu selalu bertolak dari itu.
Letnan        :  Dulu aku menolak. Sekarang aku tetap pada pendirianku. Mari, kumohon bung jangan menyakiti hatiku sekali lagi. (MENUTUP WAJAHNYA DENGAN KEDUA TANGANNYA)
Mayor        :  Wanita tetap wanita. Betapapun perkasamu menghadapi peluru bertanding maut. Tak kuasa hatimu tegak disentuh kenangan kasih.

LETNAN MEMBUKA WAJAHNYA DENGAN MATA BERKACA-KACA, NAMUN IA TABAH MENATAP MAYOR.

Letnan        :  Jangan salah tafsir.
Mayor        :  Kurasa tidak. Aku tahu rawan hatimu, yang ditandai alamat pada kedua matamu, tertuju pada kenangan almarhum suamimu. Ia dengan segala keagungan kasihnya, lestari membungai kenangan mewangi sepanjang hidupmu. Namun, kaupun sadar kini ia cuma satu khayali yang membekasi hati. Betapapun indah dan nikmatnya suatu khayali, takkan kuasa terus menerus menahan tuntutan kenyataan fitri insani. Tidakkah kau akan terima kenyataan ini? bahwa masih ada pria yang sanggup menggantikan almarhum……
Letnan        :  Bila saja ijinkan aku menyatakan. Pastilah setulus nuraniku, kunyatakan rasa hormat dan penghargaanku terhadap simpatimu padaku. Berbarengan itu pula kunyatakan penyesalanku, bila sikapku tetap seperti dulu. Ketahuilah, dia bagiku adalah yang pertama sekaligus yang terakhir kali.

WAJAH MAYOR BERUBAH MEMBIASKAN KERUNTUHAN HARAPANNYA, YANG DICOBANYA MENYEMBUNYIKANNYA DENGAN SEBUAH SENYUM YANG TERTAHAN.

Mayor        :  Luar biasa keteguhan sikapmu yang tidak pernah berubah sejak dulu hingga detik ini. hatimu seteguh granit memang……
Letnan        :  Bung untuk tidak lebih menyiksa batinku – batinmu, aku menolak pembicaraan-pembicaraan pribadi ini. Tidak pada tempatnya dalam suasana perjuangan nati-hidup melawan musuh-musuh revolusi, kita mengedepankan urusan dan kepentingan pribadi dengan segala sentimennya. Jika bung benar-benar berjuang untuk pengabdian cita revolusi, janganlah itu diiringi pamrih-pamrih pribadi yang tersembunyi. Dan jika bung hendak selesaikan persoalan ini, janganlah diselewengkan untuk memburu tujuan pribadi. Nah, mari kita bicara dalam ikatan disiplin diri. Tegasnya, setelah mayor menyatakan membangkang, sekarang apa yang mayor maui.

SESAAT MAYOR TAMPAK BIMBANG DILANDA KECEWA, NAMUN SEGERA PULA IA MENGUASAI DIRI SAMBIL MEMPERTEGAK DIRINYA. DENGAN SEGALA KEANGKERAN PANDANGNYA IA MENATAP LETNA YANG BERSIKAP TENANG. MAYOR LALU MENJAUH BEBERAPA LANGKAH.

