Idiom dan kiasan termasuk
golongan non-literal sense atau non-literal meaning atau figurative meaning. Literal meaning atau arti literal adalah arti kata atau arti sebuah
bentuk bahasa yang lain (frasa atau kalimat) menurut arti sebenarnya
sebagaimana dikenal dalam pemakaian sehari-hari dan menurut arti pola atau
struktur frasa atau kalimat itu. Sebaliknya arti non-literal atau arti figurative
adalah arti yang bukan arti sebenarnya, melainkan bersifat idiomatic atau
arti kiasan.
Saeed (1980: 4) menyatakan bahwa “An idiom is a number of words which taken
together, mean something different from the individual words of the idiom when
they stand alone”. Idiom adalah sejumlah kata yang dipakai bersama yang
memiliki arti yang berbeda dari arti masing-masing kata pembentuk idiom itu.
Boleh dinyatakan bahwa idiom adalah suatu ungkapan yang terdiri atas beberapa
kata yang menyatu yang artinya tidak dapat ditelusuri berdasarkan arti
masing-masing kata pembentuk idiom itu. Misalnya, panjang tangan dalam “anak
itu panjang tangan, hati-hati kalau bergaul dengan dia”. Idiom “panjang tangan”
artinya ‘suka mencuri atau suka mengambil sesuatu milik orang lain’. Arti ‘suka
mencuri’ tidak dapat dikembalikan kepada arti “panjang” dan “tangan”.
Berhubungan dengan contoh di atas,
Cowie (2009) menceritakan bahwa idiom itu pada mulanya merupakan suatu frasa
atau kelompok kata dengan arti yang bersifat literal. Namun karena pemakaian
dalam waktu lama yang diulang-ulang terjadilah sifat membeku pada kata/kelompok
kata tersebut sehingga tercipta arti baru. Dengan demikian, idiom tersebut
menjelma menjadi leksikon baru (leksikon dalam arti khasanah leksem, bukan
dalam arti kekayaan kata sebuah bahasa).
Berdasarkan uraian di atas,
ciri-ciri struktural dan semantik (Subroto, 2010: 143) idiom dapat dinyatakan sebagai berikut:
1.
Idiom merupakan
paduan dari beberapa kata yang merupakan susunan/ ekspresi tetap.
2.
Dampak dari
nomor 1 adalah bahwa kata pendukung itu tidak dapat digantikan oleh kata lain.
Misalnya, idiom “patah hati” (sedih karena putus cinta), salah satu kata
pendukung (misalnya “hati”) tidak dapat digantikan dengan kata yang lain.
3.
Urutan kata-kata
pendukung idiom itu tidak dapat diubah atau dibalikkan (misalnya, idiom “tinggi
hati” (sombong) tidak dapat diubah menjadi “hati tinggi”.
4.
Di antara
kata-kata anggota idiom itu tidak dapat disisipka kata lain. Misalnya, idiom
“mata keranjang” di antara kata pendukung idiom itu tidak dapat disisipkan
dengan kata lain (mata dari keranjang).
Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa
sekilas idiom itu memperlihatkan beberapa persamaan dengan kata majemuk
(contoh: orang tua ‘ayah dan ibu’, rumah sakit ‘kompleks bangunan yang ada
pasien, dokter, perawat, sistem dan manajemen’. Ada perbedaan penting antara
keduanya, yaitu sekalipun kata majemuk juga menyatakan arti baru, tetapi sarti
tersebut masih dapat ditelusuri berdasarkan ati leksikal kata pendukung kata
majemuk itu.
Hallo, saya tertarik sekali dengan pembahasan mengenai idiom. Boleh saya tahu, apa judul buku yang dibuat oleh Subroto, mengacu pada teori dari Subroto (2010 : 143) mengenai ciri-ciri struktural idiom. Terima kasih
ReplyDeleteitu bukunya tentang Semantik Bahasa Indonesia mba karangan Edi Subroto.
ReplyDelete