Beberapa konsep psikologi sastra dari beberapa tokoh,
diantaranya Sigmund Freud, Carl Gustav Jung dan Mortimer Adler.
1. Sigmund Freud
Dalam konsepnya, Freud bertolak dari psikologi umum,
yaitu dia menyatakan bahwa dalam diri manusia ada tiga bagian, yaitu id,
ego dan super-ego. Jika ketiganya berkerja secara wajar
dan seimbang, maka manusia akan memperlihatkan watak yang wajar pula.
Namun jika ketiga unsur tersebut tidak bekerja secara seimbang, dan salah
satunya lebih mendominasi, maka akan terjadilah peperangan dalam batin atau
jiwa manusia, dengan gejala-gejala resah, gelisah, tertekan dan neurosis yang
menghendaki adanya penyaluran.
Dalam penggambaannya tentang pengarang dalam mencipta
karya sastra, Freud mengatakan bahwa pengarang tersebut diserang penyakit
jiwa yang dinamakan neurosis bahkan bisa mencapai tahap psikosis, seperti sakit
syaraf dan mental yang membuatnya berada dalam kondisi yang
sangat tertekan, keluh kesah tersebut mengakibatkan
munculny aide dan gagasan yang menggelora yang menghendakinya agar
disublimasikan dalam bentuk karya sastra.
Selanjutnya, dalam bukunya ‘Tafsir Mimpi ‘, Freud
mengungkapkan salah satu metode menafsirkan teks sastra. Freud berpendapat bahwa sastra adalah
merupakan bagian dari mimpi. Jadi analisa yang diterapkan dalam sastra adalah
seperti menganalisa orang yang sakit melalui mimpi. Maka dengan demikian
analisa-analisa tersebut meliputi (Rahmani, 2004: 106):
1)
Taksif, yaitu adanya unsur seperti seseorang, gambar atau
ucapan dalam mimpi.
2)
Izahah, yaitu merupakan suatu rangkaian yang berhubungan
dengan inti.. ini suatu perasaan yang terurai dari bentuk aslinya dan berubah
menjadi bentuk lain yang tidak ada hubungannya dan mudah digambarkan.
3)
Menerima bentuk lain, mudah dibentuk, jadi berbagai ide yang
tidak disadari, bisa berubah menjadi bentuk-bentuk tertentu. Karena pada
dasarnya mimpi merupakan produk visual yang dianggap oleh si pemimpi sebagai
sebuah peristiwa.
4)
Penafsiran, yaitu menjelaskan makna yang terkandung pada
suatu materi.
Pandangan Freud tersebut ditafsirkan oleh Dr.
Ernest Jones dengan tiga tujuan, yaitu:
1)
Penafsiran langkah-langkah proses seni.
2)
Tujuan-tujuan nir-sadar para seniman.
3)
Dorongan-dorongan pribadi yang melahirkan imajinasi.
Jadi,
seniman menurut Freud adalah orang yang sakit, menurutnya seniman tersebut
adalah sosok yang labil, mudah bergejolak dan dengan menghasilkan seni ia
berusaha menjaga dirinya dari keterpurukan mental. Jadi, ibaratnya seni itu
merupakan penawar dahaga bagi seorang seniman.
2.
Carl Gustav Jung.
Teori
Jung berbeda dengan teori Freud tentang Nirsadar individu, Dia terkenal dengan
teoinya tentang Nirsadar social bahwa yang demikian tersebut merupakan bentuk
da gejala sosial bukan individu penyair, penyair hanya mengungkapkan apa yang
terjadi dalam fenomebna-fenomena sosial yang terjadi kemudian mengungkapkannya
dalam bentuk karya sastra.
Jung berpendapat bahwa seorang
seniman ketika mengungkapkan dengan berbagai bentuk pada hakekatnya ia
mengambil contoh-contoh ideal yang ada disetiap serangkaian pengambilan atau
pengungkapan, seperti gambaran-gambaran tentang ketidaksadaran seorang penyair
dan serangkaian bentuk dalam syi’ir.
3.
Mortimer Adler.
Simon
Adler merupakan salah seoang murid Freud. Namun dia
banyak menyangkal pendapat-pendapat dari Freud sendiri. Teori Adler terkenal
dengan sebutan Inferiority complex atau perasaan rendah diri, yang pada
dasarnya adalah merupakan teori dari Al-Jahidt. Teori tersebut memungkinkan
Adler menyelami teks untuk mencari bentuk-bentuk pengganti kekurangan dalam
diri. Akan
tetapi dalam penerapannya Adler tidak bisa mencapai kepuasan seperti kepuasan
yang dicapai oleh Freud.
Dalam
dunia kritik Arab, teori diterapkan oleh al-Mazini ketika dia beranggapan bahwa
Basyar (yang merupakan penyair jahili dan seorang budak) banyak bercerita
tentang seseorang dan budak. Mazini mengatakan bahwa Basyar selalu merasa
kekurangan dalam dua hal, pertama dia buta, dia seorang budak belian.
Post a Comment
Post a Comment