Mayor        :  Selaku komandan Batalyon 013,  penguasa militer wilayah perang ini, aku perintahkan letnan selaku komandan Kompi “Banteng”, untuk tunduk di bawah kuasaku selaku komandan sektor.
Letnan        :  Aku tolak perintah mayor.
Mayor        :  Baik! Kuperintahkan letnan segera menarik mundur kompimu dari sektor ini.
Letnan        :  Mayor, kami cuma tunduk pada perintah Markas Besar Tentara Nasional.
Mayor        :  Aku cukup toleran menghadapi kalian. Karenanya kalian masih kuberi waktu untuk berpikir. Tapi ingat, jangan coba-coba sampuri urusan kami, bila tidak ingin kami lucuti secara paksa. Sementara akan kutunjukkan padamu, suatu demonstrasi kekuatan untuk kau laporkan pada atasanmu. Sekarang ini juga akan kulancarkan serangan kilat. Mengobrak-abrik dan mengusir tentara penjajah daro perbatasan. Yang sanggup kami lakukan sendiri tanpa bantuan tentara nasional, tanpa komando seorang perempuan!
Letnan        :  Mayor, kuminta membatasi diri. Jangan mayor menghina kaumku!
Meyor        :  Menghina?! Tidak! Aku cuma menyatakan, dengan tandas bahwa aku sama sekali tidak sudi diperintah oleh seorang perempuan, sekalipun perempuan itu berpangkat jendral. Perempuan tidak ditakdirkan untuk memimpin, tapi untuk dipimpin!
Letnan        :  Idih, mentang-mentang mayor seorang jantan ya! Lalu merasa diri jagoan! Bung penilaianmu terhadap kaumku, adalah penilaian yang kelewat kerdil, keliwat tengik. Tidak bung, sekarang kaum wanita sudah tidak sudi lagi untuk dijadikan obyek yang musti menyembah-nyembah memperbudakkan diri pada kaum lelaki. Kami, di luar rumah tangga, punya hak sederajat dengan kalian dalam segala lapangan kerja. Kami berhak dan bisa pegang pimpinan yang konsekuen, juga dalam perjuangan bersenjata. Sekarang, besok dan seterusnya. Dan kami wanita berjuang, bukan karena pamrih untuk disebut Srikandi, dinamai pahlawan dan dimahkotai pangkat jendral dengan segala dekorasi bintang di dada. Tapi, semata karena kesadaran dan tanggung jawab revolusi. Ngerti?!
Mayor        :  Waduh – waduh, luar biasa revolusionernya perempuan ini.
Letnan        :  Wah – wah luar biasa –luar biasa kerdil, tengik dan sombongnya lelaki ini!
Mayor        :  Coba ulangi sekali lagi, manis.
Letnan        :  Luarbiasa kerdil, tengik dan sombongnya kau!

MAYOR GEMETAR KARENA MARAH, GIGINYA GEMERTAKAN, KEDUA GENGGAMANNYA DIKEPALKAN KUAT-KUAT SETENGAH DIACUNG-ACUNGKAN.

Mayor        :  Jika saja, ya, jika saja kau bukan makhluk betina……
Letnan        :  Bung mau apa! Jangan ambil peduli jenisku. Kita sama-sama pejuang! Ayo jangan kepalang tanggung!

MAYOR MENGENTAKKAN KAKINYA, DAN DENGAN MARAH DONGKOL IA TERUS MENUJU KE PINTU. DI AMBANG IA BERHENTI, DENGAN SIKAP KEMARAHANNYA IA MENYOROT LETNAN YANG MENYAMBUT DENGAN SIKAP MENANTANG.

Mayor        :  Akan kuperlihatkan di hadapan mata kau, bahwa cuma kami lelaki yang sanggup pimpin perjuangan kebebasan.

MAYOR TERUS KELUAR, BEGITU IA HILANG BEGITU LETNAN SETENGAH MEMBURU DAN HENTI DI AMBANG SAMBIL BERTOLAK PINGGANG DONGKOL.

Letnan        :  Heh, mentang-mentang pegang batalyon, lalu merasa diri paling jagoan, paling berjasa. Heh!

SETELAH LETNAN MENGHEMBUSKAN NAFAS PANJANG, IA MENURUNKAN KEDUA TANGAN DARI PINGGANG. SAMBIL MENGUASAI BADAI AMARAH IA TERUS MENUJU KE MEJA, MEROGOH KANTONG. MENGELUARKAN SEBUAH BLOK-NOTE DAN PENSIL PENDEK.

Letnan        :  Semua ini musti segera kulaporkan.

LETNAN DUDUK MENULIS LAPORAN. MENDADAK KEDENGARAN TEMBAKAN BEBERAPA KALI, HINGGA IA TERSENTAK KAGET. MENDADAK PULA KOPRAL MASUK DENGAN NAFAS TERENGAH-ENGAH.

