Apakah hakikat puisi itu? Hakikat puisi bukan
terletak pada bentuk formalnya meskipun bentuk formal itu penting. Hakikat
puisi ialah apa yang menyebabkan puisi itu disebut puisi. Puisi baru (modern)
tidak terikat pada bentuk formal, tetapi disebut puisi juga. Hal ini disebabkan
di dalam puisi modern terkandung hakikat puisi ini, yang tidak berupa sajak
(persamaan bunyi), jumlah baris, ataupun jumlah kata tiap barisnya.
Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan untuk
mengerti hakikat puisi. Pertama
adalah sifat seni atau fungsi seni, kedua yaitu kepadatan, dan ketiga adalah
ekpresi tidak langsung.
a.
Fungsi Estetik
Puisi adalah karya seni sastra. Puisi merupakan
salah satu bentuk karya sastra. Menurut Rene, Wellek, dan Warren dalam Pradopo
(2009: 315) mengemukakan bahwa paling baik kita memandang kesusastraan sebagai
karya yang di dalamnya fungsi estetiknya dominan, yaitu fungsi seninya yang
berkuasa. Tanpa fungsi seni itu karya kebahasaan tidak dapat disebut karya
(seni) sastra. Puisi sebagai karya sastra, maka fungsi estetiknya dominan dan
di dalamnya ada unsur-unsur estetiknya. Unsur-unsur keindahan ini merupakan
unsur-unsur kepuitisannya, misalnya persajakan, diksi (pilihan kata), irama,
dan gaya bahasanya. Gaya bahasa meliputi semua penggunaan bahasa secara khusus
untuk mendapatkan efek tertentu, yaitu efek estetikanya atau aspek
kepuitisannya (Pradopo, 1994: 47). Jenis-jenis gaya bahasa itu meliputi semua
aspek bahasa, yaitu bunyi, kata, kalimat, dan wacana yang dipergunakan secara
khusus, untuk mendapatkan efek tertentu itu. Semua itu merupakan aspek estetika
atau aspek keindahan puisi.
b.
Kepadatan
Pada penciptaan sajak itu merupakan aktivitas
pemadatan. Dalam puisi tidak semua itu diceritakan. Yang dikemukakan dalam
puisi hanyalah inti masalah, peristiwa, atau inti cerita. Yang dikemukakan
dalam puisi adalah esensi sesuatu. Jadi, puisi itu merupakan ekspresi esensi.
Karena puisi itu mampat dan padat, maka penyair memilih kata dengan akurat
(Altenbernd dalam Pradopo, 2009: 316).
c.
Ekspresi yang Tidak Langsung
Puisi itu sepanjang zaman selalu berubah. Riffaterre
dalam Pradopo (2009: 316) mengemukakan bahwa sepanjang waktu, dari waktu ke
waktu, puisi itu selalu berubah. Perubahan itu disebabkan oleh evolusi selera
dan perubahan konsep estetik. Namun, satu hal yang tidak berubah, yaitu puisi
itu mengucapkan sesuatu tidak secara langsung. Ketidaklangsungan ekspresi ini
disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti, penyimpangan arti, dan
penciptaan arti.
Post a Comment
Post a Comment