Bina Margantara
(NASKAH MONOLOG)
TEMARAM
MERAH YANG MENCEKAM DI ATAS PANGGUNG. BATU NISAN BERSERAKAN DI MANA-MANA,
SAMPAI KE ATAS MEJA. SEORANG TUA SEDANG SIBUK MENATA RUANGAN AGAR KELIHATAN
SEDIKIT RAPI. KEMUDIAN MENGAMBIL SAPU LIDI, MENYAPU LAYAKNYA TUGAS PEMAKAMAN.
BACKROUND
SILUET YANG MEMPERTONTONKAN ORANG-ORANG MENGERANG (TERLEPAS DARI LAKI-LAKI ATAU
PEREMPUAN) SALING CEKIK, SALING PUKUL, SALING TENDANG, SAMPAI SALING BUNUH.
ORANG TUA
ITU TIDAK BERGEMING
DIA
MEMBETULKAN LETAK PHOTO-PHOTO ( PHOTO ORANG-ORANG YANG TAK DIKENALNYA). DIA
MELIRIK KE KANAN PANGGUNG, MELIHAT KERANDA YANG KOSONG, LALU TERSENYUM DAN
AKHIRNYA TERTAWA KERAS.
DIA
MENGAMBIL KORAN, DUDUK DI MEJA SAMBIL MEMBACA.
Berita hari ini : headline-nya “KORBAN MUTILASI ITU BERNAMA BUNGA”
Hmmm, Bunga kenanga harum sepanjang malam, atau Bunga bangsa.
Teramat ngeri!
Apa yang harus kuperbuat?
Wah,sepertinya aku harus bergegas ke warung Mpok Sumirah,
menanyakan apa artinya nama Bunga itu? Mungkin akan ada banyak jawaban dari
pelanggan kopinya, dengan mengalihkan sedikit cerita (DIA TERTAWA) agar deretan hutangku agak dilupakan oleh Mpok
Sumirah, walau mendamaikan ceracaunya sekedar hari ini, jadilah.
Astaga, aku lupa. Hari ini aku harus membayar juga hutang kepada
Pak Pandu, tapi aku mampir dulu ke warung kopi, setelah itu baru aku ke rumah
Pak Pandu, minimal memberi tahu kalau aku belum punya uang hari ini, sekaligus
memohon memperpanjang tempo hutang. Seperti biasa Pak Pandu.
SESAMPAI DI
WARUNG KOPI, NAFASNYA MASIH TERENGAH-ENGAH, LANGSUNG MENARIK PERHATIAN
PENGUNJUNG LAINNYA.
Lha… kok bukan pelanggan yang lama Mpok Sumirah? Aku tak
mengenal wajah-wajah dari mereka, tak satu pun. Apa hal rupanya?
Sekilas aku melihat wajah Mpok Sumirah dengan bibirnya yang
sungging. Lalu berkata:
Begitulah adanya Mukar, mereka
datang dan pergi! Yang datang saya sambut,toh untung buat saya, yang pergi saya
persilakan. Begitu juga hidup, aku kira Kar.
Oooh,tapi hari ini ada sedikit kerikil kecil dalam pikiranku
Mpok, tentang berita dalam Koran hari ini. Korban mutilasi, dengan nama Bunga.
Tapi tak ada keterangan Bunga jenis apa, itu terus membuatku bertanya hari ini
setelah membaca Koran tersebut.
Koran apa?
Ah, itu yang tidak aku perhatikan. Apa itu penting? Aku rasa
tidak, karena semua berita itu sama, intinya : MEMBERITAKAN.
Tidak ada yang menarik, aku lebih
baik sibuk dengan jualan kopi, dapat duit, melayani orang, yaa sekedar itu.
Daripada sibuk dengan yang tidak terlalu penting, seperti yang kau sebutkan
tadi. Apakah kau telah berkunjung ke pemakaman Pak Pandu (MUKAR KAGET, WAJAHNYA MEMUCAT) yang tinggal di ujung simpang
jalan ini, aku rasa semua orang tahu siapa dia, kau pun juga pasti tahu. Mana
tahu kau dapat makan gratis di sana (DIA PUN TERTAWA).