Letnan        :  Ada apa!
Kopral        :  Laporan. Anak buah kita secara mendadak disergap dan dilucuti.
Letnan        :  Mayor?!
Kopral        :  Bukan……
Letnan        :  Lantas siapa?!
Kopral        :  Kapten Kompi “Garuda Hitam”.
Letnan        :  Celaka, kita terjebak siasat khianat. Tapi, bukankah kita sudah siaga dengan kemungkinan seperti ini. bukankah sudah kusiasati dengan menyembunyikan kedua regu perintis kita.
Kopral        :  Siasat kita belum tercium mereka. kedua regu perintis kita masih di pos persembunyiannya.
Letnan        :  Alhamdulillah. Cepat loloskan dirimu. Hubungi mereka. selanjutnya bung tahu apa yang musti diperbuat.
Kopral        :  Kita berdua masih sempat lolos bersama.
Letnan        :  Aku tetap di sini. Aku punya perhitungan untuk menghadapi mereka. cepat bung laksanakan! Jangan kuatirkan diriku.
Kopral        :  Siap.

KOPRAL CEPAT PERGI. LETNAN TENANG MEMASUKKAN BLOK-NOTE DAN PENSIL KE DALAM SAKU KEMBALI. TENANG PULA DUDUKNYA, MENANTI APA YANG AKAN TERJADI.

BABAK II

DALAM RUANG YANG SAMA, BEBERAPA JAM KEMUDIAN.
KAPTEN MASIH ENAK MEROKOK, DUDUK DENGAN SIKAP MENANG SAMBIL MENIMANG-NIMANG COLT MILIK LETNAN. YANG BELAKANGAN INI BERDIRI DENGAN MENYILANGKAN KEDUA TANGANNYA, MEMBUANG PANDANG KE ARAH PINTU.

Kapten       :  Menyesal sekali dengan sangat amat terpaksa, nyonya musti kuperlakukan sebagai sandera. Yang mustinya nyonya menjadi tawanan mayor.
Letnan        :  Heh apa bedanya.
Kapten       :  Oo, besar sekali nyonya. Perbedaannya seratus delapan puluh derajat. Sekarang tidak ada orang lain yang menguasai nyonya selain aku. Nyonya mutlak ada di bawah kekuasaanku.
Letnan        :  Apa maksud bung.
Kapten       :  Artinya, tak ada orang lain selain aku pribadi yang menentukan hidup-mati nyonya.
Letnan        :  Sekarang aku tahu.
Kapten       :  Oo ya?! Apa yang nyonya ketahui.
Letnan        :  Bahwa bung telah gunakan kesempatan untuk mengkhianati mayor.
Kapten       :  Aha, nyonya intelejen. Tapet sekali dugaanmu. Memang aku telah gunakan kesempatan yang ditimbulkan oleh ketotolan mayor jagoan itu. Untuk kemudian, eh, kukhianati dari belakang. Setidak-tidaknya menurut istilah nyonya: mengkhianati.

KAPTEN BANGKIT MEMBUANG PUNTUNG ROKOK, MENYELIPKAN PISTOL RAMPASAN PADA IKAT PINGGANG DEKAT PUSAR PERUT. TAJAM PANDANGNYA MENATAP LETNAN SAMBIL TERTAWA KECIL.

Kapten       :  Nyonya, dalam memperjuangkan sesuatu cita diperlukan sajian pengorbanan. Nah, dalam memperjuangkan apa yang kucitakan itulah aku dengan berat hati terpaksa mengorbankan bung mayor berikut batalyonnya, demi terlaksananya citaku. Namun aku sangat hargai keperkasaan bung mayor dan batalyonnya yang sudah punya nama mewangi. Karena itu, mereka kukorbankan seperkasa mungkin sesuai dengan jiwa patriotiknya. Kehancuran mereka kuatur sedemikian rupa, hingga mereka akan senantiasa dikenang sejarah sebagai mujahidin, yang rela gugur syahid di ujung laras meriam-meriam musuh.

LETNAN TERSENTAK, TAJAM NYALA MATANYA MEMBAKAR WAJAH KAPTEN.

