Di sebuah pesantren, ada dua orang
kiai yang berdebat tentang hokum kesenian. Dslsh seorang dari mereka bersikeras
bahwa kesenian itu syirik bahkan haram. Para santri menyaksikan perdebatan itu
dengan hati berdebar. Dari kejauhan, terdengar suara music dari loudspeaker. Kiai
yang saya kisahkan itu mulai meledak-ledak dan menyebut seni itu haram, tetapi
kedua kaki beliau bukan bergerak menggeleng-geleng, melainkan
mengangguk-angguk. Maka, kami tiru anggukan ritmis kaki Pak Kiai, sebab gerak
kaki beliau lebih merupakan ungkapan batinnya dibandingkan lisannya.
Itulah salah satu kutipan dari buku yang berjudul Anggukan Ritmis Kaki
Pak Kiai karya Emha Ainun Najib. Buku tersebut dicetak pada tahun 2015. Melalui
buku tersebut, Emha Ainun Najib menguliti dalam-dalam perkara kemusliman ‘birokrasi’.
Ketaatan yang penuh rasa ‘takut pada atasan’, bukan kecintaan dan pengabdian
kepada Tuhan. Semua kemudian berputar pada surge dan neraka, halal dan haram,
pahala dan dosa. Detail-detail ritual yang malah memicu perbedaan antarumat. Dalam
kegelisahannya, Emha seolah berbicara pada naluri kita, ‘Apa tidak malu kita
kepadaNya, pada akal dan perasaan kita sendiri?’
Post a Comment
Post a Comment