Mau Bunga, bangkai, pohon cemara,
meja, kursi atau apalah namanya si korban, aku tak pernah peduli Mukar.
Tunggu dulu, Pak Pandu meninggal? (DIA BERTERIAK, SEOLAH TAK PERCAYA)
Ya!
Pasti, sudah kubayangkan, Mpok tidak pernah peduli. Bagaimana
pun keadaan di sekitar, kecuali pikopikopi. Tapi Mpok, aku tadinya ingin
menanyakan kepada pelanggan kopi Mpok yang aku kenal, tapi ya sudahlah,
sekarang aku tak menemukan jawaban kiranya. Baiknya aku pergi bergegas ke rumah
almarhum Pak Pandu.
Mana tahu di sana aku menemukan misteri Bunga korban mutilasi.
MUKAR
BERGEGAS KE LUAR PANGGUNG.
PANGGUNG
AGAK GELAP, DIISI MUSIK YANG SANGAT MENCEKAM, SILUET KEMBALI KELIHATAN SEPERTI
SEBERMULA AGAK BEBERAPA MENIT.
MUKAR MASUK
PANGGUNG DENGAN WAJAH AGAK LAYU.
Sungguh heran, sungguh heran, aneh, tak adil.
Tak ada yang tahu siapa Bunga di sana.
Pak Pandu, ya, Pak P-A-N-D-U. Punya rumah seperti istana, istri
cantik, uang yang tak terbilang, kabarnya juga ketiga anaknya belajar di luar
negeri (SAMBIL BERBISIK : Mungkin
dia tidak terlalu percaya pendidikan dalam negeri ini, sama tahulah), coba
bayangkan, punya teman bisnis dan relasi yang banyak, sama seperti dia juga.
Lengkap sekali hidupnya, aku pun iri, mungkin seratus tahun lagi aku bisa
seperti itu.
DIA
MENGAMBIL SAPU, DAN MELAKUKAN KEWAJIBANNYA SEBAGAI PENJAGA KUBURAN.
Nantinya Pak Pandu dimakamkan di sini (MENUNJUKKAN TANAH YANG KOSONG). Aku akan membersihkan kuburannya
setiap hari, tak kubiarkan sehelai daun mati mengotori kuburannya nanti, apalagi
tumbuh rumput liar. Aku akan mempercantik makamnya dengan cat terbaik, mungkin
dengan ini aku bisa membalas budinya.hutangku masih belum dibayar.
DIA DUDUK
DI SALAH SATU KUBURAN, DENGAN PIKIRAN YANG JAUH
Dahulu, orang pertama yang aku kenal saat datang ke kompleks
ini, Pak Pandulah orang pertama yang aku kenal. Roman wajah yang berwibawa, baik,
terlalu banyak aku berhutang budi kepada beliau. Seperti yang aku katakan tadi,
aku heran sekali, tak ada siapa pun yang datang ke rumah beliau di hari kematiannya
hari ini. Yang ada hanya dua orang pembantunya, bertiga serta aku yang hadir.
Di mana istrinya, karib kerabat, teman bisnis, tetangga, anak-anaknya,
klien-kliennya, atau mungkin istri simpanannya, oh aku tidak boleh bilang kalau
Pak Pandu punya istri simpanan (SAMBIL
MENUTUP MULUTNYA, SAMBIL BERJALAN MEMUTAR), tapi ke mana mereka?
Pembantunya tadi sambil terisak menghampiriku,
Pak Mukar, semua orang yang Pak
Pandu kenal sudah saya beri tahu. Tapi
semuanya hanya bilang “ya,ya,ya…ooh” Tapi, sampai saat ini aku tak menemukan
batang hidung mereka Pak Mukar. Nyonya hanya bilang “tolong urus semua urusan
pemakamannya Tukimin, aku akan kembali satu minggu lagi, ada meeting di Hawaii
yang mesti diselesaikan, tolong yah?”