Letnan        :  Jadi jelas sekarang, bahwa bung bermain sandiwara dengan musuh.
Kapten       :  Tepatnya aku jadi sutradar dalam lakon ini, sekaligus dan yang terpenting, ialah bahwa aku telah ciptakan lakon yang penuh adegan dramatis ini. dan untuk memenuhi keinginan sang pencipta lakon, aku, maka, bung mayor dan batalyonnya kuhancurkan secara dramatis pula. Kuatur sedemikian rupa, hingga mereka masuk dalam jebakan musuh untuk kemudian dibinasakan berkeping-keping oleh puluhan peluru howitser.
Letnan        :  Untuk kemudian, bung dengan leluasa memperoleh kesempatan menyergap dan melucuti kompiku secara khianat, ya.
Kapten       :  Begitulah.
Letnan        :  Untuk kemudian pula, kau korbankan dengan cara yang lain dalam rangka tindak khianatmu.
Kapten       :  (TERTAWA KECIL) Nyonya punya bakat untuk menjadi seorang ahli siasat ulung dan seorang analis. Memang begitulah. Tapi tentu saja, nyonya pribadi akan kujadikan sajian pengrobanan yang beristimewa. Sedemikian rupa, hingga nyonya akan memberi manfaat sebesar-besarnya dalam membantu memperbesar tekadku untuk melaksanakan apa yang kucitakan. Mudah-mudahan nyonya tidak akan berbuat sebodoh suami nyonya……

LETNAN TERSENTAK KAGET, KEDUA BIBIRNYA GEMETAR DILANDA PERASAANNYA. DENGAN TABAH IA HAMPIRI KAPTEN.

Letnan        :  Jadi dia……
Kapten       :  Dia termasuk mereka, yang dengan menyesal terpaksa kukorbankan. Sebab almarhum terlalu bersikap bodoh tanpa memperhitungkan kondisi, ruang, waktu dan suasana. Begitulah tatkala almarhum beserta seregu anak buahnya mengadakan ekspedisi kemari, kutawari suatu kerjasama agar berkenan membantu cita yang kuperjuangkan. Sayang sekali, almarhum terlalu bersikap heroik. Tawaranku dibalas dengan peluru. Hingga terpaksa ia kualmarhumkan dengan peluru juga.

LETNAN CEPAT MENGHAMPIRI KAPTEN, TERUS DI TAMPARNYA. KEMUDIAN IA MUNDUR BEBERAPA LANGKAH, SEDANG KAPTEN DENGAN TENANG MENGUSAP BAGIAN MUKA YANG KENA TAMPAR.

Letnan        :  Kau pengkhianat biadab!
Kapten       :  Sabarlah, aku tidak menyukai adegan sekasar begitu.

Kapten       :  (MENODONGKAN PISTOLNYA) Duduklah nyonya. Ingat, sekali senjata di tangan, tak pernah aku menganggap enteng.

LETNAN MENURUT, NAMUN NYALA MATANYA YANG PENUH KOBARAN RASA BENCI, TABAH MENYOROTI KAPTEN. DAN SAMBIL SENYUM MASAM, KAPTEN MEMASUKKAN PISTOL KE TEMPATNYA.

Kapten       :  Aku bisa mengerti apa kata hatimu sekarang. Karenanya, aku tidak akan menerima perlakuan nyonya dengan ledakan kemarahan. Nonya, terimalah simpati belasungkawa untuk almarhum suamimu yang telah secara konsekuen membela cita revolusi yang kalian perjuangkan.
Letnan        :  Cukup! Dan jangan coba-coba bujuk aku dengan segala sikap dan ucapan simpatik. Bung, apapun yang bakal terjadi atas diriku aku akan tidak peduli. Tapi setiap ajakanmu, pasti kubalas dengan jawaban satu. Kematianku!
Kapten       :  Jika kau sudah memagari diri dengan sikap dan pendirian a priori, dan itu akan kau pertahankan dengan konsekuensi pengorbanan nyawamu, apa boleh buat. Aku tidak lagi akan menawarkan ajakan kompromi.
Letnan        :  Sebelum aku binasa, ijinkan aku bertanya.
Kapten       :  Dengan segala senang hati, silahkan nyonya bertanya.
Letnan        :  (BANGKIT DENGAN BERSEMANGAT) Apa itu yang bung perjuangkan.
Kapten       :  Cita yang sederhana sekali. Sesederhana seorang bocah yang merindukan kebebasan menurut selera dan ukuran sendiri. Cita itu berupa satu hasrat dan tekad untuk menciptakan suatu kebebasan menurut selera dan ukuran sendiri. Yang akan dapat terlaksana dengan jalan menciptakan sebuah negara merdeka, sesuai dengan gagasanku. Di sini, di wilayah bumi ini kelak akan kuciptakan sebuah negara baru. Negara tandingan! Dan begitu ciptaanku jadi kenyataan, begitu pula seluruh jagat akan mau tidak mau mengakui, bahwa aku adalah seorang manusia istimewa, yang sanggup menciptakan negara dalam sebuah negara, yang justru tengah memperjuangkannya. Nah, untuk mewujudkan ciptaanku itulah, aku membangkang terhadap cita revolusi yang kalian perjuangkan. Dan untuk mencapai citaku itu pulalah, aku halalkan segala tindakanku. Seperti bermain sandiwara dengan tentara musuh. Dan menghancurkan siapa saja yang kurasakan akan merintangi langkah jalanku. Termasuk nyonya……
Letnan        :  Memang kau manusia istimewa, istimewa biadab khianat!
Mayor        :  Terima kasih untuk kehormatan besar yang tekah nyonya berikan padaku. Nyonya adalah manusia pertama yang secara tulus jujur mengakui bahwa; aku adalah manusia yang pantas, wajar diberi predikat “istimewa”. Sekalipun istimewanya dalam tindak khianat.
                      Ya, sesungguhnya sebagai seorang pencipta, meski pencipta khianat, aku jauh lebih besar tertimbang pengkhianat-pengkhianat biasa. Jadi sesungguhnya pula sebutan “pengkhinat” nilai rasanya tidak mampu memuaskan kedirianku. Biar seribu kali nyonya melempar kata pengkhianat terhadap diriku, itu kurasakan terlalu hamba buat memuaskan seleraku sebagai seorang yang istimewa. Kata itu terlalu enteng untukku.
                      Tapi lepas dari kenyataan bahwa karena pendurhakaanku, yang sudah sewajarnya untuk nyonya nilai negatif. Adalah satu kenyataan bahwa dari penilaianku, aku bukanlah seorang pengkhianat yang mengkhianati cita yang kuciptakan dan kini kuperjuangkan.
Letnan        :  Cukup sudah dengan filsafatmu!
Kapten       :  Nyonya, aku bukannya hendak membela diri dari kedurhakaanku terhadap cita revolusi yang kalian perjuangkan secara konsekuen itu. Aku cuma mau tegaskan bahwa menurut penilaianku atas segala tindakanku ini bukanlah suatu pendurhakaan atas citaku yang mendurhakai revolusi. Dengan kalimat lain, aku bukanlah seorang pengkhianat atas kedirianku, keyakinan dan cita ciptaanku.
Letnan        :  Kau akan konsekuen dengan pernyataanmu itu?
Kapten       :  Sekonsekuen nyonya dalam memperjuangkan cita revolusi.
Letnan        :  Apa yang kuperjuangkan bukan perjuangan cita pribadi. Tapi perjuangan cita bangsa. Sedang bung, adalah untuk kepentingan diri bung dan golongan bung. Jadi karena kami berjuang untuk sesuatu cita seluruh bangsa, untuk kepentingan masa depan bangsa, kami berhak menuntut diri dan cita bung yang mendurhakai kepentingan dan cita seluruh bangsa! Bung, kami tuntut konsekuensimu sebagai pengkhianat revolusi rakyat!
Kapen        :  (TERTAWA KECIL) Pasti aku akan memenuhi tuntutan kalian yang memang kubenarkan sekali. Tapi kau lupa nyonya. Kau lupa kondisi sekarang, dimana dan dalam keadaan apa nyonya berada. Siapa yang sekarang di sini berkuasa dalam kenyataannya. Akulah yang berkuasa atas mati hidupmu, bukan? Dan sebagai konsekuensi atas penamaan kedirianku sebagai pendurhaka revolusi, maka karena aku kini kuasa, aku tuntut konsekuensi sebagai penolak gagasanku. Dan demi penghargaanku terhadap sikap setiamu terhadap revolusi yang kalian perjuangkan, aku tidak akan menawarkan agar kau jadi pengikutku. Penghargaanku berupa tuntutan atas kematianmu. Tapi kematianmu musti penuh arti. Musti merupakan penghormatan tertinggi dalam penilaianku. Dan penghormatan tertinggi buat seorang pejuang setia adalah kehormatan pribadinya. Sebab, kehormatan pribadi adalah lambang kehormatan revolusi. Dan perkosaan atas penghormatan pribadinya adalah sama saja dengan perkosaan atas revolusi. Jadi perkosaan terhadap kehormatan pribadimu adalah lambang pendurhakaanku, ya, lambang perkosaanku atas revolusi.
Letnan        :  Jangan bung lupa, Tuhan senantiasa bersama kebesaran yang haq. Karenanya, demi Tuhan, aku akan bertahan.
Kapten       :  Jangan nyonya lupa, Dajjal senantiasa bersama kekuatan pemerkosaan kebenaran. Dan sekarang kekuatan itulah yang lagi bicara.

DAN SAAT ITU JUGA MENDADAK DI LUAR TERDENGAR TEMBAKAN BERKALI-KALI. KAPTEN SANGAT KAGET, CEPAT PANDANGANNYA DIARAHKAN KE PINTU. DALAM KEADAAN TERLENA ITULAH LETNAN CEKATAN MENYERGAP KAPTEN, BERUSAHA MEREBUT PISOLNYA YANG TERAMPAS. BERSAMAAN DENGAN ADEGAN ITU PULA MASUKLAH KOPRAL DENGAN STEN-GUN DI TANGAN, DITODONGKAN KE ARAH KAPTEN YANG TENGAH REPOT DIKAGETKAN SITUASI SERBA MENDADAK ITU.

Kopral        :  Angkat tangan bung!

LETNAN BERHASIL MERAMPAS KEMBALI SENJATANYA YANG DENGAN GERAKAN CEPAT DITODONGKAN KE ARAH DADA KAPTEN YANG NAMPAK MENDADAK HILANG SEMANGAT. LALU CEKATAN LETNAN MERAMPAS COLT YANG ADA DI IKAT PINGGANG KAPTEN

Kopral        :  Jangan bertingkah. Kini seluruh anak buahmu sudah kami tawan.
Letnan        :  Siasatmu licik memang. Tapi, bung tidak ikut perhitungan kewaspadaan kami. Hingga bung lupa, bahwa masih ada dua regu perintis kami yang belum bung lucuti. Dan yang sekarang malah melucuti pakaianmu.

KAPTEN MENCOBA MENGUASAI PERASAANNYA DENGAN MELEMPAR SENYUM MASAM, DAN SEDIKIT MENGANGKATKAN KEDUA TANGANNYA.

Kapten       :  Kuakui kekalahanku. Bukankah tadi sudah aku bilang, nyonya berbakat jadi ahli siasat ulung. Kuakui pula bahwa aku tidak pernah perhitungkan unsur kewaspadaan kalian. Selamat atas kemenangan dan kewaspadaan kalian.

MAYOR MASUK DENGAN VICKERS DI TANGAN. MELIHAT ADEGAN ITU, DISELIPKANNYA SENJATANYA KE DEKAT PERUT. SAMBIL DENGAN PENUH NYALA DENDAM BENCI IA MENGHAMPIRI KAPTEN SAMBIL MENGERATKAN GENGGAMAN KEDUA TANGANNYA. MAYOR MELUDAH JIJIK, GIGINYA GEMERTAKAN DIBAKAR AMARAH.

Mayor        :  Setan – pengkhianat!!!

TAPI SEBELUM MAYOR BERHASIL LEBIH MENDEKAT DAN MELAYANGKAN TINJUNYA, CEPAT LETNAN MENUKAS KATA.

Letnan        :  Mayor, dia tawanan kami. Jangan bertindak tanpa seijin kami.

MAYOR MENOLEH KE ARAH LETNAN, DIHEMBUSKAN NAFAS PANJANG SAMBIL MENGANGGUK SEDIKIT BERUSAHA MEREDAKAN BADAI AMARAHNYA.