Dia juga mentransfer 50.000.000 ke
rekening saya, agar saya bisa urus biaya pemakaman ini. Beda sekali dengan hari
pernikahan anak pertamanya Pak Mukar, si Puteri Bulan. Semua ada, makanan,
parkiran disediakan, sampai pengemis yang lewat pin diundang. Aku piker,
kebahagian memang selalu dibagi, tapi kesedihan adalah milik sendiri.
Tidak, tidak…
Saya tidak boleh berpikiran seperti
itu! Maafkan saya Tuan Mukar (DIA
MEMOHON).
Terus terang, aku kaget mendengar cerita si Tukimin. Banyak hal
yang dilakukan Pak Pandu membantu orang lain, kenapa mereka semua membalas seperti ini,untuk sekedar hadir
melihat wajahnya terakhir tak mau, dingin, sampai istrinya bisa berbicara
seperti itu. Apa salah Pak Pandu sebenarnya? Bagiku tak ada. Aku tak mengerti
dengan semua ini. Yaa Allah, apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin juga aku yang
salah menilai.
Lebih baik seperti Bunga saja Pak Pandu, mereka tak tahu siapa
dia, aku pun begitu. Tapi semua orang ribut, semua orang peduli, photonya ada
di mana-mana, semua orang menangis, haru, sedih, atau apalah namanya untuk
mengekspresikan simpati dan empati. Banyak yang datang ke pemakamannya. Yang
kutahu, dia hanya seorang koruptor, korban penganiayaan, KORBAN PELANGGARAN HAK
ASASI MANUSIA mereka bilang, dibunuh oleh beberapa orang gembel kelaparan, dan
mayatnya ditemukan dalam mobil mewah. Tapi setiap orang sebermula dari lahir,
punya hak asasi. Kau pun juga begitu Pak Pandu. Aku bingung, kau seharusnya
sejajar juga dengan Bunga, layak juga kau mendapat empati. Apakah zaman sudah
gila, edan? Mungkin juga ya. Keadilan hanya bisa dikoar-koarkan, simpati hanya bunga
bicara. Semuanya demi kepentingan, sampai kematian seseorang pun diperjualbelikan
di balik wajah mereka yang bertopeng itu. Munafik. Aku rasa, dibunuhnya Bunga
itu wajar. Jikalau hukum hanya bisa bungkam, sudah jelas-jelas dia bersalah,
didukung bukti yang valid, selalu diundur penangkapannya, selalu ada saja
penyakit yang kambuh ketika akan mau disidang.
Semasa hidupnya, ia juga membunuh petani, gembel-gembel, rakyat
kecil, bayi-bayi yang butuh asupan gizi, wajar dia mengakhiri hidupnya seperti
itu. Tapi mengapa semua orang peduli atas kematiannya, hah? Begitulah keadaan
sekarang, semua kabur, hitam-putih sudah tak jelas, abu-abu. Bangsaaaaaaat.Keparaaaat!
Beda Bunga, beda lagi Pak Pandu… Trus, bagaimana nasib aku
besok? Nasib kita masing-masing tak ada yang tahu.
Seberapa banyak orang datang di hari pemakamanku nanti, aku tak
banyak berbuat, tak ada budi yang berbekas, aku bukan orang terkenal, tak ada
yang tahu siapa aku, hanya berkawan orang-orang mati di sini (MENUNJUK KE SEMUA MAKAM).
DIA
MENANGIS
Jujur, jauh dalam hati, aku ingin juga dilihat rami-rami oleh
karib kerabat, handai tolan, teman, atau siapa pun itu yang aku kenal di hari
pemakamanku besok. Ada yang menangis, ada yang simpati, ada yang mengenang
semua memori bersamaku. Saat pemakaman nanti. Tapi aku sudah tahu bagaimana
esok, selagi aku hidup, tak ada yang peduli. Mungkin saja nanti, anjing lebih
ditangisi kematiannya daripada aku.
PANGGUNG
PERLAHAN GELAP
PEMENTASAN
SELESAI
Eureka!
NOVEMBER-DESEMBER
2011
(PADANG-MUARA
BUNGO)
Post a Comment
Post a Comment