Mayor        :  Aku mau balaskan dendam atas nama seluruh anak buahku dan mereka yang gugur jadi korban pengkhianatan, si bangsat pengkhianat yang sebangsat-bangsatnya ini!
Kapten       :  Aku lebih dari itu mayor, aku maha pengkhianat.
Mayor        :  Hem. Pantas begitu busuk derajatmu manusia lata! Hah, kau berlagak dengan kedahsyatan akalmu ya. Tapi adalah dua ketotolan pribadimu yang tak pernah kau masukkan penilaianmu. Bahwa kau terlalu tolol untuk menganggap dan menilai pribadiku sebagai orang tolol. Dan, apapun bodohnya seorang pejuang, ia punya satu kelebihan. Api semangat perjuangannya membela revolusi yang pantang menyerah! Dengan api semangat yang membarai tekad kami itulah, kami meski sudah kau jebloskan dalam jebakan, masih sanggup untuk mengobrak-abrik kekuatan musuh. Dan sekarang, kau musti terima pembalasan dendam mereka yang tewas karena khianatmu!
Letnan        :  Mayor, ini bukan soal balas dendam. Tapi soal tanggung jawab dan pertanggung jawabannya. Itulah sebabnya, aku sanggup menyisihkan keinginan pribadiku seperti juga keinginan bung untuk membalaskan dendam. Meski aku punya alasan kuat, ya sekuat alasan bung. Sebab dia pengkhianat itu pulalah yang telah mengaku sendiri, membunuh almarhum suamiku serta anak buahnya…

MAYOR DAN KOPRAL TERSENTAK MEMANDANG LETNAN YANG BERUSAHA MENAHAN GENANGAN PADA KEDUA PELUPUK MATANYA. KEDUA LELAKI ITU HENDAK BICARA, TAPI LETNAN CEPAT MENDAHULUI BICARA.

Letnan        :  Kita hukum dia secara militer dengan perlakuan wajar. Kita hukum dia bukan karena dendam-dendam pribadi. Tapi semata-mata karena tindak khianatnya terhadap revolusi bangsa.
Kapten       :  Aku sudah siap untuk itu.
Letnan        :  Bung perlukan seorang imam?
Kapten       :  Terimakasih, tidak. Itu hanya akan memperingan gambaran neraka jahanam alam kuburku. Sedang untuk segala tindakan ini, aku enggan meminta keringanan pengampunan dunia akherat. Aku ikhlas memikul seluruh tanggung jawab.
Letnan        :  Ada wasiat bung yang terakhir buat sanak keluarga?
Kapten       :  (MENGANGGUK TENANG) Untuk itu, ijinkanlah aku menyampaikan dengan kebebasan. Ya, aku ingin nikmati nilai hidup tertinggi pada detik-detik terakhir ini. Nilai kebebasan! Jangan kuatir, tidak akan coba-coba mengelak, meskipun ada kesempatan sekalipun.

LETNAN SESAAT MEMANDANG MAYOR YANG NAMPAK SUDAH DAPAT MENGENDALI KAN BADAI AMARAHNYA. MAYOR MEMBALAS DENGAN GERAKAN TANGAN MEMBERI ISYARAT, TERSERAH KEPADA LETNAN. MELIHAT SIKAP MAYOR, MAKA LETNAN MENGHAMPIRI AJUDANNYA YANG MASIH TEGAK MENODONGKAN SENJATANYA KE ARAH KAPTEN.

Letnan        :  Siapkan peleton. Tepat dari arah pintu. Akan kami saksikan pelaksanaannya dari sini.
Kopral        :  Siap!

KOPRAL TERUS KELUAR. LETNAN MENYELIPKAN PISTOLNYA, PANDANGANNYA TERTUJU KE ARAH KAPTEN.

Letnan        :  Keinginan bung akan kami laksanakan.
Kapten       :  Terimakasih.

KAPTEN MENURUNKAN TANGANNYA, TENANG MEROGOH SAKU MENGELUARKAN ROKOK DAN KOREK. KEMUDIAN DENGAN ENAK TENANG PULA IA MENGHISAP DAN MENGHEMBUSKAN ASAP ROKOK.

Kapten       :  Sejak bocah aku telah yatim piatu. Aku dilahirkan tanpa keinginan bapak ibuku yang tak pernah kuketahui siapa. Anak haram, kata orang. Jadi wasiatku yang terakhir tentu saja bukan untuk sanak keluargaku yang tak pernah ada. Tapi bagi kalian, lawan-lawanku.
                      Ijinkanlah dulu aku mengakui bahwa aku telah mengalami kegagalan mutlak. Sebagai pencipta khianat yang mampu memadukan sifat Dajjal dan watak Yuda cerita orang Nasrani, ternyata selama ini aku tidak pernah mampu menciptakan satu istilah, satu kata yang mampu mendukung perpaduan kedua sifat dan watak yang istimewa dahsyatnya itu.
                      Dan selama ini pula, ternyata aku juga tidak pernah berhasil memadamkan kesetiaan api semangat yang membarai dada kalian, pewaris-pewaris revolusi yang setia.
                      Tapi ingat-ingatlah selalu wasiatku ini, rohku akan senantiasa merintis sepanjang masa. Titisanku tidak kenal bulu dan warna, jabatan dan kebangsaan. Satu titisanku, jauh lebih berbahaya ketimbang sejuta serdadu musuh. Satu titisanku, akan bisa merubah cita revolusi sesuatu bangsa tanpa diketahui oleh negara itu sendiri, bahwa arah tujuan revolusinya telah dibelokkan ke cita pribadi titisanku.

DI LUAR TERDENGAR SUARA GENDERANG PENGIRING UPACARA HUKUM TEMBAK. KAPTEN MENEGAKKAN TUBUHNYA, TENANG MENGHEMBUSKAN ASAP ROKOK.

Kapten       :  Namun ada tiga hal yang sangat kutakuti. Yang senantiasa akan mengalahkan dan menghancurkan kehadiran titisanku. Yakni kewaspadaan yang waskita. Dan semangat yang pantang menyerah. Dengan ikatan persatuan bulat teguh rakyat pejuang, pewaris-pewaris revolusi yang kosekuensi jatmika.

LETNAN DAN MAYOR MENGANGGUK HAMPIR BERBARENGAN. DAN SEMUA MATA TERTUJU KE ARAH KAPTEN YANG TEGAK DENGAN SEGALA KETENANGANNYA. KAPTEN MENGHEMBUSKAN ASAP ROKOK, MEMBUANG DAN MENGINJAK PUNTUNGNYA. LALU IA MENENGADAHKAN MUKANYA.

Kapten       :  Tak perlu pakai penutup mata pelindung rasa takut. Aku mau tantang terkaman maut pada kilatan api peluru peleton. Tak perlu pengikat tangan ini. Sebab aku enggan sembunyikan kerubuhan tubuhku dengan sandaran tangan yang gemetar ketakutan.

KAPTEN MELANGKAH KE PINTU. DI AMBANG IA HENTI. TAJAM PANDANGANNYA MENATAP LETNAN, MAYOR DAN KOPRAL BERGANTI. LETNAN SENYUM.

Kapten       :  Waspadalah kalian, hai pewaris-pewaris revolusi yang setia. Aku akan senantiasa hadir sepanjang jaman. Waspadalah!!!

KAPTEN SEDIKIT MENGANGKAT TANGAN KANANNYA MEMBERI HORMAT, TERUS DIIRINGI KOPRAL. SUARA GENDERANG MENGGEMURUH, LALU HENTI, MENDADAK DITIMPA SUARA TEMBAKAN. SEPI SEJENAK.

Letnan        :  Kami akan senantiasa waspada dan siaga sepanjang keturunan untuk menghancurkan setiap kehadiranmu.
Mayor        :  Kami akan senantiasa tempa api semangat yang pantang menyerah, dan pembulatan persatuan rakyat pejuang sepanjang masa, untuk menggulung kehadiranmu.

MENATAP LETNAN DENGAN WAJAH PENUH KESUNGGUHAN

Mayor        :  Semua ini menggugah kesadaranku. Bahwa tidak boleh ada yang lebih merasa pahlawan, lebih merasa berjasa dalam andil revolusi. Tidak boleh ada yang menonjolkan bahwa keyakinannyalah yang lebih berarti terhadap revolusi. Juga tidak boleh ada sikap merendahkan martabat golongan dan jenis lain. Yang penting bagiku kini adalah siapa saja yang sanggup buktikan kepemimpinan-nya secara konsekuen.
                      Letnan, aku patahkan segala sentimen pribadi terhadap pribadimu. Dan seiring ini, kami secara sukarela meleburkan diri dan bersumpah setia pada tentara nasional. Letnan, kami siap sedia melaksanakan segala instruksimu selaku komandan sektor yang berwenang.
Letnan        :  Terimakasih Mayor. Mari, kini kita siapkan penggempuran tentara penjajah.
Mayor        :  S i a p !




*** Selesai ***

Postingan Terkait

3 comments